| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, October 31, 2006,11:22 AM

Sumpah Pemuda, Integrasi, dan Demokrasi

"Democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and freedom misinterpreted, the result is anarchy".

(Mahathir Mohamad, "Achieving True Globalisation", 2004)

Tiga hari lalu bangsa Indonesia memperingati dan mengenang kembali Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda merupakan salah satu momentum historis paling penting dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sumpah Pemuda secara simbolis mencerminkan integrasi kepulauan Nusantara ke dalam sebuah kesadaran politik integratif yang kian mengkristal, yang selanjutnya menjadi driving force bagi penguatan wacana dan gerakan nasionalisme menuju kemerdekaan bangsa dari kekuasaan kolonialisme.

Sumpah Pemuda adalah sebuah kumulasi cita integrasi dan etos keindonesiaan. Meminjam kerangka Ben Anderson, Sumpah Pemuda merupakan kesepakatan penting dalam perjuangan ke arah pembentukan Indonesia yang—setidaknya sampai masa Proklamasi 17 Agustus 1945—masih merupakan "imagined community", komunitas yang dibayangkan.

Revitalisasi faktor integratif

Sumpah Pemuda sebagai faktor integratif keindonesiaan kini tampaknya hanya menjadi sekadar bagian dari "ingatan bersama" (collective memory) keindonesiaan. Ia kelihatan telah kehilangan elan vital fungsionalnya untuk mengokohkan kembali integrasi bangsa yang terus mengalami gangguan.

Kita boleh bersyukur karena proses "Balkanisasi" Indonesia yang sempat diprediksikan kalangan pengamat luar pada masa awal Reformasi (1998-2001) tidak menjadi kenyataan. Kita masih berada dalam kerangka NKRI meski—seperti dikemukakan sejarawan terkemuka Indonesia, Prof MC Ricklefs, dalam sebuah percakapan dengan saya pada Ramadhan lalu—Indonesia kini adalah "the most federal states in the world". Sementara itu, berbagai faktor disintegratif masih terus-menerus menggerogoti negara-bangsa Indonesia. Ironisnya, pada saat yang sama, beberapa faktor integratif bagi penguatan negara-bangsa Indonesia tidak mengalami revitalisasi dan penguatan.

Lihatlah konflik bernuansa keagamaan yang masih berlanjut di kawasan Sulawesi Tengah, Poso dan Palu, saat korban terus berjatuhan, sementara polisi dan bahkan negara seolah tidak berdaya mencegah dan menghentikannya. Polisi menyatakan, misalnya, pelaku pembunuhan pendeta Irianto Kongkoli adalah "kelompok pemain lama" yang sudah mereka ketahui, tetapi polisi tidak juga menangkap dan membawa mereka ke pengadilan. Lalu pada malam menjelang Idul Fitri 1427 H, kekerasan kembali terjadi, kali ini antara polisi—persisnya Brimob—dan warga Muslim, yang menambah panjang daftar korban yang tewas.

Lihat juga potensi disintegrasi yang terus menggejala di Papua, dan mungkin juga di tempat tertentu lainnya di Tanah Air. Tengok juga meningkatnya sentimen kedaerahan yang terus menemukan momentumnya dalam pilkada yang diselenggarakan hampir setiap hari di berbagai daerah dengan berbagai tensi, konflik, bahkan kekerasan yang dimunculkannya. Semua ini berkembang seolah tanpa kendali, seolah tanpa kemampuan negara mengatasinya.

Hemat saya, sudah waktunya semua pemimpin bangsa yang peduli untuk lebih serius merespons berbagai perkembangan yang mencemaskan itu. Seyogianya ada upaya lebih sistematis untuk merevitalisasi faktor integratif yang membuat negara-bangsa Indonesia ini bisa tercipta dan bertahan di tengah berbagai perkembangan yang tidak selalu kondusif, baik di dalam maupun luar negeri.

Selain Sumpah Pemuda, faktor integratif lainnya yang bahkan secara konstitusional menduduki tempat sangat penting adalah Pancasila. Setelah keengganan sempat meluas di kalangan pemimpin dan tokoh publik untuk berbicara tentang Pancasila sejak awal Masa Reformasi, baru pada 2006 ini wacana revitalisasi bergaung lebih nyaring. Sayangnya baru sebatas itu. Belum terlihat upaya sistematis untuk merevitalisasi dan membuat Pancasila kembali workable dan lebih viable untuk penguatan integrasi negara-bangsa Indonesia.

Melemahnya negara Indonesia pada Masa Reformasi terlihat saat negara mengalami kegagalan dalam beberapa hal: misalnya melindungi warga negara dari tindakan kekerasan kelompok massa (mob), baik yang terorganisasi maupun tidak; menegakkan hukum dan ketertiban publik, memberikan peluang dan kesejahteraan ekonomi lebih baik kepada kaum miskin, dan menghentikan perusakan lingkungan hidup.

Jika Indonesia yang integratif dapat bertahan dan bisa mencapai kemajuan, tidak ada alternatif lain kecuali penguatan kembali negara. Satu contoh saja, kapasitas negara, misalnya, perlu diperkuat untuk merespons "eforia demokrasi" yang ternyata masih terus meluap-luap dalam berbagai lapisan masyarakat kita.

Demokrasi: eforia dan ironi

Eforia demokrasi berlanjut tidak hanya dalam masa seputar pemilu (1999 dan 2004), tetapi juga dalam pilkada gubernur dan wali kota/bupati yang terus berlangsung. Mengamati proses politik dan demokrasi, baik pada pemilu maupun pilkada, yang terjadi bahkan adalah eksplosi demokrasi atau eksplosi aspirasi dan ekspresi atas nama demokrasi. Eksplosi itu sering lepas kontrol sehingga berujung pada kekerasan dan anarki.

Dengan begitu, segera menjadi jelas, eforia dan eksplosi demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, baik demokrasi prosedural maupun demokrasi substantif. Demokrasi kelihatannya cenderung disalahpahami kalangan masyarakat kita sebagai demonstrasi massa dan berbagai bentuk unjuk rasa lainnya sehingga memunculkan istilah "demo- crazy". Juga, kebebasan cenderung disalahartikan sebagai "kebebasan tanpa aturan" (lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan kepada hukum. Hasilnya, seperti pernyataan Mahathir Mohamad yang dikutip di atas, yang terjadi adalah anarki. Anarkisme bukan hanya mencederai, tetapi bahkan jelas bertentangan dengan demokrasi.

Inilah ironi demokrasi, yang dengan kebebasan yang dibawanya pada gilirannya memunculkan berbagai gejala anarki. Sekali lagi, demokrasi dan kebebasan menimbulkan eksplosi aspirasi dan ekspektasi. Jelas, eksplosi aspirasi dan ekspektasi itu tidak selalu dapat terpenuhi secara cepat, apalagi instan, di tengah kemerosotan negara pada berbagai levelnya.

Demokrasi jelas tidak bisa berjalan baik kecuali ada kepatuhan dan respek pada hukum dan ketertiban publik. Pemberdayaan demokrasi tidak cukup hanya dengan adanya banyak parpol, pemilu yang reguler, pers yang bebas dan independen, dan civil society yang kuat. Pemberdayaan dan pendalaman demokrasi tidak bisa taken for granted; sebaliknya, justru harus disemaikan, misalnya melalui pendidikan kewargaan (civic education) atau pendidikan demokrasi atau pendidikan kewarganegaraan (citizenship education). Jika itu bisa dilakukan, insya Allah, bukan hanya demokrasi bisa diperkuat, tetapi juga sekaligus integrasi negara-bangsa.

Azyumardi Azra Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sunday, October 29, 2006,9:51 AM

Mencoba Menyelamatkan "Wajah AS"

luki aulia

"Luar biasa kacau," begitu komentar yang dilontarkan James A Baker III, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat pada zaman pemerintahan Presiden George H W Bush, ketika menggambarkan kondisi di Irak saat ini.

Penggambaran Baker itu tidak berlebihan karena gejolak kekerasan di Irak sejak invasi militer Amerika Serikat (AS) tahun 2003 telah mengakibatkan sedikitnya 655.000 warga sipil Irak dan 2.800 tentara AS tewas, serta 914.000 warga terpaksa mengungsi.

Kondisi Irak yang semakin kacau itu juga akhirnya diakui Presiden AS George W Bush. Bahkan, Bush menyatakan, gejolak kekerasan di Irak sangat mirip dengan kondisi ketika terjadi Serangan Tet dalam Perang Vietnam 1968.

Jika mengulik lebih dalam pernyataan tak biasa Bush tersebut, dan mengingat pengalaman AS di Vietnam, bisa jadi itu pertanda AS mulai mendekati detik-detik kekalahan.

Mantan Menteri Pertahanan AS (1969-1973), Melvin R Laird, dalam artikelnya berjudul "Iraq: Learning the Lessons of Vietnam" di jurnal Foreign Affairs edisi November/Desember 2005 menyatakan, perang Irak dan perang Vietnam memiliki kesamaan. Sejak awal, kedua perang itu sama-sama dilancarkan berdasarkan informasi intelijen yang salah.

Oleh karena itu, Laird mengusulkan hal terpenting yang harus dilakukan pemerintahan Bush: meningkatkan standar militer Irak hingga mampu melindungi diri sendiri. Jika hal itu tercapai, AS harus segera menarik pasukannya secara bertahap. Untuk menarik diri dari Irak, AS tidak perlu menunggu kesiapan pasukan Irak hingga 100 persen atau menunggu demokrasi benar-benar terwujud di Irak.

"Semakin cepat kita pergi justru menunjukkan bahwa kita percaya dan yakin rakyat Irak bisa menangani masalah dengan cara mereka sendiri. Kehadiran kita justru memicu munculnya kelompok perlawanan," ujarnya.

Semakin cepat pergi semakin baik. Hal serupa dilakukan Laird ketika perang Vietnam. Penarikan pasukan AS secara bertahap dari Vietnam memakan waktu hingga empat tahun. Seiring dengan penarikan itu, Laird juga membangun kekuatan dan kemampuan Vietnam selatan untuk melindungi dirinya sendiri. Persis seperti yang sekarang dilakukan oleh pemerintahan Bush di Irak.

Sayangnya, Bush tetap ngotot, tidak akan menarik pasukan dari Irak. Bush juga tidak berencana meninjau kembali strategi dan rencana keamanan di Irak karena semuanya dianggap berjalan sesuai dengan rencana.

Namun, satu hari kemudian, militer AS membuat pernyataan yang mengagetkan. Militer AS mengakui gagal dalam menjalankan misinya menangani gejolak kekerasan di Baghdad. Karena itu, militer AS akan meninjau kembali rencana dan strategi keamanan yang ada.

Alhasil, pemerintahan Bush terperangkap dalam peperangan yang tidak akan bisa dimenanginya, seperti ketika zaman perang Vietnam. Posisi Bush semakin terdesak. Kesabaran Pemerintah AS terhadap perang Irak juga menipis, khususnya terkait dengan ketidakmampuan atau keengganan Pemerintah Irak untuk mengakhiri kekerasan sektarian yang meningkat.

Untuk memperbaiki "wajah AS", Kongres AS—dengan persetujuan dari Bush—membentuk kelompok informal bernama Kelompok Studi Irak. Tugas kelompok yang beranggotakan 10 orang—di antaranya mantan anggota Kongres sekaligus Wakil Ketua Komisi Penyelidik Serangan 11 September Lee Hamilton, mantan Direktur CIA Robert Gates, dan mantan hakim di Mahkamah Agung Sandra Day O’Connor—itu menganalisis efektivitas kebijakan AS di Irak dan mencari jalan keluar yang terbaik.

Mantan Menlu James A Baker III kemudian diminta memimpin kelompok itu. Rekan dan penasihat mantan Presiden Bush senior mendesak agar Baker memberikan rekomendasi strategi baru di Irak untuk Bush yunior. Baker yang dikenal dekat dengan keluarga Bush itu diminta memberikan usulan "pendekatan baru" untuk memperbaiki situasi Irak.

Pejabat-pejabat di Gedung Putih yang dekat dengan keluarga Bush berharap Baker akan memberi rencana baru yang bisa menyelamatkan strategi Bush yunior di Irak. Sebaliknya, beberapa mantan penasihat Bush senior tidak yakin Baker akan memberikan rekomendasi yang bisa memengaruhi Bush yunior mengingat Bush yunior sangat kukuh mempertahankan pendapatnya.

Meski demikian, ada lima rekomendasi yang diajukan oleh kelompok Baker itu, yakni menjaga stabilitas Irak, menarik pasukan dari Irak secara bertahap untuk dipindah ke markas lain di luar Irak, berdialog dan berkonsultasi dengan Suriah dan Iran, membagi Irak menjadi tiga wilayah masing-masing untuk Syiah, Sunni, dan Kurdi, serta pilihan terakhir adalah menarik pasukan sesegera mungkin.

Dua pilihan paling sering disebut adalah menarik pasukan secara bertahap atau meminta bantuan dari Suriah dan Iran untuk ikut menangani situasi keamanan Irak.

Berbicara dengan musuh

BBC News menyebutkan, kelompok Baker tampaknya akan merekomendasikan usulan tindakan yang netral dan ada di tengah-tengah antara "tetap mempertahankan misi di Irak" dan "segera menghentikan misi dan pergi". Yang jelas kelompok Baker itu diyakini akan tetap memegang konsep "mengutamakan stabilitas" yang memfokuskan perhatian pada upaya menstabilkan situasi keamanan dan tidak melulu berusaha mewujudkan demokrasi serta mencoba mengajak kelompok perlawanan nasionalis bergabung dalam proses politik.

Bahkan, kelompok Baker menilai tidak ada salahnya jika AS berbicara dan berkonsultasi dengan Iran dan Suriah untuk membantu menangani persoalan Irak. "Secara pribadi saya memilih berbicara dengan musuh-musuh kita. Saya rasa Suriah dan Iran juga sebenarnya tidak ingin Irak kacau," kata Baker.

Usulan kelompok Baker itu rupanya disetujui oleh Irak. Presiden Irak Jalal Talabani sangat setuju dengan usulan itu. Saat diwawancarai oleh BBC News, Talabani menyatakan, jika Suriah dan Iran bersedia membantu Irak, gejolak kekerasan Irak akan segera berakhir hanya "dalam hitungan bulan". Langkah itu juga diyakini Talabani akan menjadi "awal dari berakhirnya terorisme".

