| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, October 10, 2006,1:43 PM

Alquran dan Spirit Kebudayaan Modern

Zezen Zaenal M
Lulusan Fakultas Syari'ah UIN Jakarta. Bekerja di Lembaga Survei Indonesia.

Bulan Ramadhan dipenuhi oleh peristiwa luar biasa bagi umat Islam. Salah satunya adalah pewahyuan Alquran pada malam tanggal 17 Ramadhan untuk pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, Alquran adalah mukjizat teragung bagi kenabian Muhammad SAW dan kemanusiaan.

Alquran juga adalah kitab suci yang unik. Keunikannya akan terlihat kalau kita mengetahui bahwa Alquran diwahyukan kepada Muhammad SAw pada fase transisi kebudayaan dalam sejarah manusia. Muhammad SAW, sang nabi yang menerima pewahyuan Alquran, menurut Muhammad Iqbal, pemikir Pakistan abad ke 19, adalah seorang nabi yang berdiri di antara dunia kuno dan dunia modern.

Dilihat dari sumber dan cara pewahyuannya, apa yang diterima Muhammad SAW sepenuhnya merupakan bagian dari tradisi kebudayaan kuno yang terbentang dari Adam hingga Yesus. Tapi dilihat dari spirit, semangat dan api pewahyuannya, apa yang diterima Muhammad SAW adalah awal atau bagian dari tradisi kebudayaan modern.

Dalam Islam, kenabian Muhammad SAW mencapai puncak kesempurnaannya dalam penemuan kebutuhan penghilangan tradisi kenabian itu sendiri. Artinya, setelah Muhammad SAW, Tuhan tidak lagi secara langsung menuntun manusia lewat pewahyuan pada seseorang individu. Tuhan bahkan tidak mewakilkannya pada sekelompok orang, seperti kelas ulama atau pendeta. Setiap manusia dibiarkan sendiri menyingkap realitas kehidupan berdasarkan tanda-tanda atau petunjuk (ayat) yang telah diturunkan-Nya. Dan kenabian berakhir sampai di sini.

Lahirnya Muhammad SAW dan turunnya Alquran menandai dimulainya penemuan dan pengembangan sumber pengetahuan baru bagi kebudayaan manusia. Sumber pengetahuan baru itu adalah kesadaran induktif (inductive intellect) yang kelak memegang peran amat penting bagi peradaban manusia. Alquran berulang-ulang menekankan pentingnya manusia merenungkan keberadaan alam sekitar.

Kita disuruh memperhatikan dan meneliti bagaimana malam dan siang datang silih berganti, miliaran bintang tak bertabrakan, gunung dipancangkan, lautan dihamparkan, waktu, cahaya, dan beragam fenomena alam lainnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Hal yang disebutkan tadi dengan jelas disebutkan oleh Alquran sebagai salah satu bagian dari tiga sumber pengetahuan manusia: jiwa (anfus, self), alam raya (afaq, nature),dan sejarah (QS 41:53).

Semangat induktif Alquran inilah yang memberikan corak baru dalam perkembangan kebudayaan manusia. Islam dari awal hadir bersifat terbuka. Karena itu, Islam membuka dialog dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan India, Persia, Romawi, Yunani dan lain-lain. Di antara kebudayan-kebudayaan itu, yang amat terasa peranannya adalah kebudayaan Yunani, terutama tradisi filsafat dan pemikirannya.

Sejak Alkindi, filsuf muslim awal, menerjemahkan karya-karya pemikir Yunani, kegairahan para pemikir Muslim pada kebudayaan ini begitu menggelora. Namun, para pemikir Muslim menemukan adanya kontradiski antara corak pemikiran Yunani dan spirit Alquran. Tradisi filsafat Yunani terlalu menekankan aspek-aspek teoritik spekulatif idealistik dan cendrung mengesampingkan realitas faktual.

Pandangan Plato bahwa dunia yang hakikat adalah dunia idea, sementara dunia yang real bersifat skunder dan tak lebih dari penampakan semata, menyebabkan penghargaan pada teori-teori spekulatif idealistik menjadi utama. Bahkan dalam pemikiran Aristotelian yang sering dijadikan rujukan madzhab empiris, sampai sebelum Islam datang, nuansa dan corak idealistik masih begitu terasa.

Kontradiksi inilah yang menyebabkan terjadinya revolusi corak dan pemikiran filsafat Islam awal. Kultur budaya Yunani tetap diapresiasi dan dikembangkan sembari mengukuhkan corak baru, yakni corak pemikiran induktif. Karena itu, tak aneh, segera setelah para pemikir Muslim mendialogkan pemikiran Yunani dan ajaran Alquran, kebudayaan Islam mencapai masa kegemilangan.

Pemikiran rasional-idealistik (anfus)dan penemuan serta penelitian empirik (afaq) berjalan berbarengan dan saling mendukung. Ilmu pengetahuan berkembang pesat. Ilmu optik, astronomi, obat-obatan dan dunia kedokteran, sosiologi, matematika, kimia, biologi dan lain-lain mencapai tahapan yang sangat mengagungkan untuk ukuran saat itu. Nama besar seperti Ibnu Miskawaih, Al Khawarizmi, Al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd dan lain-lain muncul di percaturan dunia.

Kondisi sekarang
Kondisi umat Islam sekarang tak lagi demikian. Seruan kembali pada Alquran untuk mengobati keterbelakangan Islam, belakangan terkesan amat jargonis. Umat Islam, dengan kegemilangan masa lalu, menjadi umat yang apologetik. Alih-alih melakukan penyelidikan ilmiah terhadap alam sebagai bagian dari ketundukan dan ibadah pada Tuhan, umat Islam kini sibuk melakukan klaim-klaim apologetik. Ketika teori Big Bang ditemukan oleh Barat, misalnya, umat Islam sibuk mencari rujukan dalam Alquran. Setelah ayat yang sedikit mirip ditemukan (QS 21:30), dengan tanpa malu kemudian akan mengkalim bahwa Islam telah menemukan teori itu 14 abad lalu. Hal serupa juga terjadi pada banyak penemuan modern lainnya.

Keyakinan bahwa Alquran adalah sumber pengetahuan manusia tidak dibarengi oleh kesadaran bahwa jiwa, alam raya, dan sejarah juga adalah sumber pengetahuan yang berharga. Meneliti Alquran, alam raya, jiwa, dan sejarah, dengan demikian memiliki derajat ibadah yang sama. Kesemuanya adalah ayat-ayat Tuhan (tanda-tanda kebesaran-Nya). Alquran adalah ayat qur'aniyah, sementara jiwa, alam raya, dan sejarah adalah ayat kauniyah. Karena itu, baik ahli Alquran maupun ahli jiwa, fisikawan, ahli biologi, ahli sejarah, dan lain-lain adalah ulama (orang yang mendalam ilmunya).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home