| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, August 31, 2006,1:40 PM

Masa Depan Pascalumpur Panas

Oleh Tamsil Linrung

Sudah enam pekan, lumpur panas menggenangi sebagian wilayah Sidoarjo. Dengan kisaran semburan lumpur panas 5.000 m3/hari dan diperkirakan masih tetap menyembur entah sampai kapan, maka akan lebih luas lagi daerah Sidoarjo yang tergenangi.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jatim, dan Pemerintah Pusat haruslah memikirkan serius kerangka solusinya dan berjangka panjang. Pengungsian ke beberapa daerah di sekitarnya jelaslah merupakan kerangka solusi temporal dan tidak prospektif untuk menatap masa depan yang baik, apalagi lebih baik.

Pengungsian ke beberapa daerah sekitar, misalnya, Buduran (sebelah utara) atau Candi (sebelah selatan), bahkan ke daerah yang lebih jauh lagi, hanya akan menjadi beban bagi daerah tempat migrasi itu, baik secara sosial ataupun ekonomi.

Memang, korban yang berjumlah sekitar enam ribu -jika harus dipenuhi kebutuhan papannya dan masing-masing mendapat jatah sekitar 100 m2- hanya memerlukan lahan sekitar 60 hektare. Untuk wilayah Jawa -meski terkategori padat- masih cukup tersedia lahan bagi enam ribu jiwa itu, terutama di wilayah pedesaan.

Persoalannya, bagaimana membangun kue ekonomi yang dapat memberikan harapan peningkatan kesejahteraan mereka. Untuk sekarang ini, korban semburan lumpur panas itu tercatat tunakarya. Ini berarti menambah jumlah pengangguran di Jawa Timur.

Bahkan, dampak luapan lumpur panas tersebut telah mengakibatkan delapan industri sangat terganggu. Hal itu diperkiraan akan mengurangi sejumlah tenaga kerjanya.

Hal tersebut merupakan konsekuensi yang tak bisa dihindarkan akibat ketidaklancaran roda industrinya, terutama kemandekan pengiriman barang ke sentra-sentra pasar di berbagai daerah lain, termasuk ekspor. Implikasi ini -karena situasinya menyangkut masalah kompetisi di tengah angkatan kerja- menambah suram bagi para korban Lapindo Brantas untuk mendapatkan pekerjaan.

Harus Dirancang

Karena itu, mulai saat ini haruslah dirancang kerangka solusi untuk menatap masa depan. Dalam hal ini, tampaknya, perlu dicerna lebih mendalam tentang transmigrasi bedol desa ke daerah-daerah yang dinilai memadai, baik luas lahan untuk papan ataupun pengembangan diri untuk mendapatkan sekaligus membangun tingkat kesejahteraannya.

Untuk mewujudkan model itu, Pemkab Sidoarjo atau Pemprov Jawa Timur -bersama Pemerintah Pusat- perlu mengkaji data penduduk: seberapa besar yang selama ini berkonsentrasi pada sektor pertanian, perikinan darat, industri (pabrikan) sebagai tenaga kerja, serta yang bergerak di sektor jasa dan perdagangan.

Menurut Badan Pusat Statistik Sidoarjo dan Dinas Pencatatan Sipil Kabupaten Sidoarjo per 2001, dari jumlah penduduk 1.272.688 orang, 35,36%-nya bermata pencaharian dari sektor industri (buruh), 19,66% berdagang, 19,11% dari sektor jasa (terutama angkutan), 9,55% bertani, dan 16,32% dari sektor lain-lain.

Dari data penduduk tersebut, kiranya, Pemkab Sidoarjo ataupun Pemprov Jatim, bahkan Pemerintah Pusat, bisa melirik daerah tertentu yang dinilai "pas" untuk kepentingan penyerapan angkatan kerja.

Dalam hal ini, wilayah Batam bisa menjadi lirikan utama. Lirikan itu bagai gayung bersambut karena Pemda Batam - objektif sebagai daerah pengembangan industri- benar-benar membutuhkan angkatan kerja tidak sedikit. Kualitas SDM-nya relatif. Belum ada data persis seberapa besar korban lumpur panas yang memenuhi kualifikasi acceptable untuk dunia industri.

Tetapi, sebagai ilustrasi penguat, di Sidoarjo -per Juli 2001- terdapat 43.510 orang (S1-S2), 38.735 orang D3, dan 168.673 orang lulusan SLTA. Data ini relatif menjawab persyaratan dasar untuk "berkompetisi" di tengah Batam. Dalam hal ini, setidaknya, Pemerintah Pusat diminta pengertiannya untuk membantu proses rekrutmen para transmigran Sidoarjo itu.

Sejalan dengan posisi Batam -selain kawasan industri juga merupakan basis niaga- kiranya, konsentrasi masyarakat Sidoarjo selama ini sebagai pedagang (19,66%) bisa menjadi tumpuan harapan yang jauh lebih prospektif. Bukanlah tak mungkin, setelah hijrah, kuantitas perniagaannya -antarpulau (dari Batam ke daerah-daerah sekitarnya)- akan menaik pada level yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Landasannya, tingkat harga produk yang beredar di Batam jauh lebih rendah daripada daerah-daerah sekitarnya. Perbedaan margin itu harus dijadikan peluang bisnis yang berarti.

Sementara itu, wilayah Batam yang dikitari perairan laut cocok untuk pengembangan tambak darat (budi daya ikan bandeng dan udang windu).

Dalam konteks ini, sebagian masyarakat Sidoarjo punya pengalaman budi daya yang bisa bermanfaat untuk merancang kehidupan ekonominya. Pengalaman mereka -menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo- pada 1998, tambak ikannya, dengan luas lahan 15.530.409 ha mampu mencapai produksi 3.503.000 kg. Pada 1999, naik secara hiperbolik: mencapai 19.157.800 kg. Pada 2000, produksi tambaknya naik lagi: sampai 20.010.700 kg.

Sementara itu, masyarakat nelayan Sidoarjo -meski areal pantainya sangat sempit- pada 2000, mampu menangkap ikan 11.017.100 kg. Untuk kolam ikan -dengan lahan 36 ha- pada 2000, tercapai produksi 106.200 kg. Perairan sungai -dengan panjang 314,4 km- berhasil berproduksi 275.900 kg.

Yang perlu dicatat, capaian produksi tersebut tentu bisa dijadikan landasan untuk memformat masyarakat Sidoarjo (korban Lapindo Brantas) lebih jauh. Secara khusus, Pemerintah Pusat -termasuk lembaga legislatif- ikut memfasilitasi gerakan "penyelamatan" sosial-ekonomi para transmigran Sidoarjo atas dalih bencana atau lainnya. Yang lebih penting, Pemerintah Pusat -termasuk Pemprov Jatim- ikut memfasilitasi akses ke berbagai lembaga keuangan.

Sikap Korban

Bagaimana sikap korban dalam merespons gagasan solusi transmigrasi bedol desa? Meski model solusinya prospektif, kultur Jawa yang mangan nggak mangan asal ngumpul menjadi kendala tersendiri untuk menggiring (mengajak) mereka hijrah ke daerah lain, sekalipun masih di Nusantara ini. Kultur itu jelaslah bukan kesalahan.

Meski demikian, demi merefleksikan rasa cinta persaudaraan dan kemanusiaan, para korban Lapindo Brantas itu perlu mendapat pencerahan dengan landasan membangun perubahan yang lebih baik.

Dengan spirit kebersamaan (sesama umat manusia), korban Lapindo Brantas perlu diyakinkan tentang makna konstruktif kerangka solusi itu (transmigrasi bedol desa).

Barangkali, ada satu kondisi yang dapat dimainkan untuk memperkuat tekad transmigrasi bedol desa. Yaitu, sistem bedol desa akan menjadikan tempat atau wilayah barunya relatif tak beda dari tempat asal, terutama lingkungan kekeluargaan dan kulturalnya. Perbedaan lingkungan fisik daerah (Batam versus Sidoarjo) memang awalnya merupakan persoalan tersendiri.

Pada akhirnya, mental transmigran Sidoarjo akan menyesuaikannya. Mental itu akan ditunjang aroma perubahan yang cukup prospektif di depan mata. Inilah urgensi program masa depan yang jelas pascalumpur panas menggenangi sebagian daratan Sidoarjo.

Tamsil Linrung, anggota Komisi IV D
PR RI dari FPKS
,1:38 PM

Skenario Menjajah Timur Tengah

Mohammad Shoelhi
Pengamat Politik Internasional

Prospek perdamaian Timur Tengah menjadi bertambah suram dengan pecahnya Perang Libanon antara Israel melawan Hizbullah. Walau kini perkembangan ditandai dengan gencatan senjata, dan pasukan multinasional di bawah bendera PBB pun diterjunkan untuk mengawasinya, namun kita belum yakin bahwa keadaan tersebut akan menjurus ke arah perdamaian.

Mengapa selama ini Timur Tengah menjadi kawasan yang tak henti-hentinya membara dan kerap terjadi letusan api peperangan? Jawaban yang paling mendasar, karena baik Israel maupun Amerika Serikat (AS) belum meraih seluruh kepentingan yang ditargetkannya. Itulah sebabnya kedua negara tersebut akan selalu menaklukkan negara-negara Timur Tengah yang tak bersedia tunduk kepadanya.

Akan halnya dengan perang Irak, AS berhasil menguasai Irak dan mendepak rezim Saddam Hussein. Sesunnguhnya di balik perang ini, tidak hanya AS yang punya kepentingan tetapi juga Israel, mengingat Irak merupakan negara yang paling keras permusuhannya dengan Israel. Dengan kemenangan AS dalam perang tersebut, Irak tidak lagi merupakan ancaman bagi Israel.

Begitu juga halnya dengan perang Libanon sekarang ini. Di balik perang ini terdapat kepentingan Israel juga AS, mengingat Hizbullah merupakan kepanjangan tangan Iran yang secara frontal berhadap-hadapan dengan Israel. Diharapkan Hizbullah kalah dalam perang ini, yang berarti kekuatan yang mengancam Israel dapat disingkirkan, sehingga AS akan bisa lebih mudah menaklukkan Iran dengan dukungan penuh Israel.

Seperti kita saksikan selama ini, dalam setiap peperangan, AS enggan berlaga sendiri, melainkan ia selalu menarik peran pihak sekutunya untuk terlibat. Demikian juga halnya untuk menaklukkan musuh terberatnya di Timur Tengah, Iran, dan tentu saja dengan tujuan akhir memperkuat cengkeraman pengaruh hegemoniknya di seluruh kawasan Timur Tengah, AS memanfaatkan peran Israel. Paling tidak peran Israel ini sebagai balas budinya kepada AS yang telah berhasil menundukkan Irak sebagai musuh terberat Israel.

Mengapa AS begitu berambisi untuk memperkuat hegemoninya di Timur Tengah dengan menundukkan seluruh negara di kawasan tersebut? Pertama, untuk kepentingan nasional AS sendiri, dan kedua untuk meningkatkan faktor keamanan bagi Israel. Kawasan Timur Tengah merupakan pusat kepentingan paling utama baik bagi AS maupun bagi Israel.