Jika usulan itu yang akan terpilih nantinya, hal itu akan menjadi perubahan amat drastis bagi Bush yang tahun 2002 menuding Iran sebagai bagian dari poros kejahatan (axis of evil).

Sikap Bush yang menjauhkan diri dari rezim yang "bukan teman" itu dianggap para pengamat justru semakin menjauhkan AS dari dunia Muslim, khususnya Timur Tengah (Timteng).

Berbicara dengan Suriah pernah dilakukan Baker ketika terlibat dalam proses perdamaian Timteng. Selama proses itu, Baker 15 kali datang ke Suriah untuk berunding dengan mantan Presiden Hafez al-Assad. Negosiasi itu lalu membuahkan hasil. Gejolak kekerasan di Timteng ketika itu menurun.

Mantan Menlu AS Henry Kissinger juga pernah melakukan hal yang sama hingga tercipta istilah "diplomasi pulang pergi". Untuk mendamaikan Suriah dan Israel ketika keduanya terlibat perang, Oktober 1973, Kissinger harus bolak-balik AS-Damascus 36 kali dalam satu bulan.

Namun, rupanya Bush yunior tidak mengikuti cara Baker dan Kissinger. Sejak invasi AS ke Irak, Bush justru seakan menyingkirkan dua negara yang merupakan kekuatan paling berpengaruh di Timteng itu. Padahal, peran kedua negara itu penting karena bisa membantu menstabilkan kawasan.

Untuk menyelesaikan persoalan Irak, kedua negara itu harus menjadi bagian dari proses penyelesaian masalah. Jika tidak, keduanya justru akan menjadi bagian dari masalah.

"Tidak ada obat yang mujarab untuk Irak. Ini persoalan yang amat pelik dan membutuhkan bantuan dari pihak lain," kata Baker yang mengaku hasil rekomendasi kelompoknya diperkirakan akan selesai Desember atau Januari mendatang.

Jika Bush tidak segera melakukan perubahan radikal, menurut tim Baker, gejolak kekerasan akan terus meningkat. Pemerintah pusat Irak dikhawatirkan bisa terjungkal. Militer Irak terpecah-belah. Kelompok milisi Kurdi, Syiah, dan Sunni akan menguasai jalanan dan berebut kekuasaan.

Jika ini terjadi, bukan hanya Irak yang kacau, tetapi seluruh kawasan. Mungkin ada baiknya belajar dari pengalaman ketika perang Vietnam dulu. Mantan Presiden AS Lyndon Johnson pada masa perang Vietnam juga pernah membentuk kelompok informal seperti kelompok Baker. Dalam rekomendasinya, kelompok itu menilai AS tidak akan bisa menang di Vietnam dalam waktu cepat. Karena itu, lebih baik AS menarik diri dari Vietnam.

Lima hari kemudian, Johnson mengumumkan larangan pengeboman di Vietnam utara. Johnson kemudian menarik diri dari pencalonannya di pemilu presiden.

Pilihan yang diberikan kelompok Baker tidak ada yang enak bagi Bush. Bahkan, kesan yang akan muncul adalah AS "kalah perang". Namun, dengan meningkatnya jumlah korban yang tewas dari sisi AS, tampaknya Bush tidak mempunyai pilihan lain selain menyelamatkan kredibilitas AS di Irak dan Timteng.
Saturday, October 28, 2006,2:41 PM

Renaisans Bangsa

Yonky Karman

Dalam Kerapatan Besar Indonesia Muda I (29 Desember 1930-2 Januari 1931) di Surakarta, Muhammad Yamin menyebut Sumpah Pemuda sebagai kebangunan atau renaisans bangsa.

Indonesia seperti bangun dari tidur panjang karena lama dijajah. Awal abad ke-20, intelektual muda Indonesia terimbas ide nasionalisme lewat para mahasiswa yang sedang belajar di Belanda meski ide itu muncul pada abad ke-18 di Eropa Barat (Locke di Inggris, Rousseau di Perancis, Herder di Jerman).

Renaisans

Dalam sejarah peradaban Eropa, Renaisans sering dimengerti sebagai periode peralihan (abad ke-14 sampai ke-17) antara Abad Pertengahan dan zaman modern. Periode itu ditandai tumbuhnya kembali minat kepada hal-hal lama dari zaman Roma dan Yunani (klasik). Bagi Ortega, Renaisans lebih dari itu (Man and Crisis, 67-101). Renaisans adalah sebuah krisis besar sejarah. Sesudah itu, dunia Barat tak pernah sama seperti sebelumnya.

Tentang perubahan dunia, Ortega membedakan antara perubahan dalam dunia dan dunia sendiri berubah. Renaisans adalah peralihan dalam arti dunia juga berubah. Pada masa peralihan, orang sinis yang bermental lama mencari orientasi baru. Yang lama tak bisa diandalkan, tetapi masih dipegang, yang baru belum tiba.

Maka, sinisme mengawali krisis sejarah dalam Renaisans dan berakhir setelah lahir mental baru untuk generasi baru yang selanjutnya disebut manusia modern. Selama krisis, orang berjuang untuk menemukan orientasi hidup yang benar-benar baru. Sebelum yang baru tiba, orang mewarisi mental lama, ikut-ikutan, tanpa pembaruan radikal. Saat mental baru menjadi horizon bertindak, hidup menjadi otentik dan efektif.

Sumpah bangsa

Sumpah Pemuda juga bisa disebut renaisans bangsa Indonesia. Meski pada awal abad ke-20 di sana-sini bermunculan gerakan kebangsaan, semua itu bersifat primordial dan sempit (kedaerahan, kesukuan, keagamaan). Baru dalam Kerapatan Pemuda Pemudi Indonesia II di Welteveden (Jakarta), 27-28 Oktober 1928, putra-putri Indonesia memutuskan untuk mengaku bertumpah darah satu (Tanah Indonesia), mengaku berbangsa satu (Bangsa Indonesia), dan menjunjung tinggi bahasa persatuan (Bahasa Indonesia).

Sumpah Pemuda bukan perjuangan pemuda saja, tetapi pemuda sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa keseluruhan. Indonesia sebagai bangsa bersumpah untuk bersatu, mengalahkan kekamian dengan kekitaan. Menyadari nasib dan cita-cita yang sama serta hak untuk berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa merdeka, semua komponen bangsa saat itu bersatu dalam komunitas terbayang (imagined community) Indonesia Raya.

Indonesia bangun dari tidur lelap yang panjang. Kebangunan itu ditandai spirit keindonesiaan. Cita-cita menyatukan Nusantara tidak datang tiba-tiba. Sebelumnya ada Sumpah Sriwijaya (686), Janji Gajah Mada (± 1340). Berbeda dari sebelumnya, cita-cita persatuan dalam Sumpah Pemuda guna melawan kolonialisme.

Kesadaran berbangsa menjiwai dan memperkuat pergerakan nasional dengan kulminasi proklamasi kemerdekaan 1945. Nasionalisme Indonesia berakar dalam semangat persatuan, warisan tak ternilai lalu menjadi kekuatan yang memerdekakan. Energi kebangsaan seharusnya juga memerdekakan Indonesia dari kemiskinan dan ketertinggalan.

Kekayaan sumber daya alam Indonesia belum bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hingga kini, Indonesia masih menjadi potensi ekonomi dunia yang memasok sumber bahan mentah. Sebuah kerja besar untuk berubah dari potensi menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan pasar global. Di abad ke-21, bangsa Indonesia harus bersumpah untuk merevitalisasi persatuan bangsa.

Merajut potensi bangsa

Sepertiga dari 1,2 miliar penduduk miskin dunia ada di Asia dan jumlah penduduk miskin Indonesia terbanyak setelah China dan India. Namun, China dan India menunjukkan kemajuan ekonomi dengan dampak mengurangi kemiskinan. Stabilitas makroekonomi Indonesia rentan tanpa fondasi kebangkitan sektor riil.

Kemiskinan dan pengangguran massal adalah bahaya laten. Daya beli dan kualitas hidup masyarakat kecil merosot. Puluhan juta rakyat hidup dalam kemiskinan dengan makanan di bawah standar, akses kesehatan dan pendidikan minim. Itu sebabnya Indonesia menjadi salah satu sorotan Program Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB.

Krisis multidimensional kita tak kunjung usai karena kebanyakan pemimpin negeri dan elite politik tergolong the mass I, bukan the responsible I. Politik pencitraan (face-lift) mendominasi kebijakan pemerintah. Substansi politik sebenarnya yang menyejahterakan dan menjunjung keadilan diabaikan.

Nasionalisme kita terjebak labirin isu-isu primordial. Alih-alih menyejahterakan, otonomi daerah memindahkan tradisi korupsi dari pusat ke daerah, minus kepemimpinan yang efektif dan bersih. Etnonasionalisme bangkit. Juga nasionalisme berdasar mayoritas.

Baru-baru ini, Merryl Lynch Singapura merilis survei. Akhir tahun 2005, total aset orang kaya di Singapura adalah 260 miliar dollar AS. Dengan definisi kaya sebagai memiliki kekayaan minimal satu juta dolar, ada 55.000 orang kaya di Singapura. Yang mengejutkan, sepertiganya adalah warga negara Indonesia yang rata-rata berstatus permanent resident. Total jumlah kekayaan WNI di Singapura mencapai 87 miliar dolar AS, sekitar Rp 800 triliun.

Fakta Singapura menjadi prioritas tujuan investasi pengusaha Indonesia tak perlu dikaitkan dengan nasionalisme. Di era kapitalisme global, sekat-sekat negara menjadi semu. Selain faktor kedekatan lokasi kedua negara, kebijakan negara kota itu ramah investasi. Menyadari diri miskin sumber alam, Singapura memberi standar pelayanan administrasi kelas internasional yang efisien, cepat, dan bersih.

Sebenarnya pemerintah tidak perlu menghabiskan biaya dan energi untuk roadshow ke luar negeri menarik investor asing ke Indonesia. Dalam dunia yang mengglobal, berita baik atau buruk di dalam negeri dapat cepat diketahui. Jika iklim investasi di Indonesia baik, investor dari mana pun akan berdatangan. Tentu investor WNI adalah lokomotif gerbong investasi yang paling efektif.

Percuma pemerintah mengajak orang asing berinvestasi di Indonesia jika WNI sendiri meragukan komitmen pemerintah untuk benar-benar membangun negeri. Dalam hal ini, Pemerintah India berhasil memanfaatkan warga diaspora guna membangun pusat teknologi informasi hitech di India. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan introspeksi.

Daya saing investasi kita menurun dibandingkan dengan negara lain yang serius memerangi korupsi tanpa tebang pilih. Pemerintah tidak optimal menjamin kepastian dan penegakan hukum. Birokrasi Indonesia lebih suka dilayani daripada melayani dan suka mengutip. Selain tidak efisien juga menghambat percepatan pembangunan. Sayang, semua itu berlangsung kasat mata tanpa sanksi tegas.

Maka, jangan ukur nasionalisme warga Indonesia yang mengabdi di negeri asing atau tinggal di negeri orang. Pemerintah harus tegas merajut potensi bangsa guna mewujudkan tanda-tanda Indonesia Baru. Jangan terus membiarkan persatuan bangsa cedera seperti sekarang. Indonesia Baru bukan sekadar mimpi jika pemerintah serius dengan renaisans bangsa.

Yonky Karman
Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas
,2:38 PM

Keindonesiaan dan Sumpah Pemoeda

Roch Basoeki Mangoenpoerojo

Tanggal 19 Oktober lalu, saya diwawancarai Radio Netherlands Hilversum di Amsterdam untuk tiga agenda sekaligus.

Wawancara bisa interaksi langsung dengan pendengar di Blitar dan Manado, serta satu rekaman untuk 28 Oktober. Temanya satu, "kebangsaan kita (Indonesia)".

Sebelum on-air, saya bertanya, "Ada apa dengan kebangsaan?" Dari jawaban terungkap, 28 Oktober dianggap Hari Kebangsaan seperti hari olahraga, hari ibu, hari buruh, dan lainnya.

Begitu pers (di Belanda) mengartikan kebangsaan, sesuatu yang harus dikalenderkan setaraf dengan hari-hari peringatan lain. Inilah "negeri peringatan". Demikiankah seharusnya?

Arti bangsa

Dua soal harus dijawab untuk bisa menilai. Pertama, adakah negeri lain yang punya hari kebangsaan? Kedua, referensinya apa untuk bicara "kebangsaan Indonesia"? Hanya Indonesia yang mempunyai hari kebangsaan. Pembandingnya hanya bangsa Palestina (hingga kini belum menjadi negara). Artinya, kita harus membuat model tersendiri yang bermanfaat bagi kehidupan bangsa, kini dan ke depan.

Referensi baku tentang pengertian bangsa berasal dari Ernst Renan dan Otto Bauer. Renan mengatakan, "masyarakat yang berkehendak untuk bersatu", sedangkan Bauer "masyarakat yang berkesatuan perangai karena kesamaan nasib". Tetapi, di BPUPKI, Bung Hatta dan Mohamad Yamin menganggapnya kuno. Untuk Indonesia yang akan dibentuk, Bung Karno menambahnya "bersatu dengan tanahnya" (Lahirnya Pancasila, 1 Juni ’45).

Jika ketiga definisi disatukan, dikaitkan dengan keberadaan Indonesia sebagai bangsa, ada empat inti, yaitu kesamaan nasib, kehendak bersatu yang terus dipupuk, dikaitkan tanah tempat berada, dan semua bisa diukur dengan suatu perangai yang (relatif) sama. Begitulah penyamaan arti bangsa secara universal.

Pada dekade 20-an, disadari penghuni Hindia Belanda itu multikultur, masing-masing ingin eksis, tidak memungkinkan adanya persatuan agar bebas dari penjajahan. Meski demikian, ada yang tunggal sebagai modal bangsa, yaitu tanah yang ditempati dan nasib yang disandang sebagai jajahan Belanda (1928, Aceh dikuasai Belanda). Prasasti itu terbentuk selama perjuangan bebas dari keterjajahan (1908-1950).

