| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, October 06, 2006,11:23 PM

Pollycarpus Bebas, Kita Bisa Apa?

Oleh Prija Djatmika

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan akan merevitalisasi tim penyelidik kasus kematian aktivis HAM Munir -sebagai jawaban atas pertanyaan Komisi Eropa Jose Manuel Barroso yang menanyakan perkembangan pengungkapan kasus kematian Munir di Finlandia awal September lalu- publik di Indonesia menyambut dengan senang.

Optimisme aktivis HAM di negeri ini yang sempat meredup melihat ketidakseriusan pemerintah membongkar kasus tewasnya Munir di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan Jakarta- Amsterdam tahun 2004 seakan mendapat pasokan minyak dari SBY untuk optimistis lagi. Yakni, pemerintah serius membongkar jaringan pembunuh Munir.

Apalagi, seperti gayung bersambut, sesampai di tanah air, SBY segera memanggil Kapolri Jenderal Polisi Sutanto untuk segera merevitalisasi tim penyelidik kematian Munir serta membongkar kasus itu dengan tuntas sesegera mungkin. Sutanto pun menyanggupinya.

Tak Berusia Lama

Namun, optimisme itu tidak berusia lama. Tekad pemerintah ternyata mendapatkan counter balik dari Mahkamah Agung (MA), yang dalam putusannya Rabu lalu malah hanya menghukum terdakwa kasus pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, dua tahun penjara.

Alasannya, karena yang terbukti adalah dakwaan kedua tentang penggunaan surat palsu. Ketua Majelis Hakim Kasasi Iskandar Kamil di gedung MA, Jakarta, Rabu, mengatakan, MA menyatakan dakwaan pertama tentang pembunuhan berencana tidak terbukti karena tidak ditemukan bukti berupa saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri bahwa Pollycarpus melakukan pembunuhan terhadap Munir.

Padahal, pada 12 Desember 2005, PN Jakarta Pusat menjatuhi hukuman 14 tahun penjara kepada Pollycarpus. Selanjutnya, di tingkat banding, vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat vonis PN Jakarta Pusat dengan menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara.

Putusan MA sudah dijatuhkan serta sifatnya final dan mengikat (final and binding). Upaya hukum yang bisa dilakukan kejaksaan -dan juga oleh Pollycarpus sendiri- adalah peninjauan kembali (PK).

Sepanjang ada bukti baru (novum) yang selama ini belum pernah digunakan dalam persidangan.

Kalau pihak kejaksaan yang mengajukan PK, tentu orientasinya adalah untuk memperberat hukuman atau minimal sama dengan yang sudah dijatuhkan PN dan PT. Yang jauh lebih penting daripada besarnya hukuman adalah putusan hakim yang menyatakan terpidana terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir.

Tapi, tanda-tanda kejaksaan akan mengajukan PK hingga hari ini belum terdengar. Lalu, apa yang bisa dilakukan para aktivis HAM atau keluarga Munir, yang tentu sangat terpukul atas putusan kasasi MA itu?

Apabila upaya yang hendak dilakukan ingin berada dalam koridor hukum beracara pidana, tampaknya, tidak ada peluang sama sekali. Sistem peradilan pidana kita - sebagaimana banyak dikeluhkan para teoretisi dan praktisi- telah memberikan legitimasi kepada negara untuk mengambil alih konflik yang terjadi antarmasyarakat.

Seberapa pun kecewa (atau marahnya) para aktivis HAM dan keluarga Munir atas putusan itu, begitu kasus tersebut ditangani oleh sistem peradilan pidana (hukum negara), maka mereka hanya menjadi partisipan dalam proses peradilan. Hanya menjadi saksi pelapor atau saksi-saksi biasa. Serta kelompok penekan di luar pengadilan, siapa tahu bisa memengaruhi putusan hakim.

Negara -yang diwakili jaksa penuntut umum- kemudian berubah menjadi pihak yang menjadi korban dari suatu kejahatan dan memainkan peran yang dominan dalam sistem peradilan pidana. Konsep bahwa kejahatan adalah melanggar kepentingan negara -sebagai representasi kepentingan publik- umumnya menjadi dasar pemberian kewenangan negara untuk memonopoli reaksi (formal) terhadap kejahatan.

Selanjutnya, konsep itu diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum, di mana hukum pidana adalah bagian dari hukum publik, yang tidak membolehkan campur tangan individu korban kejahatan di luar aturan beracara yang sudah baku.

Jadi, berdasar konsep itu, negara (jaksa) tidak akan pernah bertanya (atau peduli) kepada korban atau keluarganya, apakah dia puas atau tidak puas atas hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa. Apabila merasa putusan itu kurang adil, mereka (jaksa) akan mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Upaya hukum itu pun tidak akan dirundingkan atau dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pihak korban. Namun, kalau merasa putusan itu sudah adil atau memuaskan karena sesuai dengan tuntutannya, mereka akan menyetujui putusan tersebut. Sedangkan reaksi pihak korban terhadap putusan itu juga tidak akan ditanyakan atau dipedulikan.

Di Luar Koridor

Demikian juga dalam kasus Munir ini. Para aktivis HAM dan keluarga Munir bisa menunjukkan reaksi penolakannya atas putusan itu hanya "di luar koridor sistem peradilan pidana". Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) akan mengajukan eksaminasi (penilaian) atas putusan MA itu.

Ya, sebatas itu saja dan tak akan memengaruhi putusan kasasi MA tersebut.

Itulah sisi yang tidak memuaskan dari sistem peradilan pidana yang memberikan kekuasaan kepada negara untuk memonopoli penyelesaian kasus dan hak-hak korban dimarginalkan. Repotnya lagi, kalau dalam kasus yang disidangkan itu ternyata ada kepentingan negara yang terlibat, sementara melalui pengadilan kita menyerahkan negara untuk menyelesaikannya.

Ironis. Apakah demikian pula halnya dalam kemisteriusan kasus kematian Munir, yang pengungkapannya (dalam dan di luar pengadilan) malah kian misterius? Wallahu ’alam.

Prija Djatmika, staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home