Hubungan AS-Israel
Sejak awal, Israel berdiri bukan karena alasan Israel punya tanah di Palestina, melainkan atas 'mandat' yang diberikan Inggris yang pada waktu itu menguasai Palestina. Namun, setelah Israel berdiri, negara yang paling gigih memberikan dukungan habis-habisan atas eksistensi Israel adalah AS. Betapa tidak, selama ini AS-lah yang memperkuat bangunan Israel.

Dukungan yang diberikan AS sudah tentu bukan cuma-cuma seperti yang lazim dikenal dalam ungkapan pergaulan di kalangan bisnis there is no free LGD (lunch, golf, and dinner). Tidak ada makan siang, golf, dan makan malam gratis. Artinya, setiap apa yang diberikan di baliknya selalu ada imbalan yang diharapkan atau diminta.

Begitu pula halnya dalam hubungan AS-Israel, jauh sebelum Israel berdiri, kalangan Yahudi kaya raya, dengan licik dan lihai merasuk ke dalam Senat dan Gedung Putih. Mereka menyatakan kesediaan memberikan segala sumbangan tak tangung-tanggung demi kejayaan AS. Mereka selalu mengusung setiap kandidat pemegang kekuasaan di tingkat negara, baik di parlemen maupun eksekutif, yang bersedia mengemban 'misi suci' itu. Namun, apa sesungguhnya hakikat 'misi suci' itu? Tak lain dan tak bukan adalah kelangsungan kebijakan politik pro-Israel.

Itulah sebabnya, tidak ada satupun kebijakan politik yang dijalankan AS di belahan dunia mana pun, khususnya di Timur Tengah, yang tidak terkait dengan kepentingan Israel. Begitu juga sebaliknya, tidak ada kepentingan Israel di Timur Tengah yang tak terkait dengan kepentingan AS. Seluruh sepak terjang AS di Timur Tengah, baik dalam bidang diplomasi maupun peperangan selalu berpihak kepada Israel. Setiap resolusi PBB mengenai perdamaian Timur Tengah yang meguntungkan Israel selalu tampil atas prakarsa AS, jika resolusi itu datang dari Israel sendiri maka AS pun akan selalu mendukungnya.

Sebaliknya, setiap resolusi yang merugikan Israel yang berasal dari pihak manapun, AS selalu menolaknya. Begitu juga, dalam beberapa kali peristiwa perang antara Arab-Israel, seperti perang 1967 dan 1973, AS pun memberikan dukungan militer seluas-luasnya dengan menerjunkan tentaranya di pihak Israel. Itulah yang membuat Presiden Mesir, Anwar Saddat, lebih memilih berdamai dengan Israel daripada bermusuhan karena pada kenyataannya yang dihadapi adalah AS.

Arah perkembangan
Ke mana keadaan buruk Timur Tengah dengan pecahnya perang Israel melawan Hizbullah ini akan dikembangkan? Gelagatnya dapat dibaca dengan gamblang. Perang in merupakan kelanjutan dari perang Irak yang terlalu cepat dipaksakan. Dilihat dari pemicunya, perang ini dipicu oleh penangkapan dua serdadu Israel oleh Hizbullah.

Soal tangkap-menangkap dalam konteks permusuhan Israel dengan musuh-musuh Arabnya merupakan hal yang biasa. Berapa kali Israel menangkap musuh-musuh Arabnya selama ini, dan hal itu tak pernah dibalas dengan serangan militer sampai pecah perang? Tetapi mengapa penangkapan sersadu Israel lantas serta-merta dibalas dengan operasi militer.

Sejumlah pengamat memperkirakan, perang Israel-Hizbullah ditujukan untuk mengobarkan api perang lebih besar. Sekalipun kini telah dicapai gencatan senjata, cepat atau lambat, perang hampir pasti akan berlanjut. Mengapa? Sebagian sebabnya adalah bahwa gencatan senjata itu tak disepakati Israel. Sebagian sebab lainnya adalah bahwa dengan berlanjutnya perang lebih besar, skenario penaklukan Timur Tengah diharapkan lebih cepat tercapai.

Dalam perhitungan AS, pemantapan pengaruh hegemoniknya atas kawasan Timur Tengah dan peningkatan faktor keamanan bagi esksistensi Israel tinggal 'selangkah'. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, perkembangan yang kini berlangsung di Libanon akan didorong untuk menyeret Suriah dalam perang yang lebih besar. Pada gilirannya, ini akan semakin memperkuat alasan bagi AS untuk terlibat dan mengambil peran militer secara luas di dalamnya sebagaimana dalam perang-perang sebelumnya. Hampir pasti perang ini pada akhirnya akan dimenangkan Israel dengan dukungan kuat dari AS.

Sasaran antara
Penaklukan seluruh kawasan Timur Tengah tinggal 'selangkah'. Betapa tidak, sederet sasaran antara telah dicapai AS (juga Israel). Setelah Mesir memutuskan berdamai dan mengakui negara Yahudi itu di bawah Perjanjian Camp David, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, dan negara-negara jazirah lainnya sudah dibuat tak mampu berkutik di bawah ketiak AS. Mesir pada waktu itu merupakan negara Arab terkuat dalam menghadapi Israel.

Negara kuat lainnya yang dirasakan paling membahayakan kepentingan AS juga Israel adalah Irak dan Iran. Hingga Irak belum ditaklukkan AS dalam perang keroyokan jilid II antara pasukan penjajah di bawah pimpinan AS melawan Irak, presiden Irak waktu itu Saddam Hussein tak henti-hentinya menampilkan ancaman keras terhadap Israel. Bahkan dalam retorikanya yang populer dia mengatakan bahwa Irak akan melumat Israel dengan rudal buatannya sendiri yang mampu menjangkau dan menghancurkan Israel. Dengan takluknya Irak di bawah AS, kini musuh berbahaya itu tinggal Iran.

Target terakhir
Bila perang Libanon berlanjut dan kemudian berakhir dengan kemenangan Israel (juga AS), maka Iran akan berada pada posisi terjepit. Iran akan terkepung dari berbagai penjuru. Dari arah timur, AS mengepung Iran dari arah Afghanistan dan Pakistan.

Untuk menjepit dari barat, AS menumbangkan rezim berkuasa Irak di bawah Presiden Saddam Hussein, menyusul penaklukan Kuwait, dan setelah jauh sebelumnya menaklukkan Turki yang bersahabat dengan Israel. Sebagai upaya pengepungan dari selatan, AS sudah menjinakkan Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Yaman, Oman, Bahrain, dan sebagainya. Bahkan AS sudah menempatkan salah satu gugus pangkalan militernya di Teluk Parsi.

Mengingat keadaan politik dalam negeri Irak masih labil dan posisi militer AS belum begitu kuat di Irak, maka agar kepungan dari barat tak terganggu, AS memandang perlu lebih dahulu menaklukkan Libanon, Suriah, dan Yordania. Dengan demikian, akan menjadi sempurna dan semakin kuat dalam mengepung Iran. Melalui strategi perang Libanon ini, diharapkan semua tujuan dapat tercapai, khususnya untuk mengobarkan peperangan baru, yaitu perang Iran, sebuah target kepentingan "akhir" di Timur Tengah.
Wednesday, August 30, 2006,1:37 PM

Selamatkan Anak dari (Racun) Antibiotika

Ayu Lathifah
Peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara

Penderita yang sering berobat di Indonesia bila berobat di luar negeri (terutama di negara maju) sering khawatir, karena bila sakit jarang diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang sering berobat di luar negeri juga sering khawatir bila berobat di Indonesia, setiap sakit selalu mendapatkan antibiotika. Hal ini bukan sekedar pameo. Tampaknya banyak fakta yang mengatakan bahwa memang di Indonesia, dokter lebih gampang memberikan antibiotika.

Penggunaan antibiotika berlebihan (irasional) pada anak tampaknya semakin meningkat dan mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan (irasional) artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat, dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju.

Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989, sekitar 84 persen setiap tahun, setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9 persen resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.

Di Indonesia belum ada data resmi tentang penggunaan antibiotika ini. Namun berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pengguanaan antibiotika di Indonesia jauh lebih banyak dan lebih mencemaskan.

Bahaya bagi anak
Sebenarnya penggunaan antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas.

Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Harga obat antibiotika sangat mahal dan merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak belum tumbuh sempurna. Anak berisiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 kali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan antibiotika.

Organ tubuh yang bisa terganggu antibiotika adalah saluran cerna, ginjal, fungsi hati, sumsum tulang, darah, dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa atau reaksi anafilaksis.

Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna di dalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau sering disebut superinfection. Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut superbugs.

Jadi jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah dengan antibiotika yang ringan, apabila antibiotikanya digunakan dengan irasional, maka bakteri tersebut mutasi dan menjadi kebal, sehingga memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar, suatu saat akan tercipta kondisi di mana tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini.

Hal ini akan membuat kembali ke zaman sebelum antibiotika ditemukan. Pada zaman tersebut, infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga angka kematian akan melonjak drastis. Hal lain yang mungkin terjadi, nantinya kebutuhan pemberian antibiotika dengan generasi lebih berat, dan menjadikan biaya pengobatan semakin meningkat karena semakin harganya mahal.

Penanggung jawab
Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotek, sales representatif, perusahaan farmasi, dan pabrik obat.

Antibiotika merupakan golongan obat terbatas, yang penggunannya harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotek atau di toko obat meskipun tanpa resep dokter.

Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representative, dan apotek sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan cara dilakukan.

Dokter sebagai penentu penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak dan lebih mempertimbangkan latar belakang keilmuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan kepentingan lainnya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperan dalam mengurangi perilaku penggunaan antibiotika yang berlebihan ini.

Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerja sama dalam penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media. Penertiban penjualan antibiotika oleh apotek dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti.

Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiotika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu, secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktik dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian.
,1:35 PM

Birokratisasi Gerakan Islam

Abdurrahman Wahid

Yang dimaksudkan dengan birokratisasi adalah keadaan yang berciri utama kepentingan para birokrat menjadi ukuran. Sama saja halnya dengan militerisme jika kepentingan pihak militer merupakan ukuran utama bagi perkembangan sebuah negeri. Jadi bukannya apabila kaum birokrat turut serta dalam kepemimpinan, seperti halnya jika para pemimpin militer ada dalam pemerintahan. Kata kunci dalam kedua hal ini adalah di tangan siapa kekuasaan itu.

Ada seorang pengamat militer dan ahli strategi perang dari Eropa Barat lebih dari seabad yang lalu, Carl von Clausewitz, mengatakan bahwa "perang terlalu penting untuk hanya diputuskan oleh para jenderal saja. Jadi perang adalah sebuah keputusan besar, yang secara teoretik harus diputuskan oleh seluruh rakyat dari sebuah negara". Demikian juga dengan gerakan Islam.