Kini, sudahkah yang tunggal benar-benar manunggal dalam perangai? Belum! Tiap komunitas kian berambisi menunjukkan eksistensinya. Pemupukan keempat hal inti (senasib, ingin bersatu, setanah air, agar menjadi satu perangai) tak pernah dilakukan, bahkan sebagian menganggapnya utopia.

Negara hukum

Sesudah bernegara harus menjadi negara hukum. Artinya, semua perilaku bernegara harus berdasar hukum positif, harus dalam peradaban supremasi hukum. Sayang kita tak pernah berupaya memasukkan prasasti ke khazanah hukum RI. Kita lebih suka menghadapkannya antara prasasti dan hukum. Kepentingan berbenturan saat berhadapan dengan hukum internasional.

Pembukaan UUD 1945 adalah referensi hukum RI, ada lima kata bangsa/kebangsaan. Kelimanya tidak termuat dalam pasal-pasal di batang tubuh UUD hasil amandemen. Misalnya alinea 1, kemerdekaan adalah hak (segala) bangsa. Tak satu pasal pun menunjukkan perlunya pemupukan rasa senasib, ingin bersatu, setanah air, dan satu perangai. Bahkan, pasal 6a (pemilu langsung), antarkita diharuskan saling berhadapan, saling menjatuhkan, dan saling bermusuhan. Masih alinea 1, bangsa ini bersikap, "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan". Pasal-pasal tidak menjelaskan dan merumuskan operasionalisasinya sehingga memberi peluang kepada siapa pun yang berkuasa untuk mengundang penjajah baru guna mengeksploitasi potensi bangsa.

Dua kasus bisa menjelaskan. Lenyapnya Sipadan dan Ligitan (SL) dan MOU Aceh.

Ihwal SL, dari peta dan rambu, wilayah itu jelas di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Tetapi, karena dari lurah sampai bupati tidak peduli akan kebangsaan, di sana dibiarkan berdiri hotel dan aneka atribut keimigrasian Malaysia. Proses itu bisa terulang di Ambalat yang masalahnya belum usai. Juga dengan pulau-pulau sekitar Batam yang pasir lautnya menjadi pulau di Singapura.

MOU antara sebagian kecil orang Aceh dan pemerintah pusat tidak menjelaskan hubungannya dengan masyarakat Aceh sebagai bagian bangsa Indonesia. Mereka (atau siapa pun) kecewa kepada pemerintah, bukan kepada bangsa.

Bangsa Indonesia buatan 1928 tak mengenal istilah pemisahan, yang ada hanya senasib, bersatu, setanah air, dan seperangai. Namun, kita belum punya mekanisme untuk mewadahi "kekecewaan berbangsa". Seperti orang Bantul, boleh kecewa terhadap orang Purworejo tetangganya atau Pemerintah DIY/pusat, solusinya bukan merdeka, tetapi musyawarah.

Kita sebaiknya mundur selangkah, gunakan istilah keindonesiaan (mengganti kebangsaan) agar dibahas tiap hari pada semua bidang kehidupan.

Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Pemerhati Masalah Kemasyarakatan
Wednesday, October 18, 2006,11:55 AM

Giliran Korut Mengintimidasi AS

Maruli Tobing

Tahun anjing banyak membawa sial ketimbang keberuntungan. Pemerintahan Presiden George W Bush ikut mengalaminya.

Jumlah pasukan Amerika Serikat yang tewas maupun cedera di Irak dan Afganistan meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Keamanan dan ketertiban makin buruk.

Citra AS sebagai negara adikuasa mulai padam. Gertakan militernya tidak lagi menakutkan negara-negara Dunia Ketiga. Iran, misalnya, bertekad meneruskan program nuklirnya. Presiden Sudan, Presiden Letjen Omar Hassan al-Bashir, tetap menolak kehadiran pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Darfur. Al-Bashir tidak peduli kendati Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice mengancam "konfrontasi atau kerja sama".

Di forum internasional, Presiden Venezuela Hugo Chavez menyebut Presiden Bush sebagai "Hitler Abad ke-21". Julukan ini meningkat menjadi "iblis" ketika Chavez berpidato di depan Sidang Majelis Umum PBB, 20 September 2006.

Klimaksnya adalah percobaan bom nuklir Korea Utara, Senin (9/10) pagi waktu setempat. Kali ini Washington benar-benar kebakaran jenggot. Segala upaya dilakukan agar Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi berat terhadap Korea Utara.

Celakanya, Korea Utara sendiri tidak gentar. Malah balik mengancam, penambahan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara akan dianggap sebagai bentuk pernyataan perang. Pyongyang mengingatkan, jika AS tidak segera menghentikan kasak-kusuk dan permusuhannya, percobaan bom nuklir akan dilakukan kembali.

Lantas, mengapa AS begitu risau terhadap senjata nuklir Korea Utara? Bukankah India dan Pakistan memiliki banyak senjata nuklir?

Poros kejahatan

Washington menuding percobaan bom nuklir Korea Utara sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Korea Selatan dan Jepang, yang merupakan bagian dari pilar ekonomi dunia, menjadi cemas karena Pyongyang akan menggunakan senjata nuklir mengintimidasi negara tetangganya.

Situasi demikian akan mendorong Jepang dan Korea Selatan memproduksi senjata yang sama. Alhasil, lahir ketegangan baru di kawasan Asia Timur, yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perang nuklir.

Korea Utara melihat dari sisi sebelahnya. Lebih dari setengah abad negara berpenduduk 23,1 juta jiwa ini berada di bawah ancaman bom nuklir AS. Maka, selama ribuan pasukan AS berada di perbatasan Korsel-Korut, pangkalan militer AS di Okinawa (Jepang) dan Guam, pemimpin Korea Utara tidak akan pernah merasa aman.

Washington memang menghendaki situasi tidak nyaman tersebut. Bertahun-tahun AS melancarkan kampanye propaganda untuk mendiskreditkan dan mengisolasi Korea Utara. Konflik yang terjadi di berbagai negara, misalnya, selalu dikaitkan dengan perdagangan senjata Korea Utara. Negara ini juga dituding mensponsori aksi terorisme.

Lebih parah lagi, AS mempropagandakan Pemerintah Korea Utara terlibat dalam bisnis narkoba, uang palsu, dan beragam kejahatan lainnya. Klimaksnya, Presiden George W Bush menyebut Korea Utara bersama Iran dan Irak (di era Saddam Hussein) sebagai "poros kejahatan" dunia.

Sebutan tersebut mengandung makna strategis, yakni perlu pergantian rezim agar dunia aman. Hal yang sudah dilakukan di Irak. Saddam Hussein, yang tadinya pemimpin flamboyan dengan kekuasaan absolut, kini duduk di kursi terdakwa sebagai tontonan rakyat Irak maupun masyarakat internasional.

Nasib Iran sendiri belum pasti. Apalagi kapal induk bertenaga nuklir AS, Enterprise, sedang berlayar menuju Timur Tengah. Kalangan pengamat umumnya berpendapat, AS tidak akan menyerang Iran. Ini karena akan membahayakan posisinya di Irak dan dapat melambungkan harga minyak mentah di atas 100 dollar AS per barrel. Namun, AS tidak akan berdiam diri jika hegemoni nuklirnya sirna di kawasan Timur Tengah.

Pindahkan perang ke AS

Pergantian rezim "poros kejahatan" dunia merupakan agenda utama pemerintahan Presiden George W Bush. Karena dimasukkan dalam kategori perang melawan teror, AS dapat melakukan penyerangan militer lebih dulu. Maka, pergantian rezim di Korea Utara hanya tinggal menunggu waktu.

Namun, situasinya berubah total, termasuk lingkup geopolitik, setelah Korea Utara melakukan percobaan bom nuklir.

"Perang mendatang berbeda dengan perang Korea di masa silam. Kali ini lebih tepat disebut perang AS-Korea karena panggungnya pindah ke daratan AS. Kota-kota besar AS akan berubah menjadi neraka,’’ tulis Dr Kim Myong Chol di Asia Times Online (6/10) beberapa hari sebelum percobaan nuklir Korea Utara.

Kim Myong Chol, penulis sejumlah buku dan dikenal sebagai juru bicara tidak resmi pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Il, mengingatkan AS agar tidak gegabah. Saat ini Republik Demokrasi Rakyat Korea menempati urutan keempat terkuat persenjataan nuklirnya setelah AS, Rusia, dan China.

Korea Utara kini memiliki beberapa tipe bom dan berhulu ledak nuklir, atom, hidrogen, dan neutron. Roket pengantarnya berjarak dekat, menengah, hingga antarbenua, yang dapat menjangkau seluruh kota di AS.

Pernyataan Kim Myong Chol jelas bukan sekadar gertakan. Larry A Niksch menulis dalam North Korea’s Nuclear Weapons Program (Congressional Research Service, Mei 2006), berdasarkan laporan CIA dan intelijen Departemen Pertahanan AS, tahun 1993 saja Korea Utara berhasil memurnikan 12 kg plutonium. Cukup untuk membuat dua bom atom. Jepang mencatat angka lebih tinggi, yaitu 16 kg-24 kg plutonium.

Produksi plutonium Korea Utara diperkirakan bertambah 25 kg-30 kg hingga tahun 2003. Untuk satu bom atom dibutuhkan sedikitnya 6 kg plutonium. Jenderal Leon LaPorte, mantan panglima militer AS di Korea Selatan, mengatakan, Korea Utara memiliki 3-6 bom nuklir sebelum tahun 1994.

Masalahnya menjadi serius bagi AS karena Korea Utara mengembangkan misil antarbenua. Menurut Steven A Hildreth, North Korean Balistic Missile Threat to the United States (Juli 2006), misil bertingkat tiga tipe Taepo Dong-1, yang jangkauannya 1.500-2.500 km, dengan hulu ledak 1.000 kg-1.500 kg, diluncurkan pada 31 Agustus 1998.

Misil tersebut digunakan untuk mengorbitkan satelit pertama Korea Utara. Rudal Taepo Dong-2 diluncurkan pada 6 Agustus 2003, yang dapat menjangkau kota-kota di pantai barat AS.

Menurut Kim Myong Chol, Korea Utara tidak pernah berpikir menggunakan senjata nuklir sebagai alat berunding, kecuali dalam perang melawan AS, musuh utama Korea Utara. Lantas jika dikatakan Jepang dan Korsel menjadi cemas, jelas tidak beralasan. Sebab, selama ini kedua negara di bawah payung sistem pertahanan nuklir AS.

Menurut Kim, Korea Utara sama sekali tidak keberatan jika Jepang dan Korea Selatan memproduksi senjata nuklir. Namun, AS pastilah menolak karena akan kehilangan penghasilan dari "jasa keamanan’’ dan penjualan senjata bagi pertahanan kedua negara.

Dalam bahasa Prof Peter Hayes (2006), pakar Korea Utara, Pyongyang sebagai musuh Washington mengakhiri hegemoni nuklir AS. Dengan sendirinya kepemimpinan AS akan melorot di Asia Timur.

Perkiraan Peter Hayes tidak meleset. Korea Utara yang tampil dengan sosok baru kini berbalik mengintimidasi AS. Satu-satunya negara yang berani mengancam akan menjadikan kota-kota AS sebagai panggung neraka perang.

Lantas, apakah diplomasi "kapal perang’’ AS di Asia akan berubah menjadi "macan kertas’’?
,11:51 AM

Rahasia Amerika Borong Nobel Sains

Ninok Leksono

Gegap pengumuman pemenang Nobel sepanjang dua pekan pertama Oktober usai sudah. Adidaya Amerika Serikat tak berharap pada Nobel Perdamaian, sebagaimana ia juga melupakan Nobel Sastra. Akan tetapi, untuk Nobel Ekonomi dan terlebih-lebih Nobel sains (Fisika, Kimia) serta Kedokteran, AS boleh berbangga. Malah bisa dikatakan, tradisi AS untuk menyapu bersih Nobel sains makin kuat karena tahun ini, dari tiga hadiah yang pertama kali diumumkan, kelima pemenangnya warga AS. Masuk akal kalau orang lalu bertanya di mana ilmuwan Eropa? Di mana ilmuwan Jepang? Dua kubu yang terakhir ini juga bukannya kelas ringan dalam kiprah sains.

Sebaliknya, para anggota Komite Nobel di Swedia menyatakan tidak heran apabila Nobel sains disapu oleh Amerika Serikat (AS). Gunnar Oquist, Sekretaris Tetap Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia yang menjadi pengawas pemberian Nobel sains, seperti dikutip kantor berita Associated Press, 4 Oktober lalu, mengatakan, Eropa ketinggalan jauh dibandingkan dengan AS dalam soal pendanaan dan ambisi ilmiah.

"Eropa seharusnya punya ambisi untuk beroperasi pada level yang sama dengan AS dalam soal penemuan baru," ujar Oquist. Semua terpulang kepada politisi Eropa untuk memikirkan hal itu dan melakukan sesuatu (untuk memperbaikinya). Kalau dalam tempo 25 tahun Eropa bisa memberikan pendanaan memadai guna mengimbangi AS dalam riset dasar, Oquist yakin mereka bisa mencapai level setara.

Prestasi AS memang sangat mengagumkan karena jarang sekali mereka kehilangan penghargaan Nobel di bidang sains. AS tidak mendapat, atau berbagi, Nobel Kimia terakhir kali adalah tahun 1991, yaitu ketika Richard Ernest dari Swiss memenanginya untuk kontribusi terhadap pengembangan spektroskopi resonansi magnetik nuklir resolusi tinggi.

Sebelum tahun 2006, orang masih ingat bagaimana AS menyapu bersih Hadiah Nobel Fisika, Kimia, dan Kedokteran pada tahun 1983, yaitu ketika Subramanyan Chandrasekhar dan William A Fowler berbagi Nobel Fisika, Henry Taube memenangi Kimia, dan Barbara McClintock memenangi Kedokteran. Tahun itu juga Gerard Debreu memenangi Nobel Ekonomi.

Pada tahun 2004, tujuh dari 10 pemenang Nobel sains berkewarganegaraan AS, sementara untuk tahun 2005 pemenang dari AS adalah lima dari 10.

