| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, October 31, 2006,11:22 AM

Sumpah Pemuda, Integrasi, dan Demokrasi

"Democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and freedom misinterpreted, the result is anarchy".

(Mahathir Mohamad, "Achieving True Globalisation", 2004)

Tiga hari lalu bangsa Indonesia memperingati dan mengenang kembali Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda merupakan salah satu momentum historis paling penting dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sumpah Pemuda secara simbolis mencerminkan integrasi kepulauan Nusantara ke dalam sebuah kesadaran politik integratif yang kian mengkristal, yang selanjutnya menjadi driving force bagi penguatan wacana dan gerakan nasionalisme menuju kemerdekaan bangsa dari kekuasaan kolonialisme.

Sumpah Pemuda adalah sebuah kumulasi cita integrasi dan etos keindonesiaan. Meminjam kerangka Ben Anderson, Sumpah Pemuda merupakan kesepakatan penting dalam perjuangan ke arah pembentukan Indonesia yang—setidaknya sampai masa Proklamasi 17 Agustus 1945—masih merupakan "imagined community", komunitas yang dibayangkan.

Revitalisasi faktor integratif

Sumpah Pemuda sebagai faktor integratif keindonesiaan kini tampaknya hanya menjadi sekadar bagian dari "ingatan bersama" (collective memory) keindonesiaan. Ia kelihatan telah kehilangan elan vital fungsionalnya untuk mengokohkan kembali integrasi bangsa yang terus mengalami gangguan.

Kita boleh bersyukur karena proses "Balkanisasi" Indonesia yang sempat diprediksikan kalangan pengamat luar pada masa awal Reformasi (1998-2001) tidak menjadi kenyataan. Kita masih berada dalam kerangka NKRI meski—seperti dikemukakan sejarawan terkemuka Indonesia, Prof MC Ricklefs, dalam sebuah percakapan dengan saya pada Ramadhan lalu—Indonesia kini adalah "the most federal states in the world". Sementara itu, berbagai faktor disintegratif masih terus-menerus menggerogoti negara-bangsa Indonesia. Ironisnya, pada saat yang sama, beberapa faktor integratif bagi penguatan negara-bangsa Indonesia tidak mengalami revitalisasi dan penguatan.

Lihatlah konflik bernuansa keagamaan yang masih berlanjut di kawasan Sulawesi Tengah, Poso dan Palu, saat korban terus berjatuhan, sementara polisi dan bahkan negara seolah tidak berdaya mencegah dan menghentikannya. Polisi menyatakan, misalnya, pelaku pembunuhan pendeta Irianto Kongkoli adalah "kelompok pemain lama" yang sudah mereka ketahui, tetapi polisi tidak juga menangkap dan membawa mereka ke pengadilan. Lalu pada malam menjelang Idul Fitri 1427 H, kekerasan kembali terjadi, kali ini antara polisi—persisnya Brimob—dan warga Muslim, yang menambah panjang daftar korban yang tewas.

Lihat juga potensi disintegrasi yang terus menggejala di Papua, dan mungkin juga di tempat tertentu lainnya di Tanah Air. Tengok juga meningkatnya sentimen kedaerahan yang terus menemukan momentumnya dalam pilkada yang diselenggarakan hampir setiap hari di berbagai daerah dengan berbagai tensi, konflik, bahkan kekerasan yang dimunculkannya. Semua ini berkembang seolah tanpa kendali, seolah tanpa kemampuan negara mengatasinya.

Hemat saya, sudah waktunya semua pemimpin bangsa yang peduli untuk lebih serius merespons berbagai perkembangan yang mencemaskan itu. Seyogianya ada upaya lebih sistematis untuk merevitalisasi faktor integratif yang membuat negara-bangsa Indonesia ini bisa tercipta dan bertahan di tengah berbagai perkembangan yang tidak selalu kondusif, baik di dalam maupun luar negeri.

Selain Sumpah Pemuda, faktor integratif lainnya yang bahkan secara konstitusional menduduki tempat sangat penting adalah Pancasila. Setelah keengganan sempat meluas di kalangan pemimpin dan tokoh publik untuk berbicara tentang Pancasila sejak awal Masa Reformasi, baru pada 2006 ini wacana revitalisasi bergaung lebih nyaring. Sayangnya baru sebatas itu. Belum terlihat upaya sistematis untuk merevitalisasi dan membuat Pancasila kembali workable dan lebih viable untuk penguatan integrasi negara-bangsa Indonesia.