Gerakan Islam di negeri ini sudah ada, secara resmi dan terorganisasi lahir bersama hadirnya Muhammadiyah sejak tahun 1912. Namun sesuatu yang harus dipahami secara mendalam adalah Nahdlatul ’Ulama (NU), yang lahir pada tahun 1926, mempunyai asal-usul yang sama tuanya dengan Muhammadiyah. Yaitu ketika berabad-abad yang lalu, para ulama Islam mulai berbeda pendapat mengenai ziarah kubur dan sebangsanya.

Ulama yang memperkenankan hal itu, di kemudian hari adalah orang yang mendirikan NU. Sedangkan yang melarang kemudian mendirikan Muhammadiyah, sementara mereka yang ingin ’menjembatani’ di antara kedua organisasi tersebut, pada akhirnya mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun-tahun tujuh-puluhan. Pembedaan yang demikian sederhana ini, dilakukan untuk mempermudah pengertian kita saja.

Penguasaan negara

Pada tahun 1984, Presiden Soeharto memutuskan untuk ’berubah haluan’. Kemudian ia melakukan upaya Islamisasi, melalui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sebagai seorang militer dan karena tidak mau disebut berpihak kepada salah satu dari kedua organisasi Islam di atas, maka Soeharto memilih untuk tidak mengutamakan aspek budaya dari gerakan Islam, melainkan lebih menekankan pada aspek kelembagaan/institusionalnya saja.

Hal ini ’sejalan’ dengan sikap Partai Katolik di bawah pimpinan Kasimo yang memberikan tempat khusus kepada gerakan Islam, sejak 1945. Sikap ini diambil sebagai penghargaan atas ’kesediaan’ gerakan Islam untuk menerima Pancasila dan ’meninggalnya’ gagasan negara Islam. Dengan tidak disadari akibatnya, maka sikapnya terhadap posisi kementerian/Departemen Agama lalu menjadi sejarah tersendiri dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan negara, yaitu semacam persepsi bahwa departemen itu adalah berbidang banyak (multidimensi) dan merupakan semacam negara dalam negara.

Baru belakangan ada koreksi atas hal ini, dalam bentuk munculnya keinginan memperkecil ruang gerak departemen tersebut. Namun, birokratisasi di lingkungan Departemen Agama seperti sudah tidak dapat dihambat lagi. Segala hal dicoba untuk ’diagamakan’ dan sering tanpa mengingat batasan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dalam bentuk pemisahan agama dari negara, yang terutama dalam bentuk bantuan negara kepada gerakan Islam. Muncul sebagai gantinya adalah penguasaan negara atas agama.

Sikap seperti ini tentu saja menguatkan peranan institusional dari gerakan Islam. Segera saja, Departemen Agama mendorong terjadinya institusionalisasi gerakan Islam dengan cepat. Lahirlah MUI dalam tahun 1975 yang segera berkembang dengan pesat, karena didorong oleh anggaran belanja teratur dari Departemen Agama dan oleh manuver-manuver politik Presiden Soeharto waktu itu. Ciri utama MUI sejak berdiri adalah kepengurusannya di sisi oleh para pensiunan Departemen Agama dan nonpegawai negeri yang berposisi lemah. Dalam waktu sebentar saja MUI dibuat lebih mementingkan aspek kelembagaan gerakan Islam daripada pengembangan aspek kulturalnya. Hampir-hampir tidak ada pengecualian atas hal tersebut, termasuk dalam ’kebiasaan seremonialnya’.

Hilangnya independensi

Di samping itu, keinginan untuk ’menyehatkan’ cara-cara kerja gerakan Islam, membuatnya terlalu jauh mengikuti proses institusionalnya saja. Dengan demikian, hilanglah sedikit demi sedikit tradisi gerakan Islam yang mengutamakan posisi non-pemerintah. Kalau dahulu KH M Hasjim As’yari dan kawan-kawan ’melawan’ pemerintahan kolonial dengan keputusan-keputusan agama murni, karena mereka bukan pegawai negeri, maka kini hilanglah tradisi itu sedikit demi sedikit.

Jika kenyataan bahwa KH A Wahid Hasjim menjadi Menteri Agama dan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden di Republik ini tanpa menjadi pegawai negeri, maka itu adalah nostalgia belaka, dari perkembangan yang umum terjadi di lingkungan gerakan Islam sekarang. Kepengurusan NU pada tingkat provinsi pun, hampir seluruhnya sekarang dipegang oleh pegawai negeri yang hanya berpikir institusional saja.

Dengan demikian berkembanglah ’sikap ketergantungan’ kepada negara, dengan akibat hilangnya sedikit demi sedikit independensi yang dahulunya dimiliki gerakan Islam. Tentu saja orang tidak dapat berharap untuk ’menghilangkan’ aspek kepegawaian negeri itu, dari gerakan Islam di negeri ini. Tetapi toh tidak ada salahnya untuk berharap hilangnya ketergantungan itu.

Dalam pertemuannya dengan bermacam-macam lembaga dan tokoh-tokoh NU di daerah-daerah, penulis selalu dihadapkan kepada serba kurangnya ’fasilitas umat’. Yang umum terdengar adalah pernyataan semacam "pesantren kami melarat karena tidak dibantu oleh Pemda". Keluhan-keluhan semacam ini sungguh memilukan hati, karena itu berarti terkikisnya sebuah tradisi masa lampau, yang membuat Islam berkembang di negeri ini. Yaitu tetap berdiri walaupun berhadapan dengan pemerintahan kolonial yang secara keuangan/finansial sangat kuat posisinya.

Bahkan, tekanan-tekanan pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam pemilu di masa lampau, tetap dihadapi dengan tenang oleh umat Islam. Terpaksalah pemerintah (termasuk ABRI), melakukan manipulasi suara dan intimidasi untuk memenangkan pemilihan umum bagi Golkar di masa-masa lampau.

Penulis rindu kepada masa-masa seperti itu, ketika posisi masyarakat sangat kuat dan sanggup menandingi kedudukan birokrasi pemerintahan. Padahal, sekarang kita harus menghadapi kenyataan bahwa proses globalisasi juga memasuki kehidupan kita sebagai bangsa. Sebagai reaksi atas globalisasi itu, kemunculan fundamentalisme agama harus diperhitungkan sejajar dengan kemunculan nasionalisme sempit, seperti soal visa sementara orang- orang Papua ke Australia.

Sekarang kita lihat, mengapa kita mengalami krisis multidimensi demikian panjang? Salah satunya adalah gerakan Islam (dan juga gerakan-gerakan lain) sudah terlalu jauh mengalami birokratisasi. Bagaimana mungkin kita tangani korupsi (yang melibatkan kepentingan kaum birokrat) dengan baik, kalau kita tidak berani berpegang kepada kedaulatan hukum? Demikian juga, kalau kita tidak berani menegakkan kewibawaan aparat keamanan dan membiarkan ormas-ormas keagamaan Islam melakukan kekerasan, dengan sendirinya kendali atas keadaan hilang sama sekali.

Herankah kita jika nanti masyarakat mengambil inisiatifnya sendiri, karena jalan-jalan lain telah tertutup? Dalam hal ini, kita lalu tertegun oleh sebuah kenyataan: bukankah masyarakat sendiri yang akan menentukan perlunya sesuatu dalam kehidupan kolektif kita dilestarikan atau justru diubah?

Abdurrahman Wahid
Ketua Dewan Syura DPP PKB
,1:34 PM

Rekonstruksi Keindonesiaan

Zuhairi Misrawi

Di tengah menggunungnya masalah kemiskinan, seperti busung lapar, gagal panen, dan bencana alam, upaya-upaya pemiskinan masih terus berlanjut. Penanganan korupsi berjalan terus, tetapi praktik korupsi juga tak kunjung menyusut. Kasus lumpur gas produksi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, telah mencetak kemiskinan baru.

Dalam banyak kesempatan, pemerintah terlihat sangat optimistis bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Retorika politiknya cepat, tanggap, dan mantap. Namun, dalam praktiknya masih terlihat lamban, compang-camping, bolong, dan bahkan tidak jarang hanya menjadi isapan jempol belaka. Di sinilah, dekonstruksi yang diserukan kalangan muda dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, masyarakat sipil, dan akademisi menemukan momentumnya.

Inti persoalannya terletak pada munculnya dua bentuk fundamentalisme yang sama-sama mengancam keindonesiaan. Pertama, fundamentalisme kapitalisme global, yang makin lama makin memperluas pemiskinan dan ketidakadilan global. Dalam hal ini, pemerintah tidak mempunyai strategi ekonomi dan strategi politik yang jelas dan terukur perihal pencarian solusi atas masalah tersebut. Pemerintah bertekuk lutut pada sabda kapitalisme global. Sumber minyak Blok Cepu akhirnya diserahkan kepada pihak asing untuk dikelola. Hal itu terjadi karena para ekonom dan politisi yang berada di balik kebijakan pemerintah adalah mereka yang beriman dan menganut neoliberalisme.

Kedua, fundamentalisme sektarian berbasis agama. Muncul aksi kekerasan dan nalar pemurnian yang mengharamkan keragaman dan hak-hak sipil-politik serta budaya. Ancaman ini sebenarnya tidak berdiri sendiri. Olivier Roy (2005) memandang adanya keterkaitan antara fundamentalisme kapitalisme global dan fundamentalisme agama. Fundamentalisme kapitalis global telah merajalelakan pemiskinan dan kemiskinan. Karena masifnya pemiskinan, maka kalangan fundamentalis agama melakukan reaksi balik dengan cara menggunakan kekerasan, yang didukung oleh pemahaman keagamaan yang dangkal. Karena globalisasi kemiskinan, muncul globalisasi puritanisme pemahaman keagamaan.

Lima aspek dekonstruksi

Kedua fundamentalisme tersebut merupakan ancaman serius dalam konteks berbangsa dan bernegara. Harus ada langkah- langkah berdimensi dekonstruksi yang memberikan harapan bagi rekonstruksi dan revitalisasi keindonesiaan. Oleh karena itu, setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan untuk membangun kembali keindonesiaan.

Pertama, dekonstruksi kepemimpinan. Kepemimpinan selalu identik dengan ketokohan dan bersifat personal. Dalam imajinasi politik, ada semacam kepercayaan bahwa akan datang "dewa" yang dipersonifikasikan dalam seorang tokoh, yang dimistifikasi dapat menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Nalar seperti ini harus diakui telah gagal digunakan sebagai salah satu paradigma alternatif. Karena itu, diperlukan dekonstruksi atas paradigma kepemimpinan. Bangsa ini harus berpikir perihal perlunya menghadirkan paradigma kepemimpinan kolektif, yaitu kepemimpinan yang diusung berdasarkan visi kebersamaan untuk keindonesiaan. Para pemimpin perlu menanggalkan jaket primordialnya, seperti partai, ormas, agama, dan kesukuannya untuk kepentingan bangsa.