Kelimpahan sains

Selain jumlah ilmuwan kelas dunia, AS juga kelimpahan sains. Lihatlah aneka bidang yang ditampilkan para pemenang tahun ini. Di bidang Kedokteran, Andrew Fire dan Craig Mello menemukan cara hebat meredam efek gen spesifik, cara yang bisa digunakan untuk memerangi berbagai penyakit, mulai dari kanker hingga AIDS. Dalam Fisika, John Mather dan George Smoot menang untuk karya yang meneguhkan Teori Dentuman Besar—teori yang menjelaskan bagaimana alam semesta tercipta—dan dengan itu juga memperdalam pemahaman mengenai asal-usul galaksi dan bintang-bintang. Sementara itu, di bidang Kimia, Roger Kornberg mendapat penghargaan atas jasanya mempelajari bagaimana sel mendapatkan informasi dari gen untuk memproduksi protein, satu proses yang bisa memberi pemahaman lanjut dalam upaya mengalahkan kanker dan memajukan riset sel induk (stem cell).

Kornberg, yang ayahnya juga berbagi Nobel Kedokteran tahun 1959, punya pendapat mengenai fenomena pemenang Nobel asal AS. Menurut dia, selain dana penelitian yang melimpah, di AS memang telah berdiri kelembagaan (establishment) ilmiah yang berukuran besar.

"Seperti Anda tahu, di tempat lain juga banyak ilmuwan luar biasa…, tetapi jumlah (ilmuwan istimewa) di Amerika jauh lebih banyak lagi," ujar Kornberg.

Anggota Komite Nobel Kimia, Anders Liljas, memberi penjelasan bahwa keputusan menganugerahi Kornberg Hadiah Nobel Kimia 2006 merupakan contoh dari apa yang yang ia sebut kelebihan AS dibandingkan dengan negara lainnya di dunia. Sebab, Kornberg bisa melakukan riset ilmiahnya selama satu dasawarsa tanpa didesak menerbitkan penemuannya sesegera mungkin.

"Sistem pemberian hibah (riset) yang memungkinkan peneliti dapat bertahan melakukan pekerjaan ilmiah tanpa hasil yang dipublikasikan untuk kurun waktu begitu lama jelas tidak kami miliki di Swedia, dan boleh jadi juga di negara-negara lain," tutur Liljas. Ia pun menyimpulkan bahwa bisa mendapatkan pendanaan riset yang baik merupakan bagian yang sangat penting (bagi dihasilkannya karya ilmiah berkualitas tinggi sekelas Nobel).

Kreativitas

Satu faktor lain yang disinggung Liljas adalah bahwa universitas di AS sering lebih memiliki "lingkungan universitas kreatif" dibandingkan dengan universitas di negara lain.

"Kreatif artinya orang (ilmuwan) banyak berinteraksi satu sama lain, berbicara satu sama lain. Anda tidak bekerja terpisah seperti pertapa," kata Liljas.

Kreativitas. Tampaknya itu unsur yang paling banyak disebut manakala membahas keunggulan AS. Dulu, ketika melihat kejayaan Jepang di dekade 1980-an, orang sempat membanding-bandingkan apakah raksasa Asia ini sudah setara dengan AS, khususnya di bidang teknologi dan karya ilmiah. Dari riset di bidang pendidikan, rupanya Jepang hanya unggul untuk pendidikan sampai tingkat SMA, sedangkan tingkat universitas, sistem Jepang tidak menunjang berkembangnya pemikiran inovatif, apalagi kreatif. Hal itu menjelaskan mengapa, meski penduduknya besar dan terdidik baik, sampai pertengahan tahun 1980 Jepang baru memenangi empat Hadiah Nobel sains, sementara saat itu AS sudah memenangi 162 (dari survei The Economist, 23/8/86).

Ringkasnya, Barat menyimpulkan Jepang yang hebat itu hanya bersandar pada kemampuan mengasimilasi, mengadaptasi, dan menyempurnakan know-how asing. Perusahaan Jepang punya kemampuan tinggi untuk inovasi teknologi terapan yang digerakkan pasar dan peningkatan proses produksi, tetapi kreativitas di bidang ilmu dan teknologi dasar absen dari pengetahuan bangsa Jepang (keunggulan inovasi Jepang masih dibanggakan, antara lain dalam tulisan Paul Herbig dan Frederick Palumbo, Innovation-Japanese Style di Jurnal Industrial Management & Data System, 1996).

Tentu saja, meski bukan di ranah Nobel, Jepang adalah bangsa besar, yang dalam bidang teknologi—di luar pertahanan, angkasa luar, dan komunikasi—sudah menjadi kampiun yang setara dengan AS.

Bangsa Indonesia layak prihatin karena dana risetnya hanya (tinggal) 0,18 persen produk domestik bruto. Filipina yang merana saja mengalokasikan 7.400 dollar AS per peneliti per tahun, sementara Indonesia yang diandaikan jauh lebih kaya hanya mampu menyediakan 700 dollar AS per peneliti per tahun, sekitar sepersepuluhnya. Anggaran penelitian dari APBN itu menjadi pilar 70 persen penelitian di Indonesia.

Sekarang banyak disemaikan calon ilmuwan melalui program Olimpiade Sains. Dari program tersebut, tampak bakat menonjol. Namun, jalan menuju Nobel adalah jalan yang jauh lebih kompleks, mencakup kultur, mencakup lingkungan sosial kemasyarakatan, serta mencakup pula iklim dan pendanaan yang didukung oleh pemerintah dan dunia swasta.

Setelah menengok ke berbagai penjuru, tampak bahwa dewasa ini AS adalah satu-satunya bangsa yang sosoknya tinggi menjulang dalam jagat sains.
Tuesday, October 17, 2006,2:37 PM

Dunia Ketiga Terharu

Nobel Perdamaian untuk Yunus
Oleh Tjuk K. Sukiadi

Hadiah Nobel paling bergengsi, yakni Nobel Perdamaian, jatuh kepada Prof Dr Muhammad Yunus, guru besar Universitas Dakka Bangladesh. Ini sungguh prestasi raksasa dari tokoh yang menjadi pelopor kredit mikro itu.

Tidak mengherankan, sorak sorai serta rasa bangga bercampur haru melanda hati seluruh warga Bangladesh, bahkan seluruh rakyat dunia ketiga. Buktinya, ikhwan saya DR Daniel Rosyid, dekan Fakultas Perkapalan ITS, Minggu kemarin menumpahkan keharuannya melalui SMS yang disebarkan ke mana-mana.

Keharuan tersebut sangat tulus. Apalagi, Bangladesh adalah negeri yang masuk kategori dunia ketiga. Sebagian besar penduduknya muslim yang saat ini lagi menunaikan ibadah puasa. Hal itu seakan merupakan proksi Lailatul Qadar yang dilimpahkan Allah SWT kepada bangsa yang lebih miskin ketimbang bangsa Indonesia tersebut.

Paling tidak, ada kebanggaan yang murni di lubuk bangsa Bangladesh karena putra terbaiknya diakui dunia sebagai pelopor kredit bagi orang miskin yang jumlahnya lebih dari 7 juta orang.

Bukan Konsep Baru bagi Indonesia

Prinsip kredit mikro Grameen Bank adalah tanggung renteng antaranggota kelompok yang mendapatkan kredit dipadukan dengan penanaman disiplin tinggi di kalangan anggota dengan "atribut ritual" yang ditanamkan untuk menumbuhkan solidaritas dan disiplin.

Harus diakui, Muhammad Yunus membuktikan diri sebagai pejuang yang mempunyai visi, objektif, strategi, taktik, dan aksi yang dilaksanakan secara amanah dan istikamah selama 30 tahun lebih. Inilah yang menjadi kunci fundamental keberhasilannya.

Mengapa hal itu perlu digaris bawahi? Sebab, di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, sudah ada kegiatan di bidang perkoperasian yang menerapkan prinsip tanggung renteng di antara anggota kelompok yang menerima kredit dari koperasi.

Nyonya Sjafril, istri seorang dokter di Malang, telah mendahului Yunus ketika pada dasawarsa 1960-an membentuk koperasi di kalangan wanita dengan prinsip tersebut. Awalnya, hal itu berkembang cepat. Kemudian, karena kurangnya unsur amanah dan istikamah dari pengurus tertentu, "bayi kesayangan" Bu Sjafril terpaksa tinggal kenangan sejarah.

Di Surabaya koperasi Setia Bhakti Wanita yang dipelopori Nyonya Yoos Lutfi -kebetulan dia keponakan Bu Sjafril- menerapkan prinsip-prinsip yang sama dan hingga saat ini terus berkembang dengan lumayan. Meski, beberapa saat lalu pendiri utamanya sudah tidak aktif sebagai pengurus. Kita harus akui bahwa untuk ukuran Indonesia, Koperasi Setia Bhakti Wanita sangat sukses karena keanggotaannya mencakup 10 ribu orang lebih dengan omzet usaha sekitar Rp 500 miliar, mungkin lebih.

Namun, kita juga harus akui bahwa sukses itu bukan bandingan dari Grameen Bank di Bangladesh. Bukan hanya jumlahnya yang lebih dari 500 kali lipat dan menjadi suatu gerakan nasional yang memukau dunia ketiga, yang lebih mengharukan adalah "daya rengkuhnya" kepada masyarakat miskin yang tingkat kemiskinannya lebih jelek dibandingkan anggota Koperasi Bhakti Wanita.

The untouchable poor menjadi touchable berkat kiprah Grameen Bank. Seperti koperasi SBU, kredit yang mereka kembangkan tanpa agunan. Jaminannya adalah "solidaritas tanggung renteng". Terbukti, kredit macetnya dapat dikatakan hampir nihil atau bahasa kerennya highly negligible.

Kendala di Indonesia

Pertanyaan yang sering diajukan bangsa kita adalah kapan akan datang zaman yang memberikan kebaikan dan kesejateraan kepada banyak pihak, syukur-syukur kalau berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia. Biasanya, mereka minta dijawab berapa lama atau berapa tahun lagi?

Sambil bergurau, kita akan mengatakan bahwa hingga kiamat sekalipun, tidak akan datang zaman semacam itu. Kecuali, kita percaya akan adanya "Ratu Adil" yang kita harapkan datang beneran, entah kapan.

Hingga saat ini, di Indonesia tidak ada tokoh nasional sekaliber Yunus yang begitu amanah dan istikamah berjuang dengan menenggelamkan diri secara all-out dalam mewujudkan gagasan yang diyakini. Jangka waktu 30 tahun bukan waktu yang pendek.

Kita di zaman Orba pernah berwacana tentang Rencana Pembangunan 25 Tahunan. Namun, karena para pemimpin kita tidak punya karakter seperti Yunus, kerangka landasan untuk dipakai tumpuan tinggal landas ternyata telah amblas dan membuat perekonomian Indonesia tertinggal di landasan. Indonesia yang membangun perekonomian lebih dahulu dari Tiongkok sekarang berharap belas kasihan dan kehadiran investor Tiongkok.

Salah satu kendala yang lebih eksplisit di bidang perkreditan mikro di Indonesia adalah menggejalanya moral hazard. Dimulai dari para Konglomerat yang menular dangan cepat ke lapisan grass root. Selain itu, program pengentasan kemiskinan yang di dalamnya ada skema kredit mikro senantiasa kental dengan misi politik.

Kalau kemarin politik Orba, sekarang itu berubah menjadi politik partai yang sedang berkuasa atau yang paling kentara adalah bagian dari kampanye pejabat yang ingin menang dalam pilkada. Rakyat yang sudah lama dibodohi tentu tidak benar-benar bodoh. Mereka manfaatkan dalam konotasi negatif program-program kredit mikro yang jumlah dan volumenya jauh lebih besar daripada kredit mikro model Grameen Bank. Terciptalah budaya moral hazard di kalangan si kecil.

Maraknya moral hazard semakin menghebat karena banyak pejuang yang mengklaim memperjuangkan rakyat kecil dalam berbagai forum dan media membenarkan wong cilik untuk tidak perlu membayar utang mereka yang kecil dengan alasan para konglomerat hitam juga telah ngemplang ratusan triliun uang negara. Tidak mengherankan, nonperforming loan di bank-bank dan BPR kita, termasuk yang syariah, jauh dari ideal. Agunan menjadi satu-satunya perlindungan utama bagi perbankan Indonesia.

Hal lain yang sangat disayangkan bahwa sistem pinjaman tanggung renteng tanpa agunan di Indonesia tidak mampu menjadi "gerakan nasional" yang dengan gegap gempita dan bertumpu kepada kemampuan profesional-jati diri yang secara simultan dapat menumbuhkan kembali rasa percaya antaranggota. Lalu, berlanjut pada rasa percaya di antara masyarakat dan bangsa.

Masihkah Ada Peluang?

Kalau kita pesimistis, dengan jujur kita harus menjawab bahwa peluang untuk mengentaskan kemiskinan secara fundamental bagi bangsa Indonesia semakin menipis.

Banyak program yang dicanangkan sejak zaman Orde Baru, tapi diragukan keefektifannya. Jurang antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Pengangguran di kalangan generasi muda (makin banyak yang berpendidikan) bertambah besar.

Lalu, masihkah kita punya harapan? Kita sekarang harus berpaling kepada generasi baru pemimpin bangsa yang sangat cendekia, profesional, dan punya banyak teman dengan jaringan nasional serta konon lagi naik daun karena ikut berkuasa bersama SBY-Kalla.

Dengan modal nasional puluhan ribu pemimpin semacam itu, tidak selayaknya kita pesimistis. Bangsa Indonesia punya alasan untuk tetap optimistis, asalkan mereka bisa mengikuti "Muh. Yunus Way!"

Mengambil oper darma "memikul tugas sejarah" dengan menjadi panutan bangsa yang selalu amanah dan istikamah serta berusaha terus menyalakan terang di setiap rumah orang miskin dan memberi harapan kepada mereka yang putus asa.

