| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, October 17, 2006,2:37 PM

Dunia Ketiga Terharu

Nobel Perdamaian untuk Yunus
Oleh Tjuk K. Sukiadi

Hadiah Nobel paling bergengsi, yakni Nobel Perdamaian, jatuh kepada Prof Dr Muhammad Yunus, guru besar Universitas Dakka Bangladesh. Ini sungguh prestasi raksasa dari tokoh yang menjadi pelopor kredit mikro itu.

Tidak mengherankan, sorak sorai serta rasa bangga bercampur haru melanda hati seluruh warga Bangladesh, bahkan seluruh rakyat dunia ketiga. Buktinya, ikhwan saya DR Daniel Rosyid, dekan Fakultas Perkapalan ITS, Minggu kemarin menumpahkan keharuannya melalui SMS yang disebarkan ke mana-mana.

Keharuan tersebut sangat tulus. Apalagi, Bangladesh adalah negeri yang masuk kategori dunia ketiga. Sebagian besar penduduknya muslim yang saat ini lagi menunaikan ibadah puasa. Hal itu seakan merupakan proksi Lailatul Qadar yang dilimpahkan Allah SWT kepada bangsa yang lebih miskin ketimbang bangsa Indonesia tersebut.

Paling tidak, ada kebanggaan yang murni di lubuk bangsa Bangladesh karena putra terbaiknya diakui dunia sebagai pelopor kredit bagi orang miskin yang jumlahnya lebih dari 7 juta orang.

Bukan Konsep Baru bagi Indonesia

Prinsip kredit mikro Grameen Bank adalah tanggung renteng antaranggota kelompok yang mendapatkan kredit dipadukan dengan penanaman disiplin tinggi di kalangan anggota dengan "atribut ritual" yang ditanamkan untuk menumbuhkan solidaritas dan disiplin.

Harus diakui, Muhammad Yunus membuktikan diri sebagai pejuang yang mempunyai visi, objektif, strategi, taktik, dan aksi yang dilaksanakan secara amanah dan istikamah selama 30 tahun lebih. Inilah yang menjadi kunci fundamental keberhasilannya.

Mengapa hal itu perlu digaris bawahi? Sebab, di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, sudah ada kegiatan di bidang perkoperasian yang menerapkan prinsip tanggung renteng di antara anggota kelompok yang menerima kredit dari koperasi.

Nyonya Sjafril, istri seorang dokter di Malang, telah mendahului Yunus ketika pada dasawarsa 1960-an membentuk koperasi di kalangan wanita dengan prinsip tersebut. Awalnya, hal itu berkembang cepat. Kemudian, karena kurangnya unsur amanah dan istikamah dari pengurus tertentu, "bayi kesayangan" Bu Sjafril terpaksa tinggal kenangan sejarah.

Di Surabaya koperasi Setia Bhakti Wanita yang dipelopori Nyonya Yoos Lutfi -kebetulan dia keponakan Bu Sjafril- menerapkan prinsip-prinsip yang sama dan hingga saat ini terus berkembang dengan lumayan. Meski, beberapa saat lalu pendiri utamanya sudah tidak aktif sebagai pengurus. Kita harus akui bahwa untuk ukuran Indonesia, Koperasi Setia Bhakti Wanita sangat sukses karena keanggotaannya mencakup 10 ribu orang lebih dengan omzet usaha sekitar Rp 500 miliar, mungkin lebih.

Namun, kita juga harus akui bahwa sukses itu bukan bandingan dari Grameen Bank di Bangladesh. Bukan hanya jumlahnya yang lebih dari 500 kali lipat dan menjadi suatu gerakan nasional yang memukau dunia ketiga, yang lebih mengharukan adalah "daya rengkuhnya" kepada masyarakat miskin yang tingkat kemiskinannya lebih jelek dibandingkan anggota Koperasi Bhakti Wanita.

The untouchable poor menjadi touchable berkat kiprah Grameen Bank. Seperti koperasi SBU, kredit yang mereka kembangkan tanpa agunan. Jaminannya adalah "solidaritas tanggung renteng". Terbukti, kredit macetnya dapat dikatakan hampir nihil atau bahasa kerennya highly negligible.

Kendala di Indonesia

Pertanyaan yang sering diajukan bangsa kita adalah kapan akan datang zaman yang memberikan kebaikan dan kesejateraan kepada banyak pihak, syukur-syukur kalau berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia. Biasanya, mereka minta dijawab berapa lama atau berapa tahun lagi?