Kedua, dekonstruksi kelembagaan. Harus diakui bahwa aspek kelembagaan masih menjadi titik lemah dalam membangun kehidupan berbangsa yang adil dan sejahtera. Lembaga-lembaga negara tidak membangun demokrasi, tetapi justru meramaikan korupsi. Sejatinya seluruh lembaga negara mampu melayani publik, bukan melayani kepentingan dirinya sendiri. Indikasi korupsi hampir terjadi di seluruh lembaga negara, dari hulu ke hilir. Menurut orang Jawa, biyen yo ono maling, neng siji loro. Saiki maling kok kabeh (Dulu juga ada maling, hanya satu dua. Tapi sekarang kok semuanya menjadi maling). Karena itu, lembaga-lembaga negara dan birokrasi seharusnya menjadi mesin yang berjalan secara efektif dan bersih dari korupsi.

Ketiga, dekonstruksi kultur politik. Dalam ranah politik, kultur yang masih berlaku adalah kultur feodalistik. Elite politik sering kali bertindak sebagaimana raja. Kultur seperti ini tentu saja menyumbat salah satu instrumen terpenting dalam politik, yaitu komunikasi politik. Karena itu, harus dikembangkan kultur politik yang memberikan ruang komunikasi yang lebih leluasa, terutama dalam rangka membangun dan mengembangkan kultur politik yang egaliter, demokratis, dan transparan.

Keempat, dekonstruksi masyarakat sipil. Salah satu kekuatan yang masih dapat diharapkan dalam republik ini adalah masyarakat sipil. Kendatipun negara dan pemerintah rontok, masih ada masyarakat sipil yang mampu membangun solidaritas sosial yang kuat. Karena itu, sudah semestinya masyarakat sipil diselamatkan dari cengkeraman negara. Fenomena keterlibatan elite-elite masyarakat sipil, baik ormas maupun LSM, dalam kancah politik praktis harus mendapat sorotan khusus. Bila fenomena tersebut masih mengemuka, masyarakat sipil lambat laun akan berubah kelamin menjadi agen politik praktis. Ormas keagamaan semestinya meletakkan agama sebagai sumber etika untuk memperkuat masyarakat sipil, bukan untuk memperkuat kekuasaan politik. Karena itu pula, fatwa keagamaan harus mendorong keragaman, kebangsaan, dan kerakyatan, bukan sebaliknya.

Kelima, dekonstruksi mental. Pada umumnya, sebagian besar penghuni republik ini sedang terjangkit penyakit pesimisme. Hal itu muncul karena hilangnya harapan dan tidak adanya indikasi perbaikan dan perubahan. Yang paling kentara adalah hilangnya keteladanan dari para pemimpin bangsa ini. Kendatipun demikian, mental semacam ini menjadi masalah tersendiri karena seolah-olah tidak ada jalan keluar. Padahal selalu ada harapan.

Budaya unggul

Prestasi generasi muda dalam kompetisi di tingkat internasional masih sangat mengagumkan, baik dalam bidang fisika, biologi, matematika, maupun ilmu-ilmu sosial. Bangsa ini mempunyai manusia-manusia unggul yang mampu mengawal proses tersebut. Dalam hal ini, mental dan budaya unggul harus senantiasa ditanamkan kepada seluruh anak bangsa guna membangun mental optimisme.

Semua hal di atas bukanlah hal yang mustahil bila seluruh elemen bangsa, antara lain pemerintah, parlemen, yudikatif, pemimpin agama, tokoh masyarakat, media massa, dan pengusaha, bersama-sama mempunyai tekad bulat untuk menjemput fajar baru keindonesiaan, yang menjunjung tinggi hak-hak warga negara, keadilan, kedamaian, dan keragaman.

Michael Walzer (2004) memberikan pesan yang menarik dalam rangka menjawab problem politik di atas, yaitu diperlukan negosiasi dan perdebatan yang terus-menerus sebagai gairah baru untuk menggapai perubahan dan perbaikan. Dengan cara itulah, wacana dekonstruksi dan revitalisasi keindonesiaan akan menjadi gairah baru dalam konteks kebangsaan kita.

Zuhairi Misrawi
Pemikir Muda Nahdlatul Ulama dan Penggagas Lingkar Muda Indonesia
,1:32 PM

Tanggul Lumpur Jebol Beruntun, Tol Lumpuh

SIDOARJO - Jalan tol Surabaya-Gempol lumpuh total. Itu terjadi setelah tanggul penahan lumpur di sisi jalan bebas hambatan tersebut jebol lagi secara beruntun kemarin. PT Jasa Marga memutuskan untuk menutup total jalan tol hingga perbaikan tanggul di kilometer 39.300 selesai.

Tanggul jebol terjadi sejak Senin pukul 23.00. Dua lapis tanggul di kolam lumpur (pond) 3 dan 4 tidak mampu menampung semburan lumpur yang ditaksir mencapai 50 ribu meter kubik per hari. Akibatnya, tanggul jebol selebar 20 meter dan luberan lumpur panas langsung mengalir deras.

Aliran lumpur tak terbendung, lalu menyerbu ke badan jalan tol hingga sekitar 500 meter ke selatan dari Km 39. Tol pun terendam lumpur sekitar 25 cm sehingga rawan menyebabkan kendaraan selip.

Jalan tol kemudian ditutup total sekitar sembilan jam, sejak Senin pukul 23.30 hingga Selasa sekitar pukul 09.00. Banyak kendaraan yang sempat terjebak di tol terpaksa diarahkan berputar ke Porong. Selama itu pula alat-alat berat berupa ekskavator dan buldoser bekerja keras memperbaiki tanggul.

Puluhan truk tangki juga digerakkan untuk mengencerkan lumpur dengan menyiramkan air. Setelah tanggul bisa diperbaiki dengan pengurukan pasir batu (sirtu), jalan tol mulai dibuka lagi untuk jalur Surabaya-Gempol. Namun, itu hanya untuk truk-truk besar.

Sekitar pukul 14.00, tanggul yang diperbaiki berjam-jam tersebut jebol lagi. Bahkan, jebolan tanggul jauh lebih lebar dan terjadi di beberapa titik. Akibatnya juga jauh lebih parah. Luberan lumpur kian deras dan luas menggenangi jalan tol hingga sekitar 30 cm. Hingga tadi malam, tanggul jebol itu belum bisa diatasi.

Tanggul tersebut jebol karena pond 3 dan 4 di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, juga tidak mampu menampung lumpur. Semua permukaan tanggul telah rata dengan lumpur. Sementara itu, persiapan pembuatan pond 5 di Desa Besuki juga masih terhambat penolakan warga.

Kepala Cabang PT Jasa Marga Cabang Surabaya-Gempol mengatakan tetap berupaya agar jalan tol dari Porong ke Gempol itu secepatnya berfungsi lagi. Jasa Marga juga akan memikirkan kemungkinan lain. Misalnya, pembuatan jembatan layang atau terowongan (tunel) yang bisa dilalui di bawah genangan lumpur. "Kalau tidak bisa, kemungkinan relokasi seperti wacana dulu," kata Bachriansyah.

Kepala PJR Tol Jatim 1 AKP Sartono menyatakan belum bisa memastikan kapan jalan tol berfungsi lagi. Truk-truk pengangkut sirtu dan alat berat juga belum tampak datang ke lokasi tanggul yang jebol. Yang tampak sibuk justru puluhan warga Desa Renokenongo yang mencegati truk sirtu. Mereka menguruk sendiri bahu jalan tol yang terdekat dengan desa. "Tidak ada kepastian kapan jalan tol bisa berfungsi lagi," kata Sartono.

Kepala Balitbang Departemen Pekerjaan Umum Basuki menyatakan, semula terdapat lima rencana untuk mengatasi problem lumpur yang sudah menggenangi tiga kecamatan itu. Yaitu, memperkuat tanggul, membuat kolam penampungan lumpur, membuat water treatment, meninggikan jalan tol untuk memperkuat tanggul, dan memperbaiki drainase di luar wilayah genangan lumpur. "Ternyata tanggul jebol lagi di Km 39 ini," kata Basuki di lokasi kemarin. Semua upaya itu terus berkejaran dengan luberan lumpur yang semakin tinggi.

Sementara itu pengeluaran dana untuk menanggulangi luapan lumpur Lapindo sudah mendekati angka Rp 700 miliar. "Sampai Oktober nanti, perkiraan dana yang keluar sekitar USD 70 juta (sekitar Rp 700 miliar)," kata Kepala Divisi Humas Lapindo Brantas Yuniwati Teryana ketika ditanya wartawan di Pendapa Kabupaten Sidoarjo kemarin.

Yuni menjelaskan, jumlah tersebut merupakan total pengeluaran Lapindo sejak 29 Mei lalu. Rinciannya, untuk ongkos operasional rig, snubbing unit, relief weel, dan alat kerja lainnya. Juga untuk pembayaran kompensasi kepada warga maupun kalangan industri dan instansi yang menjadi korban luapan lumpur.

Data dari Tim Satlak PBP menunjukkan, jumlah dana yang telah dikeluarkan Lapindo untuk membayar sejumlah kompensasi kepada warga korban luapan lumpur Lapindo hingga kemarin telah mencapai Rp 13.620.705.000.

Dana tersebut meliputi pembayaran santunan kepada 11.974 warga yang menjadi korban luapan lumpur sebesar Rp 3.674.400.000, biaya merumahkan pengungsi Rp 7.139.805.000, sewa sawah untuk kolam penampungan lumpur dan ganti rugi tanaman Rp 259.200.000, serta kompensasi pekerja yang kehilangan pekerjaan Rp 2.547.300.000. (sat)
Tuesday, August 29, 2006,1:33 PM

Ekonomi AS Alami Resesi jika Harga Minyak 100 Dollar AS

Washington, Senin - Jika harga minyak mencapai 100 dollar AS per barrel, perekonomian Amerika Serikat akan menghadapi resesi. Kekhawatiran soal kenaikan harga minyak itu mencuat sehubungan dengan rencana pengenaan sanksi ekonomi dan politik pada Iran.

Demikian hasil jajak pendapat yang menjaring opini 195 ekonom AS, yang dipublikasikan Senin (28/8). Survei dilakukan oleh National Association for Business Economics (NABE). "Para anggota NABE percaya jika harga minyak mencapai di atas 100 dollar AS per barrel, kemungkinan besar akan membuat ekonomi AS mengalami resesi. Meski demikian, mereka tidak yakin harga minyak akan mencapai setinggi itu," demikian pernyataan Presiden NABE Stuart Hoffman.

Hari Senin, China secara eksplisit mengingatkan AS dan Eropa soal pengenaan sanksi pada Iran, sebagaimana diberitakan Radio Internasional China. China mengatakan, ekonomi AS dan Eropa akan menghadapi kerusakan jika sanksi dikenakan pada Iran.

Barat sangat tergantung pada minyak Iran dan juga jalur minyak yang melewati Selat Hormuz, yang dikuasai penuh oleh Iran. Tak diragukan lagi, sanksi ekonomi atau militer pada Iran tidak saja akan gagal mengatasi polemik soal nuklir Iran, tetapi malah memperburuknya.