Melemahnya negara Indonesia pada Masa Reformasi terlihat saat negara mengalami kegagalan dalam beberapa hal: misalnya melindungi warga negara dari tindakan kekerasan kelompok massa (mob), baik yang terorganisasi maupun tidak; menegakkan hukum dan ketertiban publik, memberikan peluang dan kesejahteraan ekonomi lebih baik kepada kaum miskin, dan menghentikan perusakan lingkungan hidup.

Jika Indonesia yang integratif dapat bertahan dan bisa mencapai kemajuan, tidak ada alternatif lain kecuali penguatan kembali negara. Satu contoh saja, kapasitas negara, misalnya, perlu diperkuat untuk merespons "eforia demokrasi" yang ternyata masih terus meluap-luap dalam berbagai lapisan masyarakat kita.

Demokrasi: eforia dan ironi

Eforia demokrasi berlanjut tidak hanya dalam masa seputar pemilu (1999 dan 2004), tetapi juga dalam pilkada gubernur dan wali kota/bupati yang terus berlangsung. Mengamati proses politik dan demokrasi, baik pada pemilu maupun pilkada, yang terjadi bahkan adalah eksplosi demokrasi atau eksplosi aspirasi dan ekspresi atas nama demokrasi. Eksplosi itu sering lepas kontrol sehingga berujung pada kekerasan dan anarki.

Dengan begitu, segera menjadi jelas, eforia dan eksplosi demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, baik demokrasi prosedural maupun demokrasi substantif. Demokrasi kelihatannya cenderung disalahpahami kalangan masyarakat kita sebagai demonstrasi massa dan berbagai bentuk unjuk rasa lainnya sehingga memunculkan istilah "demo- crazy". Juga, kebebasan cenderung disalahartikan sebagai "kebebasan tanpa aturan" (lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan kepada hukum. Hasilnya, seperti pernyataan Mahathir Mohamad yang dikutip di atas, yang terjadi adalah anarki. Anarkisme bukan hanya mencederai, tetapi bahkan jelas bertentangan dengan demokrasi.

Inilah ironi demokrasi, yang dengan kebebasan yang dibawanya pada gilirannya memunculkan berbagai gejala anarki. Sekali lagi, demokrasi dan kebebasan menimbulkan eksplosi aspirasi dan ekspektasi. Jelas, eksplosi aspirasi dan ekspektasi itu tidak selalu dapat terpenuhi secara cepat, apalagi instan, di tengah kemerosotan negara pada berbagai levelnya.

Demokrasi jelas tidak bisa berjalan baik kecuali ada kepatuhan dan respek pada hukum dan ketertiban publik. Pemberdayaan demokrasi tidak cukup hanya dengan adanya banyak parpol, pemilu yang reguler, pers yang bebas dan independen, dan civil society yang kuat. Pemberdayaan dan pendalaman demokrasi tidak bisa taken for granted; sebaliknya, justru harus disemaikan, misalnya melalui pendidikan kewargaan (civic education) atau pendidikan demokrasi atau pendidikan kewarganegaraan (citizenship education). Jika itu bisa dilakukan, insya Allah, bukan hanya demokrasi bisa diperkuat, tetapi juga sekaligus integrasi negara-bangsa.

Azyumardi Azra Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

1 Comments:

Blogger SEKJEN PENA 98 said...

Di sini ada cerita
Tentang cinta
Tentang air mata
Tentang tetesan darah

Disini ada cerita
Tentang kesetiaan
Juga pengkhianatan

Disini ada cerita
Tentang mimpi yang indah
Tentang negeri penuh bunga
Cinta dan gelak tawa

Disini ada cerita
Tentang sebuah negeri tanpa senjata
Tanpa tentara
Tanpa penjara
Tanpa darah dan air mata

Disini ada cerita tentang kami yang tersisa
Yang bertahan walau terluka
Yang tak lari walau sendiri
Yang terus melawan ditengah ketakutan!

Kami ada disini
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

9:07 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home