Prof Dr Tjuk K Sukiadi, dosen FE Unair serta komisaris BPR Syariah Baktimakmur Indah
,2:23 PM

Sejahtera dan Damai

Iman Sugema
Inter CAFE, Institut Pertanian Bogor

Komite Hadiah Nobel akhirnya mengeluarkan keputusan yang sangat mengejutkan yakni memberikan Nobel untuk bidang perdamaian kepada seorang ekonom yang bernama Muhammad Yunus dari Bangladesh. Dikatakan mengejutkan karena biasanya hadiah ini lebih kerap dianugrahkan kepada mediator perdamaian dan aktivis HAM. Selain itu, apa yang dikerjakan Profesor Yunus sama sekali tak ada kaitan langsung dengan perdamaian.

Yunus adalah seorang ekonom yang membidani Grameen Bank, sebuah lembaga keuangan yang menyalurkan kredit mikro kepada penduduk miskin terutama perempuan. Tak ada ide yang begitu revolusioner yang dibuahkannya. Yunus sendiri mengakui bahwa ia hanya menerapkan hal-hal yang sangat sederhana. Yang menjadi revolusioner adalah dampak dari gerakan yang dimotori Yunus terhadap kehidupan kaum papa. Selama seperempat abad lebih, ia dan teman-temannya menggugah dunia dalam memerangi kemiskinan melalui tindakan nyata dan bukan konsep yang muluk-muluk.

Pertanyaannya kemudian adalah apa yang membuat Yunus menjadi sangat spesial sehingga mengalahkan kandidat lain yang justru secara langsung berkutat dengan masalah perdamaian? Apa hubungan kemiskinan dengan perdamaian? Kenapa Yunus tidak dihadiahi Nobel di bidang ilmu ekonomi? Berikut ini, mungkin merupakan beberapa catatan penting yang bisa menjawab pertanyanan di atas.

Pertama, kesejahteraan hampir selalu berdampingan dengan kedamaian. Itulah sebabnya kita selalu menyatukan kedua kata tersebut, damai sejahtera. Kesejahteraan tak akan pernah tercipta tanpa adanya perdamaian. Kedamaian tak punya arti apa-apa tanpa kesejahteraan. Karena itu, upaya pengentasan kemiskinan adalah merupakan bagian dari memaknai sebuah perdamaian.

Amartya Sen - pemenang Nobel ekonomi - menyatakan bahwa kemiskinan merupakan sebuah bentuk keterbelengguan (unfreedomness). Walaupun diberikan demokrasi dan kebebasan yan seluas-luasnya, orang miskin tak akan mampu menikmatinya. Mereka terbelenggu oleh himpitan kehidupan. Persoalannya, mereka tak memiliki kemampuan untuk mentransformasikan demokrasi menjadi kesempatan ekonomi.

Selain itu, fakta empiris juga menunjukan bahwa konflik horizontal dan pemberontakan lebih sering terjadi di negara-negara miskin. Kemiskinan rupanya banyak terkait dengan tindakan kekerasan. Konflik di negara yang demokratis dan sejahtera menjadi lebih terkelola. Sebaliknya, di negara miskin sering terjadi secara berkepanjangan dan tidak mudah diselesaikan.

Hal ini menimbulkan sebuah paradigma baru yakni pendekatan kesejahteraan akan mampu menciptakan perdamaian di dunia ini, walaupun tak bisa dijamin seratus persen. Kesejahteraan merupakan common interest bagi individu maupun kelompok yang hidup di suatu negara. Jika common interest ini tidak bisa terwujud atau hanya dinikmati oleh sebagian pihak saja, maka akan timbul luka sosial yang dalam.

Kedua, Yunus telah menunjukan bahwa tanggung jawab mengatasi masalah kemiskinan tidak hanya ada di pundak pemerintah. Semua lapisan masyarakat dapat berpartisipasi sesuai dengan kapasitasnya. Peranan pemerintah di Grameen Bank relatif sangat minimal. Grameen Bank lebih mirip sebuah gerakan swadaya masyarakat dari pada sebuah lembaga keuangan formal pada umumnya.

Yunus telah bisa menunjukan bahwa sesama orang miskin sekalipun bisa saling membantu. Penduduk miskin dimandirikan untuk bisa menolong dirinya sendiri dan menolong tetangganya. Dalam pandangan Yunus tidak ada dikotomi antara kaya dan miskin. Tak penting juga apakah orang kaya akan secara sukarela 'membantu' kelompok miskin. Bagi Yunus yang terpenting adalah bagaimana memerdekakan orang dari kemiskinan. Dalam kacamata Yunus, isu terpenting adalah kemiskinan absolut dan bukan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif hanya menjadi relevan ketika kemiskinan absolut sudah teratasi.

Ketiga, memerangi kemiskinan adalah sebuah pekerjaan besar yang perlu dilakukan secara sistematis dan konsisten. Terlalu banyak dari kita yang meremehkan ide dasar Grameen Bank yang teramat sederhana. Ya, memang betul idenya sangat sederhana dan tak sulit untuk difahami. Tetapi yang tersulit adalah melaksanakan ide tersebut dalam jangka waktu yang lama dan mentransformasikannya menjadi sebuah gerakan sosial. Dengan cara ini dua hal bisa tercapai sekaligus: 1) penduduk miskin dapat tertolong dan 2) upaya tersebut tidak menimbulkan beban anggaran bagi pemerintah.

Bisa kita sarikan bahwa pengentasan kemiskinan tidak harus memakai duit pemerintah. Yang terjadi di Indonesia justru sangat menyedihkan. Uang pemerintah dihabiskan untuk membiayai berbagai macam program anti kemiskinan dan bahkan sebagiannya dibiayai dari pinjaman luar negeri, tapi tetap saja kemiskinan tak tertangani dengan baik. Sudah uang habis dan malah kemiskinan bertambah.

Sudah saatnya kita mengambil pendekatan non-konvesional. Yunus telah menunjukan bahwa pengentasan kemiskinan dapat ditempuh melalui gerakan sosial yang bersifat masal. Pembangunan juga pada intinya adalah menggerakan masyarakat untuk melakukan pembangunan. Tampaknya inilah yang kurang kita sadari di era reformasi ini. Hampir tak ada program ekonomi yang mampu menggerakan masyarakat. Setiap saat kita mengeluh dan pesimis terhadap apa yang akan dilakukan pemerintah.

Sebagai penutup, Yunus bukanlah ekonom yang canggih dalam berteori. Tetapi ilmunya menjadi lebih bermanfaat dibanding profesor ekonomi paling beken di dunia. Apakah ekonom Indonesia siap menyusul?
Friday, October 13, 2006,12:00 PM

Setelah IMF Pergi

Oleh Yuliani Yunindri

Akhirnya, spirit pemerintah memandirikan ekonomi bukan lagi sekadar retorika. Keputusan Bank Indonesia melunasi sisa utang beserta bunganya, USD3,2 miliar, kepada Dana Moneter Internasional (IMF) merupakan indikasi semangat tersebut.

Keberanian itu sekaligus kabar gembira rakyat Indonesia melepaskan diri dari jeratan utang IMF. Dirasa menjerat, karena IMF begitu ketat mengatur ekonomi Indonesia sebagai imbalan atas pinjamannya, seperti menutup 16 bank, kebijakan uang ketat membuat suku bunga meroket dari 20 persen menjadi 300 persen pada September 1997.

IMF menetapkan sekitar 130 persyaratan saat membantu memulihkan perekonomian Indonesia dari krisis ekonomi pada 1997-1998. Seluruh persyaratan itu tertuang dalam letter of intent yang ditandatangani Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus pada 15 Januari 1998. Akibatnya, negeri ini harus tunduk sepenuhnya pada keinginan IMF yang menganut paham ekonomi pasar bebas. Paham itu melumpuhkan kemandirian ekonomi nasional.

Manfaat

Pelunasan utang kepada IMF mendatangkan sedikitnya dua manfaat. Pertama, pembayaran sisa bunga utang pada akhir 2006 hanya USD 21,5 juta dari seharusnya USD 22 juta. Maka, terjadi penghematan USD 500.000.

Dengan mempercepat pembayaran utang, pemerintah dapat menghemat pembayaran bunga sekitar USD 370 juta per tahun. Mengingat utang kepada IMF seharusnya berakhir pada 2010, terjadi penghematan USD 1,48 miliar. Dana ini sangat berarti bila digunakan untuk program pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, atau peningkatan mutu kesehatan rakyat.

Kedua, Indonesia tak berada lagi dalam post monitoring program. Artinya, negeri ini membangun perekonomiannya dengan utang yang lebih kecil sehingga mulai muncul kemandirian. Namun, keputusan mempercepat pelunasan utang itu perlu didukung oleh sejumlah langkah konsisten dengan memanfaatkan seluruh potensi demi masa depan ekonomi yang lebih baik.

Langkah

Selama ini pemerintah berutang karena alasan perkembangan kerangka ekonomi makro dan kenaikan kebutuhan pendanaan untuk pendidikan, infrastruktur, PLN, dan angka defisit PDB.

Bila berniat mengonsolidasikan plafon utang, pemerintah harus mengubah gaya manajemen utang. Caranya, pertama, membatasi defisit anggaran belanja sebagai langkah awal membangun kemandirian. Membatasi defisit merupakan cambuk bagi pemerintah untuk terus meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran.

Menggali potensi pembiayaan lebih baik daripada hanya menerima bantuan negara kaya, maju, atau sahabat. Caranya, pemerintah menggunakan mekanisme pembiayaan baru (refinancing), seperti penerbitan surat utang dalam negeri dan luar negeri.

Penerbitan surat utang itu mendorong pemerintah lebih menyempurnakan berbagai kebijakan ekonomi dan tidak berbuat gegabah karena selalu dikontrol oleh pasar. Pemerintah tidak mau kehilangan kepercayaan pasar.

Namun, di balik kepercayaan pasar tersebut, utang di pasar uang internasional sangat berisiko. Sebab, tingkat dan kecepatan perubahan bisa terjadi sekonyong-konyong, baik menyangkut skema pembayaran maupun kalkulasi harganya.

Kedua, telah tiba saatnya menanggalkan sudut pandang normatif, bagaimana Indonesia melakukan apa yang seharusnya diambil dan apa yang tidak seharusnya dilaksanakan berkaitan dengan utang. Argumentasi klasik, seperti perlunya melanjutkan upaya reformasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan inflasi, hingga upaya terus-menerus terhadap perbaikan iklim investasi, tak perlu dikumandangkan.

Saatnya utang dilandaskan pada kebutuhan konkret, mendesak, dan prioritas bagi pemenuhan hak-hak sosial ekonomi dasar rakyat. Utang juga harus digunakan sangat efektif. Ini mengingat beban pembayarannya sudah sangat memberatkan anggaran pemerintah.

Utang Indonesia memang sudah menjerat, bahkan arus dana dari utang dan pembayaran cicilannya telah berbalik. Yang paling berat menanggung beban ini adalah rakyat karena utang sekarang dibayar dengan pajak.

Kemampuan anggaran negara, sekalipun penerimaan pajak terus meningkat, belum cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan anggaran. Ini disebabkan begitu besarnya beban utang yang diciptakan pada tahun-tahun sebelumnya.

Jadi, persoalan utang sudah menjadi lingkaran setan yang ruwet. Utang baru selalu dibutuhkan untuk menambal lubang defisit anggaran, yang dibutuhkan guna membiayai pembangunan dan membayar utang-utang lama. Ringkasnya, pemerintah dipaksa terus menciptakan utang baru untuk membayar utang lama. Begitu seterusnya.

Ketiga, fokus penggunaan pinjaman, mau tak mau, menjadi diprioritaskan untuk membiayai sebagian besar pembangunan infrastruktur, jalan, dan transportasi. Karena itu, dimungkinkan dilaksanakan studi kebijakan demi mendapatkan saran-saran tepat penentuan prioritas dan kemanfaatan strategis.

Peningkatan kapasitas pemerintah melaksanakan proyek menjadi penting dalam kerangka pengawasan penggunaan utang sehingga potensi korupsi diminimalkan. Sisi pengawasan menjadi prioritas karena pihak donor kian tegas menyikapi korupsi. Tidak bisa ikut dalam proyek menjadi sanksi bagi perusahaan yang melakukan tindak korupsi.

Celakanya, berdasar catatan Bank Pembangunan Asia (ADB), hampir separo perusahaan yang di-blacklist karena terbukti melakukan korupsi berasal dari Indonesia.

Padahal, Indonesia merupakan negara pengutang terbesar ke ADB, yakni USD 20,7 juta periode 1999-2005. Di pertemuan CGI 2006, ADB memberikan utang baru kepada Indonesia sebesar USD 900 juta.

Itulah konsekuensi yang setiap tahun kita hadapi bila tak cermat mengelola utang. Pemerintah tak bisa berbuat banyak bila terus mengandalkan kucuran utang. Posisi itu memiskinkan pilihan dan menyakitkan. Dampaknya, upaya untuk meningkatkan rasio anggaran pendidikan hingga 20 persen dari total APBN pun gagal karena uang pajak wajib disisihkan untuk membayar utang. Semoga, IMF benar-benar pergi dan tak kembali lagi.

Yuliani Yunindri PhD, memperoleh doktor moneter-keuangan dari Leeds University, Inggris
,11:58 AM

Merdeka dari Utang IMF

Dr. Andi A. Mallarangeng

Hampir semua kita pernah berutang. Ada yang utangnya sedikit, ada yang utangnya banyak. Ada yang berutang sebentar, ada yang berutang terus-menerus. Ada pula yang bangkrut karena utang, tapi ada juga yang bisa melunasi utang.

Mengutang di warung lalu dibayar sesudah gajian, sudah biasa. Selama gaji lebih besar dari utang, tidak masalah. Berutang untuk kredit motor atau mengambil kredit perumahan rakyat, itu lumrah, selama pendapatan lebih besar dari cicilan. Berutang ke bank untuk kredit usaha, sudah umum. Selama usaha berjalan lancar, cicilan dan bunganya bisa dibayar, no problem. Malah untung besar bisa didapat. Yang jadi masalah jika besar pasak dari pada tiang. Lama-lama, modal dimakan. Kalau utang sudah lebih besar dari modal, itu celaka. Sedikit saja ada gangguan, usaha dan ekonomi keluarga lantas jatuh bangkrut.