Negara industri punya kepentingan soal harga minyak. Benar kini ada cadangan minyak sebesar 3 miliar barrel di samping tambahan produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang bisa mengimbangi pengurangan produksi minyak Iran sebesar 2,5 juta barrel per hari. Namun, blokade ekspor minyak di Selat Hormuz akan membuat harga minyak naik dari sekitar 70 dollar AS per barrel.

Tak akan berhasil

Radio Internasional China mengatakan, ada kaitan antara tekanan AS pada Iran (termasuk pilihan soal serangan militer) dan pemilihan umum presiden berikut dengan menggunakan isu Iran.

China juga mengatakan tidak ada bukti nyata Iran melakukan pengayaan uranium untuk keperluan senjata nuklir.

Karena itu, kemungkinan besar Iran tak akan bisa dikenai sanksi berat. Lalu, apa yang diperkirakan akan muncul pengenaan sanksi DK PBB pada Iran? Satu kemungkinan sanksinya adalah pelarangan penggunaan bahan baku untuk pembuatan uranium. Juga ada kemungkinan pelarangan perjalanan pada pejabat Iran serta pembekuan kekayaan pejabat Iran.

Soal minyak dan gas, kemungkinan yang akan menjadi sasaran pengenaan sanksi adalah perbaikan pekerjaan di Parsi selatan serta perluasan ladang gas. Penghentian eksplorasi itu akan mengurangi kemungkinan Iran memproduksi minyak. Dengan demikian, ekspor minyak dan gas Iran akan terganggu.

Juga ada kemungkinan pengenaan sanksi berupa pelarangan impor atas derivatif minyak, khususnya gas yang dibutuhkan rakyat Iran. Namun, PBB tak akan bisa menghentikan pengapalan minyak itu. Selalu ada potensi besar untuk penyelundupan.

Kemungkinan pengenaan sanksi pada Iran adalah pencegahan pengembangan ladang minyak dan gas yang baru di Iran. Namun, hal itu hanya akan berdampak pada kenaikan harga minyak. Itulah dilema isu Iran.(REUTERS/AP/AFP/MON)
,1:29 PM

Suvenir CD untuk Para Undangan

Laporan Ariyanti K.R. dan Adrianto dari Kuala Lumpur, Malaysia

KUALA LUMPUR - Resepsi pernikahan Siti Nurhaliza dan Datuk Khalid Mohamad Jiwa tadi malam berlangsung begitu meriah. Ribuan undangan memenuhi Exhibition Hall 1 dan 2 gedung Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC). Tamu-tamu hadir dari berbagai kalangan. Mulai artis hingga keluarga diraja.

Sejak jam menunjukkan pukul 19.00 waktu setempat (18.00 WIB), para undangan mulai berdatangan. Sistem keamanan untuk masuk lokasi sangatlah ketat. Hanya pembawa undangan yang diperbolehkan masuk. Itu pun setelah nama mereka dicocokkan dalam daftar yang tertulis di komputer. Tak pelak, antrean tamu mencapai hampir 400 meter di depan pintu masuk.

Dari Indonesia, terlihat artis Krisdayanti, Hetty Koes Endang, komposer Erwin Gutawa dan istri, serta Teuku Zacky. Dari Malaysia ada Anita Sarawak, Amy Search dan istri, rocker gaek wanita Ella, penyanyi muda Ezylnn, dan Nora.

Tamu-tamu VVIP mendapat pengawalan khusus. Di antaranya Sultan Pahang Sultan Ahmad Shah, Sultan Trengganu Sultan Mohamad Mizan Zainal Abidin, Tuan Yang Utama Gabenor Malaka Tun Mohamad Khalil Yacob, dan Datuk Sri Najib Tun Razak, timpalan (wakil) Perdana Menteri Malaysia. Mereka diberi tempat tepat di hadapan kursi pelaminan yang panjangnya mencapai 40 kaki (sekitar 12 meter).

Siti dan Datuk Khalid terlihat sangat bahagia. Tak ada lagi rona malu-malu untuk tampil bersama di wajah mereka. Datuk Khalid tak canggung memperlihatkan rasa sayangnya kepada sang istri. Lirikan mesra kerap dilemparkannya kepada Siti.

Siti terlihat sangat cantik dengan baju putih berhias kristal rancangan Radzwan Radzin. Rambut sebahunya disanggul modern, dipermanis hiasan tiara yang berkilau sangat indah. Acara yang dibuka dengan bacaaan salawat ini dihadiri tak kurang dari 2.500 undangan.

Bagi mereka yang hadir, ada kantong suvenir istimewa. Di dalamnya terdapat CD berisi lima lagu Siti, satu kantong kecil kue kering, dan satu kotak anyaman warna merah berhias strawberry dengan dua cokelat sebagai isinya. Suvernir terakhir ini merupakan satu simbol perjalanan cinta Siti dan Datuk Khalid. Salah satu penyebab Siti jatuh cinta kepada pengusaha sukses ini adalah karena sering diberi strawberry berbalut cokelat.

Sebagai hadiah tambahan untuk para tamu, Siti membawakan satu lagu khusus ciptaannya sendiri, Cahaya Cinta. "Lagu ini adalah suara hati saya," katanya.

Selain sang mempelai, penyanyi Hetty Koes Endang juga menjadi bintang malam itu. Membawakan lagu When You Tell Me That You Love Me, aplaus panjang dari hadirin mengiringi suara merdu penyanyi senior ini.

Tak kalah memesona adalah penampilan Krisdayanti. Diva pop Indonesia yang populer disebut dengan nama KD ini membawakan satu lagunya yang paling top, Mencintaimu. "Lagu ini mewakili banyak orang. Dan, saya rasa cocok untuk kedua mempelai. Semoga mereka berdua saling mencintai selamanya," katanya saat ditemui Jawa Pos sebelum tampil.

KD datang hanya ditemani sang ibu dan manajernya, Selby. "Anang kalau diajak ke acara nikahan memang agak susah. Tapi, nggak apa-apa. Kami senang kok. Terima kasih Siti ya, semuanya sudah dibayarin," katanya lantas tertawa.

Pilihan lagu KD ternyata tak salah. Datuk Khalid yang terlihat hanya senyum-senyum selama acara ikut bertepuk tangan menyambut suara merdu ibu dua anak ini. Siti pun tak ketinggalan. Dari bibir mungilnya, dia ikut berdendang pelan mengikuti lagu yang dibawakan KD.

"Senang sekali sudah bisa menghibur di sini. Saya belum pilih kado barang. Nanti sama Anang saja saya milihnya. Saya mau belikan dia lingerie saja," gurau KD.

Bukan hanya lagu pop bertema romantis, nuansa hip-hop juga dihadirkan lewat penampilan Joe Flizzow (dari Too Phat) berduet dengan Damien dalam lagu The Most Beautiful Girl yang telah diaransemen ulang.

Bukan hanya suguhan hiburan, hidangan tak henti-henti datang menghampiri meja undangan. Termasuk di meja panjang tempat para tamu VVIP berada. Konsep pesta taman yang ditampilkan Hafez Mohamed dari All Sports Services SDN BHD benar-benar terasa. Puluhan ribu bunga segar memenuhi ruangan. Dominan warna putih dan hijaunya daun begitu terasa. Karena dirayakan di hari kerja, tak sampai acara selesai sejumlah tamu memilih meninggalkan acara yang berakhir tepat pukul 23.30 waktu setempat.

Pemilihan 28 Agustus sebagai acara resepsi ini memang punya arti khusus. Hari ini adalah tanggal ulang tahun ke-38 pernikahan kedua orang tua Siti, Tarudin Ismail dan Siti Salmah Bachik.

Di antara ribuan orang yang hadir, terlihat Mohamad Asyraf, 14, anak ketiga Datuk Khalid dengan mantan istri pertamanya, Tengku Zawyah Tengku Izham. Sayang, Asyraf menolak memberi komentar tentang kehadirannya tersebut.

Sebelum acara resepsi dilangsungkan, kemarin sore Siti menyempatkan diri menyapa ratusan penggemar yang menunggunya sejak siang di pelataran samping KLCC. Dijadwalkan muncul pukul 17.00, 30 menit kemudian barulah Siti muncul. Dari balkon lantai tiga itu, Siti melambaikan tangan kepada para penggemar. Teriakan histeris penggemar pun tak terelakkan. "Siti... Turun, turun," teriak mereka. Sayang, demi alasan keamanan, Siti hanya bisa menyapa dari jauh.

Saat resepsi, fotografer dan kamerawan dilarang masuk lokasi acara. Tapi, sebelumnya Siti sempat menyisihkan waktu bertemu dan berfoto untuk media. Di sesi foto pertama, Siti mengenakan baju rancangan Khoon Hooi. Dia hanya tampil sendiri. Satu jam kemudian, Siti yang sudah mengenakan baju rancangan Radzwan Radzin hadir bersama Datuk Khalid.

Saat itu terlihat jelas betapa besar cinta di antara mereka. Datuk Khalid dengan sabar membantu Siti duduk di pelaminan khusus sesi foto media itu. Tangannya menggandeng Siti yang memang mengalami sedikit kesulitan dengan gaunnya itu.

Usai pemotretan, Siti sempat berkomentar sebentar tentang pernikahannya. Seminggu menjadi istri Datuk Khalid Mohamad Jiwa, Siti mengaku merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Menurut penyanyi nomor satu Malaysia ini, dia telah menemukan satu pria yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Alhamdulillah sekali Siti bersyukur dengan pernikahan ini," katanya. "Karena Siti masih baru dalam rumah tangga, banyak hal yang Siti harus pelajari tentang Datuk Khalid sedalam-dalamnya," tambahnya. (ariyanti kr)
Monday, August 28, 2006,11:13 AM

Mengapa Harus ORI Syariah

Oleh : Muhammad Syafii Antonio

Pintu investasi baru telah dibuka pemerintah Juli lalu. Instrumen bernama obligasi ritel Indonesia (ORI) pun menjadi harapan pemerintah untuk menambal defisit APBN. Tentu saja, ujungnya diproyeksikan mampu melepaskan ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri.

Namun, jumlah indikatif ORI yang ditawarkan belum cukup untuk mengatasi hal itu. Dari denominasi Rp 1 juta per kupon dan minimal pembelian Rp 5 juta, pemerintah mengambil garis batas hanya Rp 2 triliun, atau sebanyak dua juta unit.

Padahal, kalau kita melihat defisit APBN-P 2006 dari asumsi harga minyak saja sudah mencapai puluhan triliun. Kini harga minyak berada di kisaran 75 dolar AS per barel--bahkan pada saat konflik Israel-Lebanon mulai memanas, sempat di kisaran 80 dolar AS per barel--sementara asumsi harga minyak di APBN-P sebesar 40-45 dolar AS per barel. Anggap saja pada asumsi tertinggi 45 dolar AS per barel, berarti defisit 30 dolar AS per barel.

