| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, October 28, 2006,2:38 PM

Keindonesiaan dan Sumpah Pemoeda

Roch Basoeki Mangoenpoerojo

Tanggal 19 Oktober lalu, saya diwawancarai Radio Netherlands Hilversum di Amsterdam untuk tiga agenda sekaligus.

Wawancara bisa interaksi langsung dengan pendengar di Blitar dan Manado, serta satu rekaman untuk 28 Oktober. Temanya satu, "kebangsaan kita (Indonesia)".

Sebelum on-air, saya bertanya, "Ada apa dengan kebangsaan?" Dari jawaban terungkap, 28 Oktober dianggap Hari Kebangsaan seperti hari olahraga, hari ibu, hari buruh, dan lainnya.

Begitu pers (di Belanda) mengartikan kebangsaan, sesuatu yang harus dikalenderkan setaraf dengan hari-hari peringatan lain. Inilah "negeri peringatan". Demikiankah seharusnya?

Arti bangsa

Dua soal harus dijawab untuk bisa menilai. Pertama, adakah negeri lain yang punya hari kebangsaan? Kedua, referensinya apa untuk bicara "kebangsaan Indonesia"? Hanya Indonesia yang mempunyai hari kebangsaan. Pembandingnya hanya bangsa Palestina (hingga kini belum menjadi negara). Artinya, kita harus membuat model tersendiri yang bermanfaat bagi kehidupan bangsa, kini dan ke depan.

Referensi baku tentang pengertian bangsa berasal dari Ernst Renan dan Otto Bauer. Renan mengatakan, "masyarakat yang berkehendak untuk bersatu", sedangkan Bauer "masyarakat yang berkesatuan perangai karena kesamaan nasib". Tetapi, di BPUPKI, Bung Hatta dan Mohamad Yamin menganggapnya kuno. Untuk Indonesia yang akan dibentuk, Bung Karno menambahnya "bersatu dengan tanahnya" (Lahirnya Pancasila, 1 Juni ’45).

Jika ketiga definisi disatukan, dikaitkan dengan keberadaan Indonesia sebagai bangsa, ada empat inti, yaitu kesamaan nasib, kehendak bersatu yang terus dipupuk, dikaitkan tanah tempat berada, dan semua bisa diukur dengan suatu perangai yang (relatif) sama. Begitulah penyamaan arti bangsa secara universal.

Pada dekade 20-an, disadari penghuni Hindia Belanda itu multikultur, masing-masing ingin eksis, tidak memungkinkan adanya persatuan agar bebas dari penjajahan. Meski demikian, ada yang tunggal sebagai modal bangsa, yaitu tanah yang ditempati dan nasib yang disandang sebagai jajahan Belanda (1928, Aceh dikuasai Belanda). Prasasti itu terbentuk selama perjuangan bebas dari keterjajahan (1908-1950).

Kini, sudahkah yang tunggal benar-benar manunggal dalam perangai? Belum! Tiap komunitas kian berambisi menunjukkan eksistensinya. Pemupukan keempat hal inti (senasib, ingin bersatu, setanah air, agar menjadi satu perangai) tak pernah dilakukan, bahkan sebagian menganggapnya utopia.

Negara hukum

Sesudah bernegara harus menjadi negara hukum. Artinya, semua perilaku bernegara harus berdasar hukum positif, harus dalam peradaban supremasi hukum. Sayang kita tak pernah berupaya memasukkan prasasti ke khazanah hukum RI. Kita lebih suka menghadapkannya antara prasasti dan hukum. Kepentingan berbenturan saat berhadapan dengan hukum internasional.

Pembukaan UUD 1945 adalah referensi hukum RI, ada lima kata bangsa/kebangsaan. Kelimanya tidak termuat dalam pasal-pasal di batang tubuh UUD hasil amandemen. Misalnya alinea 1, kemerdekaan adalah hak (segala) bangsa. Tak satu pasal pun menunjukkan perlunya pemupukan rasa senasib, ingin bersatu, setanah air, dan satu perangai. Bahkan, pasal 6a (pemilu langsung), antarkita diharuskan saling berhadapan, saling menjatuhkan, dan saling bermusuhan. Masih alinea 1, bangsa ini bersikap, "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan". Pasal-pasal tidak menjelaskan dan merumuskan operasionalisasinya sehingga memberi peluang kepada siapa pun yang berkuasa untuk mengundang penjajah baru guna mengeksploitasi potensi bangsa.

Dua kasus bisa menjelaskan. Lenyapnya Sipadan dan Ligitan (SL) dan MOU Aceh.

Ihwal SL, dari peta dan rambu, wilayah itu jelas di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Tetapi, karena dari lurah sampai bupati tidak peduli akan kebangsaan, di sana dibiarkan berdiri hotel dan aneka atribut keimigrasian Malaysia. Proses itu bisa terulang di Ambalat yang masalahnya belum usai. Juga dengan pulau-pulau sekitar Batam yang pasir lautnya menjadi pulau di Singapura.

MOU antara sebagian kecil orang Aceh dan pemerintah pusat tidak menjelaskan hubungannya dengan masyarakat Aceh sebagai bagian bangsa Indonesia. Mereka (atau siapa pun) kecewa kepada pemerintah, bukan kepada bangsa.

Bangsa Indonesia buatan 1928 tak mengenal istilah pemisahan, yang ada hanya senasib, bersatu, setanah air, dan seperangai. Namun, kita belum punya mekanisme untuk mewadahi "kekecewaan berbangsa". Seperti orang Bantul, boleh kecewa terhadap orang Purworejo tetangganya atau Pemerintah DIY/pusat, solusinya bukan merdeka, tetapi musyawarah.

Kita sebaiknya mundur selangkah, gunakan istilah keindonesiaan (mengganti kebangsaan) agar dibahas tiap hari pada semua bidang kehidupan.

Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Pemerhati Masalah Kemasyarakatan

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

He is my father... :)

2:43 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home