Yang menjengkelkan, jika pihak yang memberi utang mau ikut mengatur bagaimana kita menggunakan uang utangan. Boleh mengutang tapi harus begini dan tidak boleh begitu. Walau menjengkelkan, kadang-kadang tidak ada pilihan sebab kita sudah tak bisa hidup tanpa utang. Tangan di atas yang menentukan, tangan di bawah tinggal menerima.

Negara juga sering kali perlu mengutang. Rakyat ingin pembangunan yang cepat dan pelayanan yang menyeluruh, bahkan subsidi untuk banyak hal. Tapi soal bayar pajak, nanti dulu. Hasilnya, dana pemerintah tidak pernah cukup untuk membangun, melayani dan menyubsidi semua yang diinginkan rakyat. Lalu negara mengutang kepada negara-negara donor, badan-badan internasional, atau pun jual Surat Utang Negara. Dalam keadaan krisis sumber utang yang selalu tersedia adalah lembaga yang bernama International Monetary Fund (IMF).

IMF selalu populer karena tersedia setiap saat dan bunganya murah. Persoalannya, berutang pada IMF ada syarat-syaratnya yang sering disebut condisionalities. Di situ diatur apa yang harus dilakukan oleh negara pengutang, yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI). Ini yang sering kali jadi masalah, karena LoI berisi resep-resep IMF untuk keluar dari krisis. Resep itu kadang tidak manjur, tetapi dipaksakan dan kemudian menimbulkan masalah. Bahkan, ketika kita sudah keluar dari program IMF, masih ada juga persyaratan yang disebut post program monitoring.

Karena itu, ketika pemerintah memutuskan untuk membayar lunas seluruh utang kita kepada IMF minggu lalu, sejumlah USD 7,8 milyar, dada terasa lega dan berdiri terasa lebih tegak. Ini ungkapan perasaan yang bangga. Siapa saja yang pernah berutang di warung, pada keluarga dan sahabat, bank atau pun tengkulak pastilah merasa lega dan bangga ketika utangnya bisa terbayar lunas.

Jangan salah sangka, utang kita belum lunas semua. Tetapi secara keseluruhan utang kita makin lama makin menurun persentasenya dibandingkan dengan PDB kita. Artinya, proporsi utang kita makin lama makin menurun dibandingkan dengan pendapatan kita. Tahun 2001, stok utang pemerintah 74,7% terhadap PDB. Tahun 2005, stok utang pemerintah turun menjadi 48,0 % terhadap PDB. Dengan pelunasan utang IMF ini diharapkan prosentasenya terhadap PDB menurun mendekati 40 %.

Sementara itu, cadangan devisa kita terus bertambah dari USD 36,3 milliar pada tahun 2004, menjadi USD 43 milliar pada akhir tahun 2006. Sebuah trend yang baik untuk makin merdeka dari utang. Bravo!
Thursday, October 12, 2006,1:39 PM

Korut Siap Perang dengan AS

Tambahan Sanksi Bakal Dilawan Serangan Militer

SEOUL - Korea Utara (Korut) menyatakan siap melakukan pembalasan fisik jika Amerika Serikat (AS) melanjutkan tekanan kepada negara komunis itu.

"Jika AS tetap melanjutkan kecaman dan tekanannya ke kami, kami akan mendeklarasikan perang dan siap dalam serangkaian pembalasan secara fisik," bunyi pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Korut seperti dikutip dari kantor berita KCNA (Korean Central News Agency) kemarin.

Dalam pernyataan resmi pertama sejak klaim uji bom nuklirnya sukses Senin lalu itu, Menlu Korut tidak memerinci balasan fisik apa yang disiapkan dalam menghadapi sanksi militer yang diusulkan AS kepada Dewan Keamanan PBB.

"Meskipun kami menggunakan hak uji coba nuklir AS, keinginan untuk memuwujudkan denuklirisasi di Semenanjung Korea melalui dialog dan negosiasi tak berubah," lanjut Menlu Korut. "Kami siap kedua-duanya, dialog dan konfrontasi," lanjutnya.

Menlu Korut menegaskan bahwa uji coba nuklir sama sekali tidak bertentangan dengan pernyataan bersama dalam perundingan enam negara pada 19 September tahun lalu.

Dalam pernyataan saat itu, Korut setuju mengubah proyek nuklirnya untuk kepentingan pengadaan energi, keuntungan diplomatis, dan jaminan keamanan.

Saat komunitas internasional sibuk merumuskan sanksi kepada Korut atas uji coba bom nuklir pertama, kemarin mencuat kekhawatiran bahwa Korut sudah melaksanakan uji bom nuklir kedua. Sejumlah media Jepang menyebutkan, pemerintah mendeteksi getaran-getaran yang mencurigakan di Jepang Utara. Pejabat Kementerian Luar Negeri Jepang membenarkan bahwa pemerintah tengah meneliti kemungkinan ada uji coba bom nuklir kedua.

Badan Meteorologi Jepang melaporkan telah terjadi gempa bumi berkekuatan 6 skala Richter mengguncang wilayah utara Jepang. Namun, Juru Bicara Badan Meteorologi Jepang Yukuhiro Watanabe mengatakan, guncangan itu berbeda dengan laporan tentang getaran yang tertangkap di wilayah Korut.

Pemantau geologi AS dan Korea Selatan (Korsel) menyebutkan, tidak ada aktivitas seismik baru yang terdeteksi di wilayah Korut.

"Tidak ada sinyal dari Korut, bahkan yang kecil pun," ujar Chi Heon-cheol, direktur Pusat Riset Gempa Bumi di Seoul. Hal yang sama dikatakan pejabat Lembaga Survei Geologi AS Rafael Abreu. "Tidak ada aktivitas apa pun dalam dua jam terakhir," katanya. Abreu mengatakan, institusinya bisa mendeteksi sebagian besar getaran apabila memiliki kekuatan di atas 3,5 skala Richter.

Sejumlah kalangan memperkirakan, Pyongyang mungkin akan melakukan beberapa uji coba nuklir lagi. Pasalnya, uji coba yang pertama diyakini gagal setelah ledakan yang ditimbulkan tidak besar. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengaku belum menerima konfirmasi tentang uji coba nuklir Korut itu. Pernyataan serupa juga disampaikan Gedung Putih.

Kendati demikian, kekhawatiran kawasan Asia tetap terlihat jelas sebagaimana diungkapkan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer. Menurut dia, Australia sangat khawatir Korut akan menggelar uji coba nuklir kedua dalam waktu dekat.

Mengantisipasi pembalasan dalam bentuk serangan dari Korut, Menteri Pertahanan Korsel Yoon Kwang-ung menyatakan, Seoul akan menambah pasokan persenjataan konvensional ke perbatasan. "Meskipun Korut terang-terangan akan menggunakan nuklirnya, kami tetap percaya dengan kemampuan senjata konvensional kami dalam jumlah besar. Kami tidak pernah ada keinginan melanggar prinsip denuklirisasi," ujar Kwang-ung dalam pidato di hadapan Parlemen kemarin.

Sikap percaya diri Korsel tersebut tidak lepas dari jaminan perlindungan dari AS. Kepala Pasukan AS di Korsel Jenderal B.B. Bell menyatakan, pasukan AS selalu dalam kondisi siap siaga mengantisipasi semua kemungkinan. "Pasukan aliansi siap menghadap agresi (dari Korut). Jika agresi mereka gagal, kami siap menyerang balik," tegas Bell. "Pasukan AS sudah terlatih, baik dalam konfrontasi nuklir, biologi, maupun ancaman senjata kimia," ujarnya.

Sekitar 29.500 pasukan AS ditempatkan di Korsel sejak Perang Korea 1950-1953. Perang itu diakhiri dengan gencatan senjata, namun belum ada perjanjian damai di antara kedua pihak.

Pemerintah Jepang mengambil keputusan tegas dengan memutus semua jalur impor dari Korut. Kemarin Jepang mengumumkan larangan total terhadap semua kapal berbendera Korut masuk ke pelabuhan Jepang. "Jepang berada dalam ancaman yang sangat serius setelah Korut berhasil meningkatkan kemampuan nuklir dan rudal mereka," kata PM Shinzo Abe.

Abe menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil untuk melindungi rakyat Jepang dan semua properti negara. "Langkah ini kami ambil untuk menciptakan perdamaian," lanjutnya. Abe menambahkan, pemerintah Jepang segera menerapkan peraturan tersebut setelah disetujui kabinet pada Jumat besok.

Jepang pernah menerapkan sanksi serupa saat Korut melakukan uji coba tujuh rudalnya pada 4 Juli lalu. Jepang selalu bertindak tegas karena rudal yang diluncurkan Korut bisa mencapai wilayahnya. Hal itu terbukti saat Korut meluncurkan rudal Taepodong-1 pada 1998. Meski akhirnya jatuh di Laut Jepang, rudal itu sempat melintasi wilayah Jepang.
(afp/ap/bbc/kim)
,1:10 PM

Korut: Sanksi Lebih Keras Sama dengan Ajakan Perang

beijing, rabu - Dorongan dari sejumlah pihak mengenai sanksi lebih keras terhadap Korea Utara sama artinya dengan mengajak berperang. Sanksi itu adalah hukuman atas tindakan negara itu melakukan uji coba bom nuklir.

"Sanksi-sanksi itu tidak masuk akal. Jika sanksi berskala penuh diterapkan, kami akan menganggap itu sebagai sebuah pengumuman perang," tegas seorang pejabat Korut di Kedutaan Besar Korut di Beijing.

Dia menggugat mengapa PBB tidak mempermasalahkan India ketika negara itu menerima teknologi nuklir dari AS. "Semakin banyak sanksi yang kami terima, semakin kuat pula respons yang akan kami berikan," ungkapnya.

Sikap keras dan nekat Korut itu, sebagaimana dilaporkan kantor berita Korea Selatan, Yonhap, membuat Pemerintah Korea Selatan (Korsel) segera memeriksa kesiapan militer jika terjadi perang nuklir dengan Korut.

Menteri Pertahanan Korsel Yoon Kwang-ung juga telah menginstruksikan untuk mulai meningkatkan rencana operasional negara itu dan strategi-strategi militer lainnya setelah Korut mengancam akan melakukan uji coba nuklir.

Sementara itu, mantan Presiden Korsel Kim Dae-jung, seperti dilaporkan Aljazeera, menilai, memanasnya situasi di Semenanjung Korea adalah akibat kegagalan Pemerintah AS.

AS dipersalahkan

Kim Dae-jung—yang populer dengan kebijakan "matahari terbit"—merangkul dan mengupayakan rekonsiliasi dengan Korut, mengungkapkan, perubahan kebijakan AS yang drastis sejak George W Bush menjadi Presiden AS justru membuat kondisi berubah sangat drastis.

Di masa kepemimpinan Presiden Bill Clinton, AS mendukung Korsel untuk membujuk negara komunis itu meninggalkan ambisi nuklir. Uji coba nuklir oleh (Korea) Utara membuktikan bahwa kebijakan AS terhadap (Korea) Utara sudah salah sejak awal.

AS jangan mempunyai misi melakukan perubahan rezim, tetapi harus mau membuat kesepakatan atas dasar memberi dan menerima dengan Korut," ungkapnya. Kim menilai, AS harus segera menyesuaikan kembali kebijakannya atas Korut dan melanjutkan dialog. (AP/AFP/OKI)
,12:49 PM

Mengapa Korea Utara Tak Gentar?

Lily Yulianti Farid

Uji coba nuklir bawah tanah Korea Utara, Senin (9/10), disebut kantor berita KCNA sebagai tindakan yang memberi perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea dan sekitarnya.

Ungkapan ini berlawanan dengan kecaman dari berbagai penjuru dunia. Korea Utara (Korut) dinilai tidak bertanggung jawab, menciptakan instabilitas, mengancam keamanan Asia Timur Laut dan dunia.

Pengumuman resmi Korut menyebutkan, uji coba pagi hari di Desa Hwade itu berlangsung mulus, dipastikan tidak ada kebocoran radiasi. Pernyataan ini bisa benar, tetapi bisa salah, mengingat selama ini Korut dicurigai sering melalaikan keamanan uji coba.

Seismograf Rusia yang dipasang di seluruh penjuru negeri mencatat getaran dari uji coba itu. Sementara Lembaga Penelitian Sumber Daya Alam dan Geologi Korea Selatan merinci, uji coba itu menimbulkan guncangan berskala 3,5-3,7 skala Richter. Laporan intelijen melengkapinya, lokasi uji coba sama dengan lokasi uji coba rudal Taepodong 2 yang ditembakkan bulan Juli.

Uji coba itu jelas menimbulkan gempa besar di Gedung Putih, di Markas Dewan Keamanan (DK) PBB, dan negara-negara Asia Timur lainnya, yakni Korea Selatan, Jepang, dan China, serta seluruh penjuru dunia.

Sumber-sumber diplomatik di Beijing mengungkapkan, setengah jam sebelum uji coba, Pemerintah China berinisiatif memberi peringatan dini kepada Kedubes AS, Korea Selatan, dan Jepang. Pesannya, China telah diberi tahu Korut tentang rencana uji coba yang bisa menimbulkan getaran setara peledakan 10 ton bubuk peledak TNT.

Sudah diperkirakan

Bagi sebagian pengamat masalah Asia Timur, langkah Korut itu adalah sesuatu yang telah lama diperkirakan. Korut telah lama mengembangkan teknologi nuklirnya. Banyak ahli meyakini negara ini memiliki cadangan material yang mampu memproduksi hingga 10 bom nuklir sekelas bom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki.

Menurut Prof Shen Dingli, Dekan Jurusan Kajian AS di Universitas Fudan, China, Korut ada dalam titik kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi tekanan internasional, khususnya AS dan sekutunya di Asia Timur. Dingli menyebut lima alasan yang membuat Korut amat percaya bahwa negara yang terisolasi itu tidak akan begitu saja diserang AS. Kim Jong IL yakin dengan serangkaian deterrent effect yang ditimbulkan oleh uji coba nuklir. Kemarahan Gedung Putih tidak akan berujung pada kemungkinan terburuk, menyerang Korut. Kim Jong IL juga yakin, terlepas dari seruan ditingkatkannya sanksi menyusul uji coba, tetapi suara yang menganjurkan mencoba pendekatan persuasif nyaring disuarakan China dan Rusia di DK PBB.