Kebutuhan minyak mentah Indonesia diperkirakan mencapai 375.057.000 barel. Kebutuhan itu bisa ditutupi dengan industri dalam negeri sebanyak 265.358.000 barel. Sisanya, sebesar 109.699.000 barel, harus dipenuhi dengan impor. Dari melesetnya asumsi harga minyak saja defisit APBN sudah mencapai sekitar 3,3 miliar dolar AS, atau Rp 30,6 triliun (kurs Rp 9.300 per dolar AS).

Jumlah sebesar itu semakin membengkak bila ditambah berbagai kebutuhan mendesak, seperti bencana, yang belakangan banyak menerpa Indonesia. Wajarlah bila akhir Juni lalu pemerintah mengumumkan bahwa defisit APBN mencapai Rp 42,4 triliun.

Sedangkan, beban utang luar negeri (ULN) Indonesia, seperti yang dilaporkan BI, pada kuartal pertama 2006 saja mencapai 131,795 miliar dolar AS. Jumlah itu terdiri dari ULN pemerintah (83,583 miliar dolar AS), ULN bank (5,393 miliar dolar AS), ULN non bank (1,633 miliar dolar AS), dan ULN non lembaga keuangan (41,186 miliar dolar AS).

Dari ULN sebesar itu, pada kuartal pertama 2006 Indonesia berkewajiban membayar pokok dan bunga ULN sebesar 6,775 miliar dolar AS. Seandainya beban rata-rata per kuartal sebesar kuartal pertama saja, dalam setahun Indonesia berkewajiban membayar 27,1 miliar dolar AS. Padahal APBN-P 2006 hanya Rp 467,7 triliun (Sumber: Tempo), berarti setengahnya untuk bayar utang.

Sebagai salah satu jalan untuk menutup defisit APBN, terobosan ORI perlu diacungi jempol. Melihat sambutan positif dari pasar, tampaknya batasan indikatif sebesar Rp 2 triliun perlu diperbesar. Tak kalah pentingnya, terobosan lain, seperti penerbitan ORI Syariah (ORIS), perlu dilakukan.

Pembatasan indikatif bisa jadi disebabkan karena kekhawatiran migrasi besar-besaran dana dari deposito. Pasalnya, bunga deposito yang hanya 6 sampai 12 persen memungkinkan orang untuk lebih melirik ORI.

Sejatinya, bila kita menghitung dengan lebih rigid, return deposito tak kalah dengan ORI. Setelah dipotong pajak penghasilan dan SPT, penerimaan ORI hanya sekitar 7,8 persen. Belum lagi, dari sisi daya serap ORI yang hanya Rp 2 triliun, belum berarti terhadap dana pihak ketiga perbankan yang hingga Maret mencapai Rp 1.100 triliun. Pada titik inilah ORI belum menjadi ancaman bagi deposito.

Satu langkah lagi yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi ketergantungan ke luar negeri adalah dengan meluncurkan varian syariah ORI atau sebut saja ORIS. Dengan berbasis syariah, ORIS akan lebih menarik buat nasabah yang memiliki preferensi spiritual syariah, dengan semakin besar bekal pembangunan tentu saja akan mendorong sektor riil, dan pada gilirannya akan mengurangi ketergantungan nasional kepada pinjaman luar negri. Pilihan skim di obligasi berbasis syariah pun variatif, tergantung kesesuaian dan kebutuhan pemerintah. ORIS juga bisa dikembangkan atas berbagai akad syariah baik dalam bentuk mudharabah, musyarakah maupun ijarah atau bahkan murabahah dan istishna atau kombinasi dari semuanya.

Produk sejenis ORIS pernah ditawarkan pemerintah Pakistan dalam bentuk Mudharabah Contract Participation. Di Indonesia khusus untuk produk ini MUI telah memberikan pedoman khusus bagi penerbitan obligasi syariah mudharabah yang tertuang dalam Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Tak hanya itu, skim mudharabah pun memiliki beberapa keunggulan.

Pertama, paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka panjang. Kedua, dapat digunakan untuk pendanaan umum, seperti pendanaan modal kerja atau capital expenditure. Ketiga, mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik.

Keunggulan pertama dari skim ini memungkinkan ORIS diterbitkan dengan jatuh tempo lima hingga sepuluh tahun. Ini lebih memudahkan pemerintah mengalokasikan dana, dan memberikan kesempatan pemerintah menyusun skala prioritas dalam pendanaan.

Keunggulan kedua di atas akan lebih mendorong kinerja sektor riil. Dana yang terkumpul bisa dialokasikan pada modal kerja pembangunan infrastruktur atau penambahan modal sebuah BUMN. Sementara, keunggulan ketiga dari skim ini, akan membuat pemerintah lebih leluasa dalam menempatkan dananya.

Sifat ORIS yang pro sektor riil ini akan memberikan multiple profit bagi pemerintah. ORIS pun tidak hanya menambal APBN dan mengurangi ketergantungan pada ULN, tapi juga mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dengan tumbuhnya sektor riil diharapkan juga bisa menyerap tenaga kerja. Bandingkan dengan ORI yang kini mulai dipertanyakan komitmennya terhadap sektor riil.

Dari sisi nasabah ORIS bisa lebih menguntungkan. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan. Acuan profit ini bisa diambil dari operating profit, EBIT, atau EBITDA dari perusahaan atau proyek penerima modal kerja dari ORIS.

Bisa juga, bila pemerintah sebagai mudharib, maka keuntungan bisa dilihat dari pertumbuhan PDB. Pada titik inilah pemerintah bisa dianalogikan dengan perusahaan: PT Republik Indonesia atau Indonesia incorporated.

Meski nisbah ditentukan diawal, besarnya profit tergantung pada kinerja PT Republik Indonesia atau perusahaan lain yang ditunjuk pemerintah. Kalau ORI memberikan keuntungan sebesar 12,05 persen, maka expected return ORIS bisa mencapai 15 hingga 17 persen.

ORIS dapat diterbitkan dengan denominasi Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Sedangkan demi memperbesar sumbangsih terhadap pengurangan ULN, jumlah indikatif ORIS bisa antara Rp 100 triliun dan Rp 200 triliun.

Pada saat yang sama juga pemerintah perlu menyusun mekanisme market maker. Belajar dari Obligasi Syariah Mudharabah Indosat, investor kebanyakan buy and hold dalam waktu jangka panjang.

Kondisi itu di satu sisi cukup baik, karena meminimalisasi munculnya spekulasi (gharar) akibat memburu capital gain. Namun, di sisi lain kebutuhan mendesak investor akan likuiditas dana pun perlu diakomodasi. Untuk itulah peran market maker demi menjaga likuiditas di pasar sekunder pun dibutuhkan.

Perbandingan ORI dengan ORIS
ORI
Surat Utang Negara
Tujuan: Kecilnya jumlah indikatif belum banyak membantu mengurangi
ketergantungan utang luar negeri
Bunga tetap 12,05 persen
Akad utang-piutang
Multipurpose use
Denominasi Rp 1 juta, minimal Rp 5 juta
Jangka waktu 3 tahun
Jumlah Rp 2 triliun
Keberpihakan terhadap sektor riil belum jelas

ORIS
Surat partisipasi membiayai proyek negara
Tujuan: Mengurangi ketergantungan pinjaman luar negeri berbunga tetap Mengajak masyarakat berpartisipasi membiayai pembangunan bangsa Bagi hasil industri, nisbah tergantung pertumbuhan dan inflasi. Expected return bisa lebih besar atau disesuaikan dengan pertumbuhan riil ekonomi
Bagi hasil Mudharabah
Multipurpose use
Denominasi Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta
Selling agent seluruh cabang Lembaga Keuangan Syariah Sesuai kebutuhan
Jumlah Rp 100 hingga 200 triliun
Lebih dekat dengan sektor riil
,11:12 AM

Mahkamah Mafia Peradilan

Denny Indrayana

Makin maraklah praktik mafia peradilan. Matilah sudah agenda reformasi peradilan. Lonceng kematian itu berdentang kencang dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Komisi Yudisial atau UU KY.

Tiga puluh satu hakim agung, sebagai pemohon pengujian, bersama para kuasa hukumnya, OC Kaligis, Juan Felix Tampubolon, dan Indriyanto Seno Adji, sedang tersenyum lebar karena hampir semua permohonan mereka dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, untuk fungsi pengawasan, MK memutuskan "Segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid)".

Inilah untuk kesekian kalinya MK menggunakan dalih ketidakpastian hukum atau kepastian hukum untuk membatalkan suatu peraturan perundangan. Sayangnya, penerapan dalih itu tidak jarang bertabrakan dengan prinsip kemanfaatan hukum dan keadilan hukum.

Dalam putusan sebelumnya, MK membatalkan ketentuan perbuatan melawan hukum materiil dalam penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Korupsi karena tidak sesuai dengan kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945. Pembatalan konsep melawan hukum materiil tersebut—yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian, dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan—memangkas semangat progresivitas yang amat bermanfaat untuk melawan korupsi sebagai kejahatan luar biasa dengan cara luar biasa pula.

Setali tiga uang, dalam putusan UU KY, MK membatalkan segala pasal pengawasan dengan alasan tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pertanyaannya, apakah ketidakjelasan tersebut sedemikian parah sehingga semua fungsi pengawasan dalam UU KY wajib dinyatakan bertentangan dengan konstitusi? Mengapa pilihannya bukanlah membiarkan pasal-pasal pengawasan itu dengan menekankan KY mengatur hal-hal yang belum jelas dalam peraturan KY. Bukankah dengan demikian fungsi pengawasan KY masih dapat dilakukan, suatu fungsi yang teramat penting untuk memerangi praktik mafia peradilan yang marak di negeri ini.

Korupsi pengadilan

Dengan membatalkan segala pasal pengawasan dalam UU KY, tentu saja MK telah membuat senyum lebar semua pelaku korupsi peradilan. Mulai putusan itu dibacakan hingga disahkannya revisi UU KY, Komisi Yudisial tidak lagi bisa mengawasi perilaku hakim. Suatu fungsi konstitusional yang dijamin oleh konstitusi. Itulah ironisnya, MK sebagai pengawal konstitusi justru telah menghapus pasal-pasal pengawasan KY yang sebenarnya justru diberikan oleh konstitusi.

Putusan UU KY jelas mencerminkan hakim konstitusi terjebak conflict of interest. Mereka tidak mau dimasukkan sebagai obyek pengawasan KY. Salah satu alasannya adalah karena MK berwenang memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang KY mungkin menjadi salah satu pihaknya. Dengan demikian, jikalau hakim konstitusi diawasi KY, independensi mereka dalam memutus perkara sengketa kewenangan demikian menjadi terganggu.

Argumentasi ini menunjukkan bahwa MK mempunyai standar ganda tentang makna independensi mereka. Dalam banyak kesempatan, MK berargumen bahwa independensi hakim konstitusi jangan diragukan, bahkan untuk memutus kasus-kasus yang melibatkan Presiden dan DPR. Meskipun enam hakim konstitusi diusulkan oleh Presiden dan DPR, mereka mengaku tetap bisa mandiri. Lalu kenapa kemandirian yang sama tidak bisa dilakukan berhadapan dengan fungsi pengawasan KY?

