| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, October 12, 2006,12:49 PM

Mengapa Korea Utara Tak Gentar?

Lily Yulianti Farid

Uji coba nuklir bawah tanah Korea Utara, Senin (9/10), disebut kantor berita KCNA sebagai tindakan yang memberi perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea dan sekitarnya.

Ungkapan ini berlawanan dengan kecaman dari berbagai penjuru dunia. Korea Utara (Korut) dinilai tidak bertanggung jawab, menciptakan instabilitas, mengancam keamanan Asia Timur Laut dan dunia.

Pengumuman resmi Korut menyebutkan, uji coba pagi hari di Desa Hwade itu berlangsung mulus, dipastikan tidak ada kebocoran radiasi. Pernyataan ini bisa benar, tetapi bisa salah, mengingat selama ini Korut dicurigai sering melalaikan keamanan uji coba.

Seismograf Rusia yang dipasang di seluruh penjuru negeri mencatat getaran dari uji coba itu. Sementara Lembaga Penelitian Sumber Daya Alam dan Geologi Korea Selatan merinci, uji coba itu menimbulkan guncangan berskala 3,5-3,7 skala Richter. Laporan intelijen melengkapinya, lokasi uji coba sama dengan lokasi uji coba rudal Taepodong 2 yang ditembakkan bulan Juli.

Uji coba itu jelas menimbulkan gempa besar di Gedung Putih, di Markas Dewan Keamanan (DK) PBB, dan negara-negara Asia Timur lainnya, yakni Korea Selatan, Jepang, dan China, serta seluruh penjuru dunia.

Sumber-sumber diplomatik di Beijing mengungkapkan, setengah jam sebelum uji coba, Pemerintah China berinisiatif memberi peringatan dini kepada Kedubes AS, Korea Selatan, dan Jepang. Pesannya, China telah diberi tahu Korut tentang rencana uji coba yang bisa menimbulkan getaran setara peledakan 10 ton bubuk peledak TNT.

Sudah diperkirakan

Bagi sebagian pengamat masalah Asia Timur, langkah Korut itu adalah sesuatu yang telah lama diperkirakan. Korut telah lama mengembangkan teknologi nuklirnya. Banyak ahli meyakini negara ini memiliki cadangan material yang mampu memproduksi hingga 10 bom nuklir sekelas bom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki.

Menurut Prof Shen Dingli, Dekan Jurusan Kajian AS di Universitas Fudan, China, Korut ada dalam titik kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi tekanan internasional, khususnya AS dan sekutunya di Asia Timur. Dingli menyebut lima alasan yang membuat Korut amat percaya bahwa negara yang terisolasi itu tidak akan begitu saja diserang AS. Kim Jong IL yakin dengan serangkaian deterrent effect yang ditimbulkan oleh uji coba nuklir. Kemarahan Gedung Putih tidak akan berujung pada kemungkinan terburuk, menyerang Korut. Kim Jong IL juga yakin, terlepas dari seruan ditingkatkannya sanksi menyusul uji coba, tetapi suara yang menganjurkan mencoba pendekatan persuasif nyaring disuarakan China dan Rusia di DK PBB.

Bagi Korut, uji coba itu adalah pembuktian falsafah juche (pertahanan diri) yang ingin ditunjukkan kepada dunia. Falsafah ini menjadi pedoman, yang menganjurkan Korut mengontrol sendiri keamanan negaranya, bukan menggantungkan diri pada perbaikan hubungan dengan AS. Sikap Korut ini menjadikan kondisi keamanan Asia Timur yang amat bergantung pada AS kini menghadapi tantangan lebih besar.

Perkembangan yang dilaporkan The Washington Post, Selasa (10/10), menyebutkan, AS telah menyerahkan sebuah rancangan resolusi kepada DK PBB yang mendesak diadakannya inspeksi terhadap semua arus perdagangan dari dan ke Korut. Tujuannya, untuk memblokir kemampuan Pyongyang mengimpor dan mengekspor teknologi nuklir dan rudal balistik serta untuk membatasi ruang gerak mengumpulkan dana ilegal.

Sayang, lima anggota tetap DK PBB tidak satu suara mendukung proposal AS. Inggris dan Perancis dilaporkan mendukung sanksi, tetapi tidak mendukung seluruh isi rancangan. China bahkan mengingatkan DK PBB untuk "hanya" menggunakan jalur diplomatik dalam membujuk Pyongyang menghentikan aktivitas nuklirnya dan kembali ke perundingan enam negara. Sementara Rusia, meski menyuarakan kecaman keras, juga tidak ikut mendukung sanksi.

AS kewalahan

Tentu banyak penjelasan yang bisa dikedepankan menjawab pecahnya suara di DK PBB. Seruan lama berjudul "menjungkalkan rezim di Pyongyang" yang ditiupkan AS sudah lama tidak mendapat angin. Serangan pendahuluan (preemptive strike) yang menjadi kosakata dalam menanggapi tiap ancaman, dan kerap diucapkan Presiden George W Bush, sudah mendapat tentangan dari Rusia dan China.

Korut dan China terikat perjanjian kerja sama dan saling membantu, yang berlaku hingga hari ini. Perjanjian itu menyebutkan, China wajib membantu Korut apabila negara itu diserang AS. Adalah konyol apabila AS rela mengorbankan kepentingannya dengan China "hanya" gara-gara uji coba nuklir. Rusia sendiri tetap memprioritaskan hubungan dengan Korut dengan pertimbangan geopolitik.

Menyadari posisi AS yang kepayahan dalam arena politik internasional membuat Korut tak gentar melakukan uji coba nuklirnya. Bukankah AS masih kewalahan di Afganistan, terjebak menuntaskan masalah Irak, bahkan gertakannya terhadap Iran yang juga melakukan pengayaan uranium tidak menunjukkan taring yang betul-betul menggigit. Karena semua itulah Korut menyadari posisinya ada di atas angin. Uji coba itu hanya salah satu letupan sikap percaya diri.

Barangkali yang paling tepat dilakukan menanggapi uji coba nuklir ini, seperti dianjurkan aktivis antinuklir, dengan menjadikannya momentum untuk secara serius meninjau kembali "rezim non-proliferasi global".

Uji coba nuklir Korut dan pengayaan uranium Iran bukankah juga secara telak menelanjangi kelemahan-kelemahan dalam kebijakan non-proliferasi AS, sang polisi dunia itu?

Lily Yulianti Farid
Language Specialist NHK World di Tokyo; Pendapat Pribadi

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home