Bagi Korut, uji coba itu adalah pembuktian falsafah juche (pertahanan diri) yang ingin ditunjukkan kepada dunia. Falsafah ini menjadi pedoman, yang menganjurkan Korut mengontrol sendiri keamanan negaranya, bukan menggantungkan diri pada perbaikan hubungan dengan AS. Sikap Korut ini menjadikan kondisi keamanan Asia Timur yang amat bergantung pada AS kini menghadapi tantangan lebih besar.

Perkembangan yang dilaporkan The Washington Post, Selasa (10/10), menyebutkan, AS telah menyerahkan sebuah rancangan resolusi kepada DK PBB yang mendesak diadakannya inspeksi terhadap semua arus perdagangan dari dan ke Korut. Tujuannya, untuk memblokir kemampuan Pyongyang mengimpor dan mengekspor teknologi nuklir dan rudal balistik serta untuk membatasi ruang gerak mengumpulkan dana ilegal.

Sayang, lima anggota tetap DK PBB tidak satu suara mendukung proposal AS. Inggris dan Perancis dilaporkan mendukung sanksi, tetapi tidak mendukung seluruh isi rancangan. China bahkan mengingatkan DK PBB untuk "hanya" menggunakan jalur diplomatik dalam membujuk Pyongyang menghentikan aktivitas nuklirnya dan kembali ke perundingan enam negara. Sementara Rusia, meski menyuarakan kecaman keras, juga tidak ikut mendukung sanksi.

AS kewalahan

Tentu banyak penjelasan yang bisa dikedepankan menjawab pecahnya suara di DK PBB. Seruan lama berjudul "menjungkalkan rezim di Pyongyang" yang ditiupkan AS sudah lama tidak mendapat angin. Serangan pendahuluan (preemptive strike) yang menjadi kosakata dalam menanggapi tiap ancaman, dan kerap diucapkan Presiden George W Bush, sudah mendapat tentangan dari Rusia dan China.

Korut dan China terikat perjanjian kerja sama dan saling membantu, yang berlaku hingga hari ini. Perjanjian itu menyebutkan, China wajib membantu Korut apabila negara itu diserang AS. Adalah konyol apabila AS rela mengorbankan kepentingannya dengan China "hanya" gara-gara uji coba nuklir. Rusia sendiri tetap memprioritaskan hubungan dengan Korut dengan pertimbangan geopolitik.

Menyadari posisi AS yang kepayahan dalam arena politik internasional membuat Korut tak gentar melakukan uji coba nuklirnya. Bukankah AS masih kewalahan di Afganistan, terjebak menuntaskan masalah Irak, bahkan gertakannya terhadap Iran yang juga melakukan pengayaan uranium tidak menunjukkan taring yang betul-betul menggigit. Karena semua itulah Korut menyadari posisinya ada di atas angin. Uji coba itu hanya salah satu letupan sikap percaya diri.

Barangkali yang paling tepat dilakukan menanggapi uji coba nuklir ini, seperti dianjurkan aktivis antinuklir, dengan menjadikannya momentum untuk secara serius meninjau kembali "rezim non-proliferasi global".

Uji coba nuklir Korut dan pengayaan uranium Iran bukankah juga secara telak menelanjangi kelemahan-kelemahan dalam kebijakan non-proliferasi AS, sang polisi dunia itu?

Lily Yulianti Farid
Language Specialist NHK World di Tokyo; Pendapat Pribadi
Tuesday, October 10, 2006,1:43 PM

Alquran dan Spirit Kebudayaan Modern

Zezen Zaenal M
Lulusan Fakultas Syari'ah UIN Jakarta. Bekerja di Lembaga Survei Indonesia.

Bulan Ramadhan dipenuhi oleh peristiwa luar biasa bagi umat Islam. Salah satunya adalah pewahyuan Alquran pada malam tanggal 17 Ramadhan untuk pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, Alquran adalah mukjizat teragung bagi kenabian Muhammad SAW dan kemanusiaan.

Alquran juga adalah kitab suci yang unik. Keunikannya akan terlihat kalau kita mengetahui bahwa Alquran diwahyukan kepada Muhammad SAw pada fase transisi kebudayaan dalam sejarah manusia. Muhammad SAW, sang nabi yang menerima pewahyuan Alquran, menurut Muhammad Iqbal, pemikir Pakistan abad ke 19, adalah seorang nabi yang berdiri di antara dunia kuno dan dunia modern.

Dilihat dari sumber dan cara pewahyuannya, apa yang diterima Muhammad SAW sepenuhnya merupakan bagian dari tradisi kebudayaan kuno yang terbentang dari Adam hingga Yesus. Tapi dilihat dari spirit, semangat dan api pewahyuannya, apa yang diterima Muhammad SAW adalah awal atau bagian dari tradisi kebudayaan modern.

Dalam Islam, kenabian Muhammad SAW mencapai puncak kesempurnaannya dalam penemuan kebutuhan penghilangan tradisi kenabian itu sendiri. Artinya, setelah Muhammad SAW, Tuhan tidak lagi secara langsung menuntun manusia lewat pewahyuan pada seseorang individu. Tuhan bahkan tidak mewakilkannya pada sekelompok orang, seperti kelas ulama atau pendeta. Setiap manusia dibiarkan sendiri menyingkap realitas kehidupan berdasarkan tanda-tanda atau petunjuk (ayat) yang telah diturunkan-Nya. Dan kenabian berakhir sampai di sini.

Lahirnya Muhammad SAW dan turunnya Alquran menandai dimulainya penemuan dan pengembangan sumber pengetahuan baru bagi kebudayaan manusia. Sumber pengetahuan baru itu adalah kesadaran induktif (inductive intellect) yang kelak memegang peran amat penting bagi peradaban manusia. Alquran berulang-ulang menekankan pentingnya manusia merenungkan keberadaan alam sekitar.

Kita disuruh memperhatikan dan meneliti bagaimana malam dan siang datang silih berganti, miliaran bintang tak bertabrakan, gunung dipancangkan, lautan dihamparkan, waktu, cahaya, dan beragam fenomena alam lainnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Hal yang disebutkan tadi dengan jelas disebutkan oleh Alquran sebagai salah satu bagian dari tiga sumber pengetahuan manusia: jiwa (anfus, self), alam raya (afaq, nature),dan sejarah (QS 41:53).

Semangat induktif Alquran inilah yang memberikan corak baru dalam perkembangan kebudayaan manusia. Islam dari awal hadir bersifat terbuka. Karena itu, Islam membuka dialog dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan India, Persia, Romawi, Yunani dan lain-lain. Di antara kebudayan-kebudayaan itu, yang amat terasa peranannya adalah kebudayaan Yunani, terutama tradisi filsafat dan pemikirannya.

Sejak Alkindi, filsuf muslim awal, menerjemahkan karya-karya pemikir Yunani, kegairahan para pemikir Muslim pada kebudayaan ini begitu menggelora. Namun, para pemikir Muslim menemukan adanya kontradiski antara corak pemikiran Yunani dan spirit Alquran. Tradisi filsafat Yunani terlalu menekankan aspek-aspek teoritik spekulatif idealistik dan cendrung mengesampingkan realitas faktual.

Pandangan Plato bahwa dunia yang hakikat adalah dunia idea, sementara dunia yang real bersifat skunder dan tak lebih dari penampakan semata, menyebabkan penghargaan pada teori-teori spekulatif idealistik menjadi utama. Bahkan dalam pemikiran Aristotelian yang sering dijadikan rujukan madzhab empiris, sampai sebelum Islam datang, nuansa dan corak idealistik masih begitu terasa.

Kontradiksi inilah yang menyebabkan terjadinya revolusi corak dan pemikiran filsafat Islam awal. Kultur budaya Yunani tetap diapresiasi dan dikembangkan sembari mengukuhkan corak baru, yakni corak pemikiran induktif. Karena itu, tak aneh, segera setelah para pemikir Muslim mendialogkan pemikiran Yunani dan ajaran Alquran, kebudayaan Islam mencapai masa kegemilangan.

Pemikiran rasional-idealistik (anfus)dan penemuan serta penelitian empirik (afaq) berjalan berbarengan dan saling mendukung. Ilmu pengetahuan berkembang pesat. Ilmu optik, astronomi, obat-obatan dan dunia kedokteran, sosiologi, matematika, kimia, biologi dan lain-lain mencapai tahapan yang sangat mengagungkan untuk ukuran saat itu. Nama besar seperti Ibnu Miskawaih, Al Khawarizmi, Al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd dan lain-lain muncul di percaturan dunia.

Kondisi sekarang
Kondisi umat Islam sekarang tak lagi demikian. Seruan kembali pada Alquran untuk mengobati keterbelakangan Islam, belakangan terkesan amat jargonis. Umat Islam, dengan kegemilangan masa lalu, menjadi umat yang apologetik. Alih-alih melakukan penyelidikan ilmiah terhadap alam sebagai bagian dari ketundukan dan ibadah pada Tuhan, umat Islam kini sibuk melakukan klaim-klaim apologetik. Ketika teori Big Bang ditemukan oleh Barat, misalnya, umat Islam sibuk mencari rujukan dalam Alquran. Setelah ayat yang sedikit mirip ditemukan (QS 21:30), dengan tanpa malu kemudian akan mengkalim bahwa Islam telah menemukan teori itu 14 abad lalu. Hal serupa juga terjadi pada banyak penemuan modern lainnya.

Keyakinan bahwa Alquran adalah sumber pengetahuan manusia tidak dibarengi oleh kesadaran bahwa jiwa, alam raya, dan sejarah juga adalah sumber pengetahuan yang berharga. Meneliti Alquran, alam raya, jiwa, dan sejarah, dengan demikian memiliki derajat ibadah yang sama. Kesemuanya adalah ayat-ayat Tuhan (tanda-tanda kebesaran-Nya). Alquran adalah ayat qur'aniyah, sementara jiwa, alam raya, dan sejarah adalah ayat kauniyah. Karena itu, baik ahli Alquran maupun ahli jiwa, fisikawan, ahli biologi, ahli sejarah, dan lain-lain adalah ulama (orang yang mendalam ilmunya).
,1:24 PM

Asap Saja Tidak Bisa Kita Atasi!

Tjipta Lesmana

"Saya malu dengan tetangga kita. Setiap tahun kita mengekspor asap ke Malaysia dan Singapura. Malu saya dibuatnya. Maka, hari ini saya memerintahkan saudara-saudara, stop ekspor asap! Kepada Kepala Polri, saya memerintahkan tindak tegas pengusaha-pengusaha kayu yang suka bakar hutan!"

Begitu kira-kira perintah Presiden Yudhoyono di depan para gubernur yang bertemu di Jakarta, November tahun lalu. Pada kesempatan itu hadir juga petinggi pemerintah lain, termasuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto. Ketika itu, Presiden baru saja bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi. Rupanya, dalam pertemuan tersebut, secara halus Badawi menyinggung masalah kebakaran hutan di Indonesia yang sudah menjadi "fenomena tahunan" di Indonesia dan dampaknya terhadap polusi udara di Malaysia.

Tatkala perintah dikeluarkan, wajah SBY serius sekali. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya sangat keras. Ulang-ulang Presiden menegaskan: Saya malu, saya malu! Presiden sangat gemas dan geram melihat kenyataan bahwa aparatnya tidak mampu mengatasi masalah asap.

Ironisnya, hanya tujuh bulan setelah perintah Presiden dikeluarkan, asap mulai menutupi sebagian awan Kalimantan Timur, kemudian Kalimantan Selatan. Kebakaran hutan serentak menggejala lagi; sepertinya ada yang memberikan komando. Berbagai daerah Indonesia pun kembali "dikepung" asap. Bahkan, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama ini nyaris tak pernah terdengar soal kebakaran hutan juga disibukkan soal asap. Asap telah menutupi Kota Pontianak dan Palangkaraya sehingga sangat mengganggu keamanan penerbangan. Sebuah pesawat tergelincir 50 meter dari landasan bandara (Palangkaraya) ketika mendarat.

Dua minggu ini, Sumatera tercatat paling gawat. Menurut pemantauan National Environment Agency, Singapura, ada 509 titik api di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Kualitas udara di Singapura dikabarkan paling buruk selama 10 tahun terakhir. Banyak warga yang ke rumah sakit karena menderita penyakit gangguan pernapasan. Keadaan serupa juga dialami Malaysia. Sebagian rakyat Malaysia bahkan diberitakan sudah jengkel dengan pemerintahnya karena dianggap terlalu "lembek" pada RI.

Harian New Straits Times edisi 7 Oktober yang baru lalu mengutip pernyataan Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, bahwa Malaysia sebenarnya sudah muak dengan asap Indonesia dan dengan Pemerintah Indonesia yang bisanya hanya minta maaf, tapi tidak pernah mengambil tindakan tegas terhadap para pelakunya. Wakil Perdana Menteri negeri tetangga itu pun secara halus kembali minta perhatian Jakarta untuk menangani masalah asap.

Penyebabnya klise

Kita tidak tahu apa reaksi Presiden ketika mengetahui perintahnya diabaikan begitu saja oleh para pengusaha kayu yang nakal dan aparat pemerintah daerah. Barangkali Presiden akan kembali mengumpulkan para gubernur terkait dan kembali mengeluarkan perintah seraya mengancam? Rapat, rapat, dan perintah, semua tidak bermanfaat selama tidak disertai tindakan represif yang keras.

Soal asap, begitu juga soal illegal logging, illegal fishing, dan penyelundupan BBM, semua, sesungguhnya berpangkal pada penegakan hukum yang amat lemah. Menjelang kenaikan harga BBM pada Oktober tahun lalu, misalnya, terjadi intensitas penyelundupan BBM di mana-mana. Transaksi bahkan terjadi di tengah laut. Pasokan BBM untuk suatu daerah "dibajak" di tengah laut, isinya dipindahkan ke kapal-kapal yang sudah menunggu untuk kemudian diselundupkan ke negeri jiran. Akibatnya, di daerah terjadi kekurangan BBM. Rakyat panik dan marah sebab harus berjam-jam mengantre bensin atau minyak tanah. Presiden kemudian mengeluarkan perintah khusus kepada Kepala Polri: Tindak tegas para penyelundup BBM! Namun, ketika Kepala Polri menangkap basah anak buahnya sendiri—seorang jenderal berbintang tiga—terlibat, ia tidak menindak. Tersangka itu dipensiunkan dini. Dan perkara pun dianggap selesai....