Selanjutnya, argumen putusan bahwa KY hanya organ penunjang, sedangkan MA serta MK adalah lembaga negara utama, adalah argumen yang debatable. Konstitusi sendiri tidak secara tegas mengatur demikian. Yang jelas, ketiga lembaga secara tegas diatur dalam bab yang sama tentang kekuasaan kehakiman. Semestinya, dengan kewenangan "menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim", tidaklah bisa diargumentasikan KY hanya penunjang, dan MA serta MK lebih utama. Untuk melaksanakan pengawasan preventif dan korektif atas perilaku hakim, KY sewajibnya berfungsi sejajar dengan lembaga yang akan diawasinya. Adalah mimpi untuk mengargumentasikan suatu lembaga yang lebih inferior dapat mengawasi lembaga yang lebih superior.

Ketinggalan zaman

Terlebih argumen bahwa konsep checks and balances hanya berlaku di antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah argumen lama ala Montesquieu yang sudah mulai ketinggalan zaman. Bruce Ackerman (Harvard Law Review, 2000) menyatakan, di Amerika Serikat sistem checks and balances dilakukan tidak lagi di antara tiga cabang kekuasaan, tetapi lima: Presiden, DPR, Senat, MA, dan Komisi-komisi Independen. Pendapat Ackerman tersebut sudah menjadi tren ketatanegaraan modern, dengan kehadiran komisi-komisi independen diberi tempat di dalam konstitusi sebagai constitutional organ.

Akhirnya, pilihan membatalkan semua pasal pengawasan dalam UU KY adalah pilihan yang masih debatable secara ilmu hukum konstitusi. Justru yang sudah pasti, pilihan itu menumbuhsuburkan praktik mafia peradilan. Suatu pilihan yang bertentangan dengan moralitas-konstitusionalitas (constitutional morality), yang bermakna setiap konstitusi harus diartikan sesuai landasan moralitas. Sewajibnyalah setiap pilihan interpretasi hukum tidak boleh menabrak fondasi moralitas antimafia peradilan.

Ironisnya, pilihan hukum yang dijatuhkan MK nyata-nyata makin menumbuhsuburkan praktik korupsi peradilan. Lilin MK yang sempat menerangi kelam peradilan agaknya berangsur padam dan mulai tergantikan munculnya bebayang hitam Mahkamah Mafia Peradilan.

Denny Indrayana
Dosen Hukum Tata Negara, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Direktur Indonesian Court Monitoring
,11:11 AM

Membendung Perda Syariat

Oleh M. Hasibullah Satrawi

Perda syariat kembali menjadi isu panas yang diperbincangkan banyak pihak. Menurut sebagian masyarakat, perda syariat adalah jawaban bagi banyak masalah yang melilit bangsa ini, terutama menyangkut dekadensi moral. Sedangkan sebagian lain berpandangan berbeda. Bagi mereka, perda syariat adalah masalah tersendiri. Munculnya perda syariat justru menambah tumpukan masalah yang ada.

Tulisan ini mencoba mengurai beberapa persoalan mendasar terkait pro kontra perda syariat, terutama menyangkut pemahaman tentang syariat. Secara kebahasaan syariat berarti jalan. Di dalam Alquran terdapat tiga ayat yang bermakna jalan (Qs. 45: 18, 5: 48, dan 42: 13). Syariat Islam berarti jalannya umat Islam. Syariat Kristen berarti jalannya umat Kristen. Begitu pula dengan syariat Yahudi. Lebih jauh Alquran menyebutkan, masing-masing agama mempunyai syariat tersendiri (Qs. 5: 48).

Umat beragama dianjurkan mengikuti jalannya (syariat) masing-masing. Para ulama kemudian memaknai jalan dengan ajaran. Jalan Islam berarti ajaran Islam. Mengikuti jalan Islam berarti mengamalkan ajarannya.

Pada tahap ini harus dibedakan antara syariat, pemahaman terhadap syariat, dan penerapan terhadap pemahaman syariat. Dalam pemikiran Islam, pemahaman terhadap syariat disebut dengan istilah fikih.

Adapun penerapan terhadap fikih yang tak lain adalah pandangan relatif manusia terhadap ajaran syariat yang absolut disebut dengan istilah tathbîqu ahkâmil fiqh (penerapan terhadap hukum-hukum fikih), bukan tathbîqu as-syarî’ah (penerapan terhadap syariat). Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara syariat, fikih, dan tathbîqu ahkâmil fiqh. Syariat murni ilâhî (dari Tuhan), sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh bersifat manusiawi.

Syariat murni dari Tuhan, sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh seutuhnya dari manusia dan bersifat relatif. Syariat tidak pernah salah. Sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh sering salah kaprah, atau bahkan salah sama sekali.

Pada tahap berikutnya, fikih menjadi mapan dan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu ilmu fikih. Sebagai kreasi manusia, fikih yang bertujuan memahami syariat sarat dengan perbedaan dan pergulatan. Berbeda dengan syariat yang tunggal (dalam satu agama), fikih terbagi ke dalam banyak aliran dan mazhab. Ada mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, Dzahiriyah, dan masih banyak aliran lain.

Bahkan, tak berlebihan bila dikatakan bahwa setiap muslim mempunyai fikihnya sendiri terhadap ajaran syariat. Karena itu, perbedaan, pluralitas pemahaman, atau bahkan debat terbuka, adalah hal lumrah dalam dunia fikih.

Di sini jargon penerapan syariat Islam atau bahkan perda syariat tampak jelas "belangnya". Sebab, yang mereka maksud dengan penerapan syariat Islam sesungguhnya adalah penerapan terhadap keputusan atau hukum-hukum fikih (tathbîqu ahkâmil fiqh) yang tak lain hasil ijtihad imam, atau mazhab tertentu dalam permasalahan tertentu. Bila demikian, keputusan atau hukum fikih mana yang hendak diterapkan? Dengan kata lain, pandangan fikih mazhab mana dan pandangan fikih imam siapa yang hendak dijadikan perda?

Pertanyaan ini selamanya akan menggantung. Sebab, para pendukung jargon penerapan syariat Islam atau perda syariat tak memperhatikan perbedaan syariat, fikih, dan penerapan terhadap keputusan fikih. Sebagian (mungkin) memahami perbedaan ini, namun karena alasan dan kepentingan tertentu, mereka memilih diam, bahkan mendukung penuh jargon penerapan syariat Islam.

Karena itu, menurut hemat saya, salah satu yang harus dilakukan untuk membendung perda syariat adalah mengurai secara lebih mendalam dan terinci ajaran-ajaran syariat dan mengenal lebih dekat dunia fikih yang sarat perbedaan dan pergulatan itu.

Diakui atau tidak, belakangan tradisi fikih semakin melemah dalam dunia Islam. Akibatnya, acap kita merasa silau dengan keragaman, perbedaan, dan pergulatan pemikiran. Sebaliknya, keragaman dan perbedaan sering diakhiri dengan cara-cara kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan maslahat kebangsaan.

Adalah ironis ketika ilmu fikih sebagai potret pemahaman dinamis dan progresif terhadap syariat Islam menjadi stagnan, atau bahkan terancam punah. Fikih yang digunakan saat ini adalah fikih di masa lalu. Padahal, kebutuhan dan kemaslahatan yang ada saat ini jauh berbeda dengan kebutuhan dan kemaslahatan di masa lalu. Masa sekarang membutuhkan "fikih kita", bukan "fikih mereka".

"Fikih kita" bisa dirumuskan dengan merekonstruksi "fikih mereka". Dengan kata lain, harus ada pembaruan paradigmatik dalam fikih. Setidaknya dalam dua hal, pertama, pembaruan ushul fikih, atau dasar-dasar fikih. Dalam dunia fikih, ushul fikih bagaikan "pola pikir" bagi seseorang. Gerak-gerik fikih sangat ditentukan oleh "pola pikir" ini.

Bila pola pikirnya tekstualis, produk fikihnya pun kurang lebih sama. Dan, itulah yang terjadi dengan fikih Islam selama ini. Ushul fikih tampak sangat tekstualis, bahkan simplistis.

Salah satu kaidah ushul fikih, contohnya, menyebutkan, setiap perintah berarti wajib (kullu amrin yaqtadhî al-wujûb). Sedangkan setiap larangan berarti haram (kullu amrin yaqtadhî at-tahrîm).

Padahal, secara logika, secara kebiasaan, atau bahkan secara agama, perintah tak selamanya bermakna wajib, sebagaimana larangan tak selamanya bermakna haram. Karena perintah dan larangan sering dimaksudkan sebagai seruan moral (al-irsyâd, an-nadb, al-ibâhah, dll.).

Bahkan, kalau kita mengacu kepada Alquran, ayat-ayat yang secara spesifik menghararmkan dan menghalalkan sangatlah sedikit -bila dibandingkan dengan ayat-ayat moral.

Sebaliknya, ayat-ayat moral sangatlah banyak. Begitu juga hadis Nabi. Karena itu, teks-teks yang bersifat anjuran moral seharusnya menjadi batasan dan patokan bagi teks-teks penghalalan dan pengharaman. Bukan sebaliknya.

M Hasibullah Satrawi, sarjana hukum Islam dari Al-Azhar Kairo, Mesir. saat ini peneliti di P3M Jakarta.
,11:06 AM

WTO di Ambang Mati Suri

Tak Ada Titik Temu Selama Pemain Utama Pertahankan Kepentingannya

Kuala Lumpur, Jumat - Pembicaraan liberalisasi di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO terancam mati suri, setidaknya selama beberapa tahun ke depan. Penentuan apakah WTO mati suri atau tidak, tergantung pada diskusi selama 6-8 bulan ke depan. Jika gagal juga, WTO hampir bisa dipastikan akan mati suri.

Peringatan itu disampaikan oleh Ketua Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative) Susan Schwab di Kuala Lumpur, Jumat (25/8).

Schwab berada di Kuala Lumpur dalam rangka penandatanganan perjanjian AS-ASEAN bernama Pengaturan Kerangka Perdagangan dan Investasi (Trade and Investment Framework Arrangement). Isinya memberi akses pada produk ASEAN memasuki pasar AS dan ASEAN diminta melindungi produk AS dari pembajakan hak cipta.

Terhentinya perundingan di WTO menghentikan pula penciptaan sistem perdagangan. Hal itu membuat Agenda Pembangunan Doha (kadang disebut sebagai Putaran Doha) tertunda. Hal itu jelas merugikan negara berkembang karena Putaran Doha, yang dimulai di Doha, ibu kota Qatar, pada tahun 2001, bertujuan memberi akses lebih besar pada produk negara berkembang memasuki pasar negara maju.

Hal itu terkait dengan misi Millennium Development Goals (MDGs/Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium) yang dicanangkan PBB, yakni pemberantasan kemiskinan dengan mempermudah akses bagi produk pertanian negara berkembang.

