| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, October 10, 2006,1:24 PM

Asap Saja Tidak Bisa Kita Atasi!

Tjipta Lesmana

"Saya malu dengan tetangga kita. Setiap tahun kita mengekspor asap ke Malaysia dan Singapura. Malu saya dibuatnya. Maka, hari ini saya memerintahkan saudara-saudara, stop ekspor asap! Kepada Kepala Polri, saya memerintahkan tindak tegas pengusaha-pengusaha kayu yang suka bakar hutan!"

Begitu kira-kira perintah Presiden Yudhoyono di depan para gubernur yang bertemu di Jakarta, November tahun lalu. Pada kesempatan itu hadir juga petinggi pemerintah lain, termasuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto. Ketika itu, Presiden baru saja bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi. Rupanya, dalam pertemuan tersebut, secara halus Badawi menyinggung masalah kebakaran hutan di Indonesia yang sudah menjadi "fenomena tahunan" di Indonesia dan dampaknya terhadap polusi udara di Malaysia.

Tatkala perintah dikeluarkan, wajah SBY serius sekali. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya sangat keras. Ulang-ulang Presiden menegaskan: Saya malu, saya malu! Presiden sangat gemas dan geram melihat kenyataan bahwa aparatnya tidak mampu mengatasi masalah asap.

Ironisnya, hanya tujuh bulan setelah perintah Presiden dikeluarkan, asap mulai menutupi sebagian awan Kalimantan Timur, kemudian Kalimantan Selatan. Kebakaran hutan serentak menggejala lagi; sepertinya ada yang memberikan komando. Berbagai daerah Indonesia pun kembali "dikepung" asap. Bahkan, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama ini nyaris tak pernah terdengar soal kebakaran hutan juga disibukkan soal asap. Asap telah menutupi Kota Pontianak dan Palangkaraya sehingga sangat mengganggu keamanan penerbangan. Sebuah pesawat tergelincir 50 meter dari landasan bandara (Palangkaraya) ketika mendarat.

Dua minggu ini, Sumatera tercatat paling gawat. Menurut pemantauan National Environment Agency, Singapura, ada 509 titik api di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Kualitas udara di Singapura dikabarkan paling buruk selama 10 tahun terakhir. Banyak warga yang ke rumah sakit karena menderita penyakit gangguan pernapasan. Keadaan serupa juga dialami Malaysia. Sebagian rakyat Malaysia bahkan diberitakan sudah jengkel dengan pemerintahnya karena dianggap terlalu "lembek" pada RI.

Harian New Straits Times edisi 7 Oktober yang baru lalu mengutip pernyataan Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, bahwa Malaysia sebenarnya sudah muak dengan asap Indonesia dan dengan Pemerintah Indonesia yang bisanya hanya minta maaf, tapi tidak pernah mengambil tindakan tegas terhadap para pelakunya. Wakil Perdana Menteri negeri tetangga itu pun secara halus kembali minta perhatian Jakarta untuk menangani masalah asap.

Penyebabnya klise

Kita tidak tahu apa reaksi Presiden ketika mengetahui perintahnya diabaikan begitu saja oleh para pengusaha kayu yang nakal dan aparat pemerintah daerah. Barangkali Presiden akan kembali mengumpulkan para gubernur terkait dan kembali mengeluarkan perintah seraya mengancam? Rapat, rapat, dan perintah, semua tidak bermanfaat selama tidak disertai tindakan represif yang keras.

Soal asap, begitu juga soal illegal logging, illegal fishing, dan penyelundupan BBM, semua, sesungguhnya berpangkal pada penegakan hukum yang amat lemah. Menjelang kenaikan harga BBM pada Oktober tahun lalu, misalnya, terjadi intensitas penyelundupan BBM di mana-mana. Transaksi bahkan terjadi di tengah laut. Pasokan BBM untuk suatu daerah "dibajak" di tengah laut, isinya dipindahkan ke kapal-kapal yang sudah menunggu untuk kemudian diselundupkan ke negeri jiran. Akibatnya, di daerah terjadi kekurangan BBM. Rakyat panik dan marah sebab harus berjam-jam mengantre bensin atau minyak tanah. Presiden kemudian mengeluarkan perintah khusus kepada Kepala Polri: Tindak tegas para penyelundup BBM! Namun, ketika Kepala Polri menangkap basah anak buahnya sendiri—seorang jenderal berbintang tiga—terlibat, ia tidak menindak. Tersangka itu dipensiunkan dini. Dan perkara pun dianggap selesai....

Menteri Kelautan sejak pemerintahan Megawati, pasti, bisa bicara banyak soal illegal fishing. Sering kali polisi perairan atau kapal TNI AL menangkap kapal-kapal asing yang sedang menguras isi perairan kita secara liar. Namun, setelah kapalnya ditangkap dan disita, perintah pun datang dari pusat supaya kapal-kapal dilepas kembali. Menteri Kehutanan sekarang, MS Kaban, juga sudah capek. Ia mengaku sering memberikan daftar pengusaha kayu kakap yang terbukti melakukan pembalakan atau membakar hutan, tetapi tindak lanjutnya dari instansi penegak hukum sangat minimal.

Masalah kebakaran hutan, penyebabnya selalu bersifat klise. Pengusaha ingin cepat-cepat membebaskan dan mematangkan lahannya yang sudah habis ditebang agar bisa ditanami kembali. Pengusaha emoh menempuh cara-cara konvensional yang makan waktu lama. Bagi orang bisnis, moto time is money rupanya benar-benar dijunjung tinggi. Maka, jalan pintas pun ditempuh: suruh penduduk setempat membakar lahan dengan memberikan upah tertentu tanpa memikirkan segala konsekuensinya.

Hanya retorika

Aparat sebenarnya tidak sulit untuk menindak—kalau mau— sebab Departemen Kehutanan atau kanwil kehutanan setempat memiliki data mengenai pemilik lahan. Tidak perlu polisi kehutanan berpatroli ke seluruh hutan karena hal ini memang tidak mungkin mengingat jumlah mereka yang sedikit. Kanwil kehutanan dikabarkan adakalanya memanggil pemilik lahan untuk dimintakan pertanggungjawaban soal kebakaran hutan. Panggilan tidak digubris. Sebagai gantinya, datanglah suruhan pemilik yang menyerahkan sejumlah "amplop" kepada oknum pejabat. Sang oknum pun kemudian menutup kasusnya.

Maka, untuk memerangi kejahatan hutan, langkah pertama yang mutlak ditempuh pemerintah ialah menyeret secepatnya para pengusaha yang terindikasikan, lalu minta pengadilan agar dijatuhkan hukuman seberat-beratnya. Kita menyesalkan instansi-instansi pemerintah terkait dengan masalah asap, kerap kali, hanya mengeluarkan retorika daripada tindakan nyata. Atau sebagian dari mereka, memang, sudah terkooptasi sebab asap melibatkan bisnis triliunan rupiah. Para pengusaha senantiasa siap menyuap berapa pun yang diperlukan oleh para oknum pejabat. Diam-diam, praktik membakar hutan tetap langgeng.

Dalam masalah asap, yang menjadi taruhan sesungguhnya adalah wibawa Presiden. Inti setiap kekuasaan (power), tulis sosiolog kenamaan dari Amerika, Dennis H Wrong, adalah "The possibility of imposing sanctions". Jika seorang pemimpin yang empunya kekuasaan tidak lagi mampu menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang terang-terangan mencuekkan kekuasaannya, wibawa pemimpin itu dikatakan sudah merosot, atau ia telah kehilangan authority-nya!

Tjipta Lesmana
Pengajar Universitas Pelita Harapan

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home