| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, October 28, 2006,2:41 PM

Renaisans Bangsa

Yonky Karman

Dalam Kerapatan Besar Indonesia Muda I (29 Desember 1930-2 Januari 1931) di Surakarta, Muhammad Yamin menyebut Sumpah Pemuda sebagai kebangunan atau renaisans bangsa.

Indonesia seperti bangun dari tidur panjang karena lama dijajah. Awal abad ke-20, intelektual muda Indonesia terimbas ide nasionalisme lewat para mahasiswa yang sedang belajar di Belanda meski ide itu muncul pada abad ke-18 di Eropa Barat (Locke di Inggris, Rousseau di Perancis, Herder di Jerman).

Renaisans

Dalam sejarah peradaban Eropa, Renaisans sering dimengerti sebagai periode peralihan (abad ke-14 sampai ke-17) antara Abad Pertengahan dan zaman modern. Periode itu ditandai tumbuhnya kembali minat kepada hal-hal lama dari zaman Roma dan Yunani (klasik). Bagi Ortega, Renaisans lebih dari itu (Man and Crisis, 67-101). Renaisans adalah sebuah krisis besar sejarah. Sesudah itu, dunia Barat tak pernah sama seperti sebelumnya.

Tentang perubahan dunia, Ortega membedakan antara perubahan dalam dunia dan dunia sendiri berubah. Renaisans adalah peralihan dalam arti dunia juga berubah. Pada masa peralihan, orang sinis yang bermental lama mencari orientasi baru. Yang lama tak bisa diandalkan, tetapi masih dipegang, yang baru belum tiba.

Maka, sinisme mengawali krisis sejarah dalam Renaisans dan berakhir setelah lahir mental baru untuk generasi baru yang selanjutnya disebut manusia modern. Selama krisis, orang berjuang untuk menemukan orientasi hidup yang benar-benar baru. Sebelum yang baru tiba, orang mewarisi mental lama, ikut-ikutan, tanpa pembaruan radikal. Saat mental baru menjadi horizon bertindak, hidup menjadi otentik dan efektif.

Sumpah bangsa

Sumpah Pemuda juga bisa disebut renaisans bangsa Indonesia. Meski pada awal abad ke-20 di sana-sini bermunculan gerakan kebangsaan, semua itu bersifat primordial dan sempit (kedaerahan, kesukuan, keagamaan). Baru dalam Kerapatan Pemuda Pemudi Indonesia II di Welteveden (Jakarta), 27-28 Oktober 1928, putra-putri Indonesia memutuskan untuk mengaku bertumpah darah satu (Tanah Indonesia), mengaku berbangsa satu (Bangsa Indonesia), dan menjunjung tinggi bahasa persatuan (Bahasa Indonesia).

Sumpah Pemuda bukan perjuangan pemuda saja, tetapi pemuda sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa keseluruhan. Indonesia sebagai bangsa bersumpah untuk bersatu, mengalahkan kekamian dengan kekitaan. Menyadari nasib dan cita-cita yang sama serta hak untuk berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa merdeka, semua komponen bangsa saat itu bersatu dalam komunitas terbayang (imagined community) Indonesia Raya.

Indonesia bangun dari tidur lelap yang panjang. Kebangunan itu ditandai spirit keindonesiaan. Cita-cita menyatukan Nusantara tidak datang tiba-tiba. Sebelumnya ada Sumpah Sriwijaya (686), Janji Gajah Mada (± 1340). Berbeda dari sebelumnya, cita-cita persatuan dalam Sumpah Pemuda guna melawan kolonialisme.

Kesadaran berbangsa menjiwai dan memperkuat pergerakan nasional dengan kulminasi proklamasi kemerdekaan 1945. Nasionalisme Indonesia berakar dalam semangat persatuan, warisan tak ternilai lalu menjadi kekuatan yang memerdekakan. Energi kebangsaan seharusnya juga memerdekakan Indonesia dari kemiskinan dan ketertinggalan.

Kekayaan sumber daya alam Indonesia belum bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hingga kini, Indonesia masih menjadi potensi ekonomi dunia yang memasok sumber bahan mentah. Sebuah kerja besar untuk berubah dari potensi menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan pasar global. Di abad ke-21, bangsa Indonesia harus bersumpah untuk merevitalisasi persatuan bangsa.

