| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, October 06, 2006,7:19 AM

Posisi TNI dalam Sistem Politik Nasional

Saurip Kadi

Kita perlu merenungkan lagi posisi TNI dalam sistem politik nasional di Indonesia dalam rangka mendorong proses demokratisasi yang sedang berlangsung.

Apalagi setelah buku BJ Habibie, Detik-detik yang Menentukan, diluncurkan di Jakarta, muncul polemik soal kemungkinan ada upaya kudeta pada tahun 1998. Apa betul ada upaya kudeta, belum ada kepastian. Namun, peluang kudeta seperti di Thailand dan Filipina sebetulnya bisa dicegah melalui mekanisme pengaturan institusi ketentaraan.

Politik praktis

Pertama, pengorganisasian TNI. Kedudukan TNI dalam sistem politik haruslah ditempatkan di luar birokrasi pemerintahan. Ia berada langsung di bawah presiden sebagai kepala negara sekaligus Panglima Tertinggi TNI. Dengan demikian, TNI bisa bebas atau tidak terlibat dalam persoalan kebijakan politik pemerintah yang terkadang berhadapan dengan aspirasi rakyat. Dengan memisahkan TNI secara struktural dari urusan politik seperti ini, sistem ketentaraan menjamin tidak ada prajurit atau pimpinan TNI pada level mana pun terlibat dalam politik praktis, mulai dari memberikan komentar atas ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah sampai pada pengerahan mesin perang untuk menakut-nakuti pemerintah.

Agar TNI benar-benar netral dan bebas dari intervensi politik dan segala urusan politik praktis yang salah satu ujungnya adalah rebutan jabatan, pengangkatan pejabat di bawah kepala staf angkatan (bintang tiga) menjadi otoritas penuh TNI. Artinya, keterlibatan presiden tak lebih hanyalah pengesahan legalitas administrasi kenegaraan dalam kedudukan presiden sebagai kepala negara, sedangkan kepala staf angkatan ditetapkan dan diangkat oleh presiden dengan nominasi sejumlah bintang tiga yang diajukan pimpinan TNI setelah melalui proses sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti).

Selain itu, dalam pengorganisasian Markas Besar TNI yang dipimpin seorang kepala staf gabungan, mesti menjadi kewenangan presiden untuk memilih satu dari tiga kepala staf yang ada. Dalam hal pengurusan administrasi, kepala staf gabungan berada di atas para kepala staf angkatan.

Dalam situasi perang atau darurat militer Kepala Staf Gabungan TNI otomatis beralih menjadi Panglima TNI yang peralihannya dinyatakan oleh presiden. Yang berhak untuk mengeluarkan perintah dalam penggunaan kekuatan TNI, walaupun untuk jumlah satu orang prajurit dan dengan amunisi satu butir peluru sekalipun, mutlak hanya berada di tangan presiden selaku kepala negara dan sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Soal anggaran dan ancaman

Kedua, soal urusan administrasi. Dalam urusan administrasi di luar urusan perang, khususnya dalam hal anggaran belanja, hal itu ditangani Departemen Pertahanan. Menteri Pertahanan kemudian memperjuangkan anggaran TNI ke DPR. TNI bukanlah lembaga sipil karena itu ia jangan dilibatkan pada pekerjaan yang bersifat bottom-up dengan adu argumentasi dan perdebatan termasuk dengan anggota DPR. Sistem harus menjamin agar habitat militer yang demikian itu tidak menjadi rusak.

Pada prinsipnya, untuk membangun tentara yang kuat dibutuhkan biaya yang besar karena pada hakikatnya militer adalah cost center. Di sanalah tanggung jawab politisi sipil untuk mencukupi bujet TNI. Tidaklah benar kalau proses memperoleh bujet TNI menempuh jalur lobi balik layar. TNI juga jangan diseret masuk ke dalam wilayah politik, karena itu ia harus dijaga agar lembaga politik mana pun tidak mengintervensinya termasuk dalam proses perekrutan pimpinan TNI.

Ketiga, soal ancaman. Tentara turun tangan dalam urusan perang menghadapi musuh dari luar. Bisa urusan internal kalau negara sedang "tidak normal" dalam hal keamanan. Soal keamanan dalam negeri, lembaga intelijen, polisi, dan lembaga sipil yang terkait yang perlu diberdayakan. Kalau toh itu gagal, TNI hanya bisa dibenarkan pada saat keadaan sudah tidak normal. Masalah seperti Aceh (sebelum Nota Kesepahaman Helsinki) dan Papua sesungguhnya murni masalah politik, maka seharusnya diselesaikan dengan cara politik, bukan dengan mengerahkan tentara.

Selain mendorong proses demokratisasi, model pengaturan tentara seperti itu juga mencegah peluang tentara menguasai politik, entah melalui kudeta yang sebetulnya bukan tradisi militer kita ataupun melalui proses politik formal.

Saurip Kadi Mayor Jenderal TNI AD

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home