Sambil bergurau, kita akan mengatakan bahwa hingga kiamat sekalipun, tidak akan datang zaman semacam itu. Kecuali, kita percaya akan adanya "Ratu Adil" yang kita harapkan datang beneran, entah kapan.

Hingga saat ini, di Indonesia tidak ada tokoh nasional sekaliber Yunus yang begitu amanah dan istikamah berjuang dengan menenggelamkan diri secara all-out dalam mewujudkan gagasan yang diyakini. Jangka waktu 30 tahun bukan waktu yang pendek.

Kita di zaman Orba pernah berwacana tentang Rencana Pembangunan 25 Tahunan. Namun, karena para pemimpin kita tidak punya karakter seperti Yunus, kerangka landasan untuk dipakai tumpuan tinggal landas ternyata telah amblas dan membuat perekonomian Indonesia tertinggal di landasan. Indonesia yang membangun perekonomian lebih dahulu dari Tiongkok sekarang berharap belas kasihan dan kehadiran investor Tiongkok.

Salah satu kendala yang lebih eksplisit di bidang perkreditan mikro di Indonesia adalah menggejalanya moral hazard. Dimulai dari para Konglomerat yang menular dangan cepat ke lapisan grass root. Selain itu, program pengentasan kemiskinan yang di dalamnya ada skema kredit mikro senantiasa kental dengan misi politik.

Kalau kemarin politik Orba, sekarang itu berubah menjadi politik partai yang sedang berkuasa atau yang paling kentara adalah bagian dari kampanye pejabat yang ingin menang dalam pilkada. Rakyat yang sudah lama dibodohi tentu tidak benar-benar bodoh. Mereka manfaatkan dalam konotasi negatif program-program kredit mikro yang jumlah dan volumenya jauh lebih besar daripada kredit mikro model Grameen Bank. Terciptalah budaya moral hazard di kalangan si kecil.

Maraknya moral hazard semakin menghebat karena banyak pejuang yang mengklaim memperjuangkan rakyat kecil dalam berbagai forum dan media membenarkan wong cilik untuk tidak perlu membayar utang mereka yang kecil dengan alasan para konglomerat hitam juga telah ngemplang ratusan triliun uang negara. Tidak mengherankan, nonperforming loan di bank-bank dan BPR kita, termasuk yang syariah, jauh dari ideal. Agunan menjadi satu-satunya perlindungan utama bagi perbankan Indonesia.

Hal lain yang sangat disayangkan bahwa sistem pinjaman tanggung renteng tanpa agunan di Indonesia tidak mampu menjadi "gerakan nasional" yang dengan gegap gempita dan bertumpu kepada kemampuan profesional-jati diri yang secara simultan dapat menumbuhkan kembali rasa percaya antaranggota. Lalu, berlanjut pada rasa percaya di antara masyarakat dan bangsa.

Masihkah Ada Peluang?

Kalau kita pesimistis, dengan jujur kita harus menjawab bahwa peluang untuk mengentaskan kemiskinan secara fundamental bagi bangsa Indonesia semakin menipis.

Banyak program yang dicanangkan sejak zaman Orde Baru, tapi diragukan keefektifannya. Jurang antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Pengangguran di kalangan generasi muda (makin banyak yang berpendidikan) bertambah besar.

Lalu, masihkah kita punya harapan? Kita sekarang harus berpaling kepada generasi baru pemimpin bangsa yang sangat cendekia, profesional, dan punya banyak teman dengan jaringan nasional serta konon lagi naik daun karena ikut berkuasa bersama SBY-Kalla.

Dengan modal nasional puluhan ribu pemimpin semacam itu, tidak selayaknya kita pesimistis. Bangsa Indonesia punya alasan untuk tetap optimistis, asalkan mereka bisa mengikuti "Muh. Yunus Way!"

Mengambil oper darma "memikul tugas sejarah" dengan menjadi panutan bangsa yang selalu amanah dan istikamah serta berusaha terus menyalakan terang di setiap rumah orang miskin dan memberi harapan kepada mereka yang putus asa.

Prof Dr Tjuk K Sukiadi, dosen FE Unair serta komisaris BPR Syariah Baktimakmur Indah

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home