Merajut potensi bangsa

Sepertiga dari 1,2 miliar penduduk miskin dunia ada di Asia dan jumlah penduduk miskin Indonesia terbanyak setelah China dan India. Namun, China dan India menunjukkan kemajuan ekonomi dengan dampak mengurangi kemiskinan. Stabilitas makroekonomi Indonesia rentan tanpa fondasi kebangkitan sektor riil.

Kemiskinan dan pengangguran massal adalah bahaya laten. Daya beli dan kualitas hidup masyarakat kecil merosot. Puluhan juta rakyat hidup dalam kemiskinan dengan makanan di bawah standar, akses kesehatan dan pendidikan minim. Itu sebabnya Indonesia menjadi salah satu sorotan Program Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB.

Krisis multidimensional kita tak kunjung usai karena kebanyakan pemimpin negeri dan elite politik tergolong the mass I, bukan the responsible I. Politik pencitraan (face-lift) mendominasi kebijakan pemerintah. Substansi politik sebenarnya yang menyejahterakan dan menjunjung keadilan diabaikan.

Nasionalisme kita terjebak labirin isu-isu primordial. Alih-alih menyejahterakan, otonomi daerah memindahkan tradisi korupsi dari pusat ke daerah, minus kepemimpinan yang efektif dan bersih. Etnonasionalisme bangkit. Juga nasionalisme berdasar mayoritas.

Baru-baru ini, Merryl Lynch Singapura merilis survei. Akhir tahun 2005, total aset orang kaya di Singapura adalah 260 miliar dollar AS. Dengan definisi kaya sebagai memiliki kekayaan minimal satu juta dolar, ada 55.000 orang kaya di Singapura. Yang mengejutkan, sepertiganya adalah warga negara Indonesia yang rata-rata berstatus permanent resident. Total jumlah kekayaan WNI di Singapura mencapai 87 miliar dolar AS, sekitar Rp 800 triliun.

Fakta Singapura menjadi prioritas tujuan investasi pengusaha Indonesia tak perlu dikaitkan dengan nasionalisme. Di era kapitalisme global, sekat-sekat negara menjadi semu. Selain faktor kedekatan lokasi kedua negara, kebijakan negara kota itu ramah investasi. Menyadari diri miskin sumber alam, Singapura memberi standar pelayanan administrasi kelas internasional yang efisien, cepat, dan bersih.

Sebenarnya pemerintah tidak perlu menghabiskan biaya dan energi untuk roadshow ke luar negeri menarik investor asing ke Indonesia. Dalam dunia yang mengglobal, berita baik atau buruk di dalam negeri dapat cepat diketahui. Jika iklim investasi di Indonesia baik, investor dari mana pun akan berdatangan. Tentu investor WNI adalah lokomotif gerbong investasi yang paling efektif.

Percuma pemerintah mengajak orang asing berinvestasi di Indonesia jika WNI sendiri meragukan komitmen pemerintah untuk benar-benar membangun negeri. Dalam hal ini, Pemerintah India berhasil memanfaatkan warga diaspora guna membangun pusat teknologi informasi hitech di India. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan introspeksi.

Daya saing investasi kita menurun dibandingkan dengan negara lain yang serius memerangi korupsi tanpa tebang pilih. Pemerintah tidak optimal menjamin kepastian dan penegakan hukum. Birokrasi Indonesia lebih suka dilayani daripada melayani dan suka mengutip. Selain tidak efisien juga menghambat percepatan pembangunan. Sayang, semua itu berlangsung kasat mata tanpa sanksi tegas.

Maka, jangan ukur nasionalisme warga Indonesia yang mengabdi di negeri asing atau tinggal di negeri orang. Pemerintah harus tegas merajut potensi bangsa guna mewujudkan tanda-tanda Indonesia Baru. Jangan terus membiarkan persatuan bangsa cedera seperti sekarang. Indonesia Baru bukan sekadar mimpi jika pemerintah serius dengan renaisans bangsa.

Yonky Karman
Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home