Menteri Kelautan sejak pemerintahan Megawati, pasti, bisa bicara banyak soal illegal fishing. Sering kali polisi perairan atau kapal TNI AL menangkap kapal-kapal asing yang sedang menguras isi perairan kita secara liar. Namun, setelah kapalnya ditangkap dan disita, perintah pun datang dari pusat supaya kapal-kapal dilepas kembali. Menteri Kehutanan sekarang, MS Kaban, juga sudah capek. Ia mengaku sering memberikan daftar pengusaha kayu kakap yang terbukti melakukan pembalakan atau membakar hutan, tetapi tindak lanjutnya dari instansi penegak hukum sangat minimal.

Masalah kebakaran hutan, penyebabnya selalu bersifat klise. Pengusaha ingin cepat-cepat membebaskan dan mematangkan lahannya yang sudah habis ditebang agar bisa ditanami kembali. Pengusaha emoh menempuh cara-cara konvensional yang makan waktu lama. Bagi orang bisnis, moto time is money rupanya benar-benar dijunjung tinggi. Maka, jalan pintas pun ditempuh: suruh penduduk setempat membakar lahan dengan memberikan upah tertentu tanpa memikirkan segala konsekuensinya.

Hanya retorika

Aparat sebenarnya tidak sulit untuk menindak—kalau mau— sebab Departemen Kehutanan atau kanwil kehutanan setempat memiliki data mengenai pemilik lahan. Tidak perlu polisi kehutanan berpatroli ke seluruh hutan karena hal ini memang tidak mungkin mengingat jumlah mereka yang sedikit. Kanwil kehutanan dikabarkan adakalanya memanggil pemilik lahan untuk dimintakan pertanggungjawaban soal kebakaran hutan. Panggilan tidak digubris. Sebagai gantinya, datanglah suruhan pemilik yang menyerahkan sejumlah "amplop" kepada oknum pejabat. Sang oknum pun kemudian menutup kasusnya.

Maka, untuk memerangi kejahatan hutan, langkah pertama yang mutlak ditempuh pemerintah ialah menyeret secepatnya para pengusaha yang terindikasikan, lalu minta pengadilan agar dijatuhkan hukuman seberat-beratnya. Kita menyesalkan instansi-instansi pemerintah terkait dengan masalah asap, kerap kali, hanya mengeluarkan retorika daripada tindakan nyata. Atau sebagian dari mereka, memang, sudah terkooptasi sebab asap melibatkan bisnis triliunan rupiah. Para pengusaha senantiasa siap menyuap berapa pun yang diperlukan oleh para oknum pejabat. Diam-diam, praktik membakar hutan tetap langgeng.

Dalam masalah asap, yang menjadi taruhan sesungguhnya adalah wibawa Presiden. Inti setiap kekuasaan (power), tulis sosiolog kenamaan dari Amerika, Dennis H Wrong, adalah "The possibility of imposing sanctions". Jika seorang pemimpin yang empunya kekuasaan tidak lagi mampu menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang terang-terangan mencuekkan kekuasaannya, wibawa pemimpin itu dikatakan sudah merosot, atau ia telah kehilangan authority-nya!

Tjipta Lesmana
Pengajar Universitas Pelita Harapan
Friday, October 06, 2006,11:23 PM

Pollycarpus Bebas, Kita Bisa Apa?

Oleh Prija Djatmika

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan akan merevitalisasi tim penyelidik kasus kematian aktivis HAM Munir -sebagai jawaban atas pertanyaan Komisi Eropa Jose Manuel Barroso yang menanyakan perkembangan pengungkapan kasus kematian Munir di Finlandia awal September lalu- publik di Indonesia menyambut dengan senang.

Optimisme aktivis HAM di negeri ini yang sempat meredup melihat ketidakseriusan pemerintah membongkar kasus tewasnya Munir di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan Jakarta- Amsterdam tahun 2004 seakan mendapat pasokan minyak dari SBY untuk optimistis lagi. Yakni, pemerintah serius membongkar jaringan pembunuh Munir.

Apalagi, seperti gayung bersambut, sesampai di tanah air, SBY segera memanggil Kapolri Jenderal Polisi Sutanto untuk segera merevitalisasi tim penyelidik kematian Munir serta membongkar kasus itu dengan tuntas sesegera mungkin. Sutanto pun menyanggupinya.

Tak Berusia Lama

Namun, optimisme itu tidak berusia lama. Tekad pemerintah ternyata mendapatkan counter balik dari Mahkamah Agung (MA), yang dalam putusannya Rabu lalu malah hanya menghukum terdakwa kasus pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, dua tahun penjara.

Alasannya, karena yang terbukti adalah dakwaan kedua tentang penggunaan surat palsu. Ketua Majelis Hakim Kasasi Iskandar Kamil di gedung MA, Jakarta, Rabu, mengatakan, MA menyatakan dakwaan pertama tentang pembunuhan berencana tidak terbukti karena tidak ditemukan bukti berupa saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri bahwa Pollycarpus melakukan pembunuhan terhadap Munir.

Padahal, pada 12 Desember 2005, PN Jakarta Pusat menjatuhi hukuman 14 tahun penjara kepada Pollycarpus. Selanjutnya, di tingkat banding, vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat vonis PN Jakarta Pusat dengan menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara.

Putusan MA sudah dijatuhkan serta sifatnya final dan mengikat (final and binding). Upaya hukum yang bisa dilakukan kejaksaan -dan juga oleh Pollycarpus sendiri- adalah peninjauan kembali (PK).

Sepanjang ada bukti baru (novum) yang selama ini belum pernah digunakan dalam persidangan.

Kalau pihak kejaksaan yang mengajukan PK, tentu orientasinya adalah untuk memperberat hukuman atau minimal sama dengan yang sudah dijatuhkan PN dan PT. Yang jauh lebih penting daripada besarnya hukuman adalah putusan hakim yang menyatakan terpidana terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir.

Tapi, tanda-tanda kejaksaan akan mengajukan PK hingga hari ini belum terdengar. Lalu, apa yang bisa dilakukan para aktivis HAM atau keluarga Munir, yang tentu sangat terpukul atas putusan kasasi MA itu?

Apabila upaya yang hendak dilakukan ingin berada dalam koridor hukum beracara pidana, tampaknya, tidak ada peluang sama sekali. Sistem peradilan pidana kita - sebagaimana banyak dikeluhkan para teoretisi dan praktisi- telah memberikan legitimasi kepada negara untuk mengambil alih konflik yang terjadi antarmasyarakat.

Seberapa pun kecewa (atau marahnya) para aktivis HAM dan keluarga Munir atas putusan itu, begitu kasus tersebut ditangani oleh sistem peradilan pidana (hukum negara), maka mereka hanya menjadi partisipan dalam proses peradilan. Hanya menjadi saksi pelapor atau saksi-saksi biasa. Serta kelompok penekan di luar pengadilan, siapa tahu bisa memengaruhi putusan hakim.

Negara -yang diwakili jaksa penuntut umum- kemudian berubah menjadi pihak yang menjadi korban dari suatu kejahatan dan memainkan peran yang dominan dalam sistem peradilan pidana. Konsep bahwa kejahatan adalah melanggar kepentingan negara -sebagai representasi kepentingan publik- umumnya menjadi dasar pemberian kewenangan negara untuk memonopoli reaksi (formal) terhadap kejahatan.

Selanjutnya, konsep itu diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum, di mana hukum pidana adalah bagian dari hukum publik, yang tidak membolehkan campur tangan individu korban kejahatan di luar aturan beracara yang sudah baku.

Jadi, berdasar konsep itu, negara (jaksa) tidak akan pernah bertanya (atau peduli) kepada korban atau keluarganya, apakah dia puas atau tidak puas atas hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa. Apabila merasa putusan itu kurang adil, mereka (jaksa) akan mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Upaya hukum itu pun tidak akan dirundingkan atau dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pihak korban. Namun, kalau merasa putusan itu sudah adil atau memuaskan karena sesuai dengan tuntutannya, mereka akan menyetujui putusan tersebut. Sedangkan reaksi pihak korban terhadap putusan itu juga tidak akan ditanyakan atau dipedulikan.

Di Luar Koridor

Demikian juga dalam kasus Munir ini. Para aktivis HAM dan keluarga Munir bisa menunjukkan reaksi penolakannya atas putusan itu hanya "di luar koridor sistem peradilan pidana". Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) akan mengajukan eksaminasi (penilaian) atas putusan MA itu.

Ya, sebatas itu saja dan tak akan memengaruhi putusan kasasi MA tersebut.

Itulah sisi yang tidak memuaskan dari sistem peradilan pidana yang memberikan kekuasaan kepada negara untuk memonopoli penyelesaian kasus dan hak-hak korban dimarginalkan. Repotnya lagi, kalau dalam kasus yang disidangkan itu ternyata ada kepentingan negara yang terlibat, sementara melalui pengadilan kita menyerahkan negara untuk menyelesaikannya.

Ironis. Apakah demikian pula halnya dalam kemisteriusan kasus kematian Munir, yang pengungkapannya (dalam dan di luar pengadilan) malah kian misterius? Wallahu ’alam.

Prija Djatmika, staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
,7:19 AM

Posisi TNI dalam Sistem Politik Nasional

Saurip Kadi

Kita perlu merenungkan lagi posisi TNI dalam sistem politik nasional di Indonesia dalam rangka mendorong proses demokratisasi yang sedang berlangsung.

Apalagi setelah buku BJ Habibie, Detik-detik yang Menentukan, diluncurkan di Jakarta, muncul polemik soal kemungkinan ada upaya kudeta pada tahun 1998. Apa betul ada upaya kudeta, belum ada kepastian. Namun, peluang kudeta seperti di Thailand dan Filipina sebetulnya bisa dicegah melalui mekanisme pengaturan institusi ketentaraan.

Politik praktis

Pertama, pengorganisasian TNI. Kedudukan TNI dalam sistem politik haruslah ditempatkan di luar birokrasi pemerintahan. Ia berada langsung di bawah presiden sebagai kepala negara sekaligus Panglima Tertinggi TNI. Dengan demikian, TNI bisa bebas atau tidak terlibat dalam persoalan kebijakan politik pemerintah yang terkadang berhadapan dengan aspirasi rakyat. Dengan memisahkan TNI secara struktural dari urusan politik seperti ini, sistem ketentaraan menjamin tidak ada prajurit atau pimpinan TNI pada level mana pun terlibat dalam politik praktis, mulai dari memberikan komentar atas ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah sampai pada pengerahan mesin perang untuk menakut-nakuti pemerintah.

Agar TNI benar-benar netral dan bebas dari intervensi politik dan segala urusan politik praktis yang salah satu ujungnya adalah rebutan jabatan, pengangkatan pejabat di bawah kepala staf angkatan (bintang tiga) menjadi otoritas penuh TNI. Artinya, keterlibatan presiden tak lebih hanyalah pengesahan legalitas administrasi kenegaraan dalam kedudukan presiden sebagai kepala negara, sedangkan kepala staf angkatan ditetapkan dan diangkat oleh presiden dengan nominasi sejumlah bintang tiga yang diajukan pimpinan TNI setelah melalui proses sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti).

Selain itu, dalam pengorganisasian Markas Besar TNI yang dipimpin seorang kepala staf gabungan, mesti menjadi kewenangan presiden untuk memilih satu dari tiga kepala staf yang ada. Dalam hal pengurusan administrasi, kepala staf gabungan berada di atas para kepala staf angkatan.

Dalam situasi perang atau darurat militer Kepala Staf Gabungan TNI otomatis beralih menjadi Panglima TNI yang peralihannya dinyatakan oleh presiden. Yang berhak untuk mengeluarkan perintah dalam penggunaan kekuatan TNI, walaupun untuk jumlah satu orang prajurit dan dengan amunisi satu butir peluru sekalipun, mutlak hanya berada di tangan presiden selaku kepala negara dan sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Soal anggaran dan ancaman

Kedua, soal urusan administrasi. Dalam urusan administrasi di luar urusan perang, khususnya dalam hal anggaran belanja, hal itu ditangani Departemen Pertahanan. Menteri Pertahanan kemudian memperjuangkan anggaran TNI ke DPR. TNI bukanlah lembaga sipil karena itu ia jangan dilibatkan pada pekerjaan yang bersifat bottom-up dengan adu argumentasi dan perdebatan termasuk dengan anggota DPR. Sistem harus menjamin agar habitat militer yang demikian itu tidak menjadi rusak.

Pada prinsipnya, untuk membangun tentara yang kuat dibutuhkan biaya yang besar karena pada hakikatnya militer adalah cost center. Di sanalah tanggung jawab politisi sipil untuk mencukupi bujet TNI. Tidaklah benar kalau proses memperoleh bujet TNI menempuh jalur lobi balik layar. TNI juga jangan diseret masuk ke dalam wilayah politik, karena itu ia harus dijaga agar lembaga politik mana pun tidak mengintervensinya termasuk dalam proses perekrutan pimpinan TNI.

Ketiga, soal ancaman. Tentara turun tangan dalam urusan perang menghadapi musuh dari luar. Bisa urusan internal kalau negara sedang "tidak normal" dalam hal keamanan. Soal keamanan dalam negeri, lembaga intelijen, polisi, dan lembaga sipil yang terkait yang perlu diberdayakan. Kalau toh itu gagal, TNI hanya bisa dibenarkan pada saat keadaan sudah tidak normal. Masalah seperti Aceh (sebelum Nota Kesepahaman Helsinki) dan Papua sesungguhnya murni masalah politik, maka seharusnya diselesaikan dengan cara politik, bukan dengan mengerahkan tentara.

Selain mendorong proses demokratisasi, model pengaturan tentara seperti itu juga mencegah peluang tentara menguasai politik, entah melalui kudeta yang sebetulnya bukan tradisi militer kita ataupun melalui proses politik formal.

Saurip Kadi Mayor Jenderal TNI AD