Secara keseluruhan, mandeknya WTO akan mengganggu kelancaran perdagangan dunia, yang pada tahun 2004 lalu mencapai lebih kurang 8,9 triliun dollar AS. Dari jumlah itu, nilai perdagangan sektor pertanian mencapai 783 miliar dollar AS, tergolong kecil (kurang dari 10 persen), tetapi menjadi isu berat bagi Uni Eropa (UE).

"Kami akan mencoba dengan sangat, sangat keras mulai sekarang hingga 6-8 bulan untuk melihat apakah kami melakukan sebuah terobosan. Jika tidak bisa melakukan terobosan..., diperlukan beberapa tahun lagi untuk mendapatkan sebuah terobosan baru," kata Schwab.

Hampir mustahil

Perundingan WTO ditunda bulan lalu karena ada kebuntuan soal pengurangan hambatan perdagangan atas produk pertanian, dalam bentuk tarif dan nontarif. India dan Brasil menolak lanjutan pembahasan WTO jika negara maju masih menutup diri soal produk pertanian.

AS sudah bersedia mengurangi subsidi pertanian serta mempermudah akses bagi negara berkembang. Sebaliknya, UE masih sulit mengurangi subsidi pertanian. UE juga menuduh AS masih memberi subsidi terselubung pada pertanian, antara lain dengan mempertahankan Public Law 480 (PL 480), di mana AS bisa merangsang ekspor komoditas pertanian dengan memberi kredit murah kepada negara pembeli komoditas pertanian AS.

Tak ada titik balik

Schwab juga mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Perdagangan Malaysia Rafidah Aziz. Dalam pertemuan itu keduanya mengatakan tak ada jalan menuju pembahasan kembali Putaran Doha jika tidak ada tawaran yang berarti dari pemain utama (AS, UE, dan India serta Brasil sebagai wakil tidak resmi dari negara berkembang).

Schwab mengatakan, ia akan menghadiri pertemuan Kelompok Cairns—kumpulan 18 negara pengekspor utama komoditas pertanian—bulan depan di Australia. Pada pertemuan itu, Menteri Perdagangan Australia Mark Vaile akan mengusulkan penghidupan kembali Putaran Doha.

Namun, dalam pertemuan Cairns itu, Ketua Komisi Perdagangan UE Peter Mandelson tak akan hadir. Mandelson adalah pengetok palu dari UE soal perdagangan. Jika terobosan baru tidak dihasilkan, hal itu berdampak pada AS.

Di bawah pemerintahan Presiden AS George W Bush, ada sistem yang memungkinkan sebuah kesepakatan perdagangan disetujui Kongres AS secara cepat. Bush berkuasa sampai 2008. Jika hingga pertengahan 2007 tak ada terobosan, kemudahan sistem itu otomatis akan hilang dan khusus untuk AS, diperlukan waktu ekstra lagi soal penciptaan sistem perdagangan global. (AFP/AP/REUTERS/MON)
Friday, August 25, 2006,11:33 AM

Soeharto dan Soekarno dalam Tap MPR/S

M. Fajrul Falaakh

Status hukum mantan Presiden Soeharto diperbincangkan kembali karena pemeriksaan terhadapnya mengalami kemacetan maupun karena permintaan agar pemerintah mengambil langkah untuk itu. Perbincangan juga dikaitkan dengan kejelasan (atau ketakjelasan) produk MPR selama ini (Kompas, 5/12/2005).

Pemeriksaan terhadap Soeharto memang dikaitkan dengan Ketetapan MPR No XI/1998 yang mengharuskan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara tegas, termasuk kepada mantan Presiden Soeharto.
Partai Golkar menggulirkan pendapat bahwa Ketetapan MPR tersebut bisa dianggap tak berlaku lagi karena sudah ada undang-undang yang dinilai merujuk perintah Ketetapan MPR tersebut. Pengacara Soeharto menilai bahwa Ketetapan MPR tersebut terlalu berlebihan karena landasan hukumnya tidak ada dan terlalu politis. Pemerintah bahkan diminta untuk mengambil langkah politis tak jelas apa maksudnya. Namun menarik bahwa permintaan ini juga dikaitkan dengan sikap Soeharto terhadap (almarhum) mantan Presiden Soekarno.

Stigma dua presiden

Ketetapan MPR No XI/1998 (tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN) dihasilkan dalam Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Waktu itu BJ Habibie membutuhkan legitimasi politik dalam melanjutkan pemerintahan, 21 Mei 1998, yang ditinggalkan oleh Presiden Soeharto setelah desakan gerakan reformasi tak terbendung. SI MPR 1998 menambah legitimasi politik Habibie, sekaligus menjadikan pemerintahannya bersifat sementara. Menurut legitimasi konstitusional Habibie dapat menjabat hingga 2003, namun ia harus berkompromi untuk mempercepat pemilu pada tahun 1999 (Ketetapan MPR No XIV/1998).

Kompromi tak terelakkan karena muncul penolakan yang kuat terhadap SI MPR 1998. Para penentang SI MPR 1998 menginginkan Habibie turun jabatan, untuk digantikan oleh presidium pemerintahan transisi yang terutama akan diisi oleh kelompok Ciganjur empat (Megawati Soekarnoputri, Hamengku Buwono X, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid). Langkah terakhir tak terwujud karena tercapai kompromi di atas. Selain itu, Ketetapan MPR No XI/1998 mencantumkan nama mantan Presiden Soeharto dalam target pemberantasan KKN.

Nasib Soeharto tampak serupa dengan Soekarno. Regalia Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dikikis, pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup dibatalkan dengan permohonan maaf (Ketetapan MPRS No XVIII/1966), dan akan didesak untuk didampingi Wakil Presiden (Ketetapan MPRS No XV/1966). Ketika kekuasaan Bung Karno dilucuti dan Pengemban Supersemar Letjen Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden, persoalan menjadi lain.

Pasal 6 Ketetapan MPRS No XXXIII/1967 (Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno) menyatakan bahwa ... penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr Ir Soekarno dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden. Karena tak ada proses peradilan sampai ia meninggal, Soekarno tak memperoleh amnesti maupun abolisi. Keluarga Soekarno pun menginginkan pencabutan Ketetapan MPRS No XXXIII/1967, tetapi gagal meraihnya dalam Sidang MPR 2003. Penulis berpendapat bahwa Ketetapan MPRS No XXXIII/1967 bersifat einmalig dalam hal pencabutan kekuasaan presiden dan Pasal 6-nya tak berlaku karena Soekarno telah meninggal (Newsletter Komisi Hukum Nasional, edisi Juli-Agustus 2003). Tampak bahwa Soekarno dan Soeharto menyandang stigma historikal yang dilekatkan oleh para politisi di MPR/S.

Amnesti dan abolisi

Ketetapan MPR No XI/1998 merupakan haluan negara untuk menanggapi tuntutan reformasi untuk menyelenggarakan secara bersih. Pasal 4 pun menegaskan bahwa ”Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.” Kini proses hukum terhadap Soeharto terkatung-katung antara Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, kemudian berpindah ke tangan profesi kedokteran karena digantungkan kepada (perawatan) kesehatan Soeharto. Dalam konteks ini dapat dimengerti bahwa pemerintah mendukung perawatan kesehatan Soeharto.

Penyelesaian perkara Soeharto dapat ditangani secara politik oleh presiden, yaitu melalui pemberian amnesti dengan persetujuan DPR atau pemberian abolisi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 UUD 1945). Kalau tanpa keputusan pengadilan, maka pemberian amnesti tampak menegaskan Soeharto. Di sisi lain, abolisi berarti mengambil wewenang Kejaksaan Agung untuk menghentikan pemeriksaan (penerbitan SP3) dan membutuhkan pendapat MA yang kredibilitasnya sedang merosot tajam. Cara politis lainnya adalah mempersoalkan Ketetapan MPR No XI/1998. Ketika ditinjau kembali bersama produk MPR/S 1960-2002 (Ketetapan MPR No I/2003), Ketetapan MPR No XI/1998 tidak dibatalkan dan masih berlaku bersama Ketetapan MPR No VIII/2001 tentang Percepatan Pemberantasan KKN.

Dalam kajian yang disampaikan kepada (Badan Pekerja) MPR tahun 2003, penulis dan teman- teman berpendapat bahwa ketetapan ini tidak berlaku lagi karena kebijakan umum untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan memberantas KKN dituangkan dalam UU No 28/1999 (Laporan Kajian tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPR(S) 1960-2002). Namun, Pasal 4 ketetapan tersebut tetap berlaku sebagai arah kebijakan dalam memperlakukan Soeharto, keluarga, dan kroninya (Newsletter Komisi Hukum Nasional, edisi Juli-Agustus 2003). Sejarah para pemimpin negeri ini, dengan nama besar dan segala kelemahannya, adalah bagian dari sejarah bangsa.
,11:32 AM

"Impeachment" Hakim, Muskilkah?

Hendri Kuok

Dalam dua ratus tahun sejarah Amerika Serikat, tercatat 11 hakim Pengadilan Federal dan satu hakim Mahkamah Agung telah dikenai dakwaan impeachment. Dari jumlah tersebut, tujuh hakim telah dinyatakan bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.

Kasus impeachment terakhir yang memberhentikan Hakim Walter L Nixon pada tahun 1989 bahkan sempat berlangsung berlarut-larut. Hakim Nixon yang sudah masuk penjara menolak untuk mundur dari jabatannya dan mengajukan perlawanan ke Mahkamah Agung dengan alasan impeachment terhadap dirinya inkonstitusional.

Perlawanan Hakim Nixon sendiri akhirnya ditolak oleh MA AS, dan dia harus menghabiskan waktunya di penjara. Peristiwa ini bisa memberi pelajaran bagi kita bahwa pemberhentian hakim bukanlah sebuah hal yang gampang untuk dilakukan kendati sudah ada aturan yang jelas tentang hal itu. Pelajaran ini penting bagi kita untuk mencermati perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY) yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 23 Agustus 2006.

Cabang kekuasaan keempat?

Kelahiran KY dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tidak bisa dilepaskan dari keprihatinan akan muramnya dunia peradilan di Indonesia dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Hal ini kemudian tercermin lebih lanjut dalam pembentukan UU Nomor 22 Tahun 2004, di mana KY diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, termasuk pemberhentian hakim. Bisa terbaca besarnya harapan pembentuk undang-undang dan masyarakat agar KY bisa membersihkan dunia peradilan Indonesia dari anasir-anasir korup.

Harapan tersebut tentu mulia adanya, tetapi dalam konteks struktur ketatanegaraan Indonesia harapan itu diterjemahkan secara kurang tepat. Pertama, jikalau sanksi pemberhentian terhadap hakim dimaknai sama dengan proses impeachment hakim federal di AS, hal itu tidak bisa diterapkan. Karena, menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 7A, hanya Presiden dan Wakil Presiden saja yang bisa diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usulan DPR. Hal ini berbeda dengan Konstitusi AS yang mengatur bahwa hakim federal juga termasuk pejabat publik yang bisa di-impeach.

Kedua, konsep impeachment terhadap hakim adalah salah satu terjemahan dari konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers) di mana antarcabang kekuasaan terdapat sebuah proses pengawasan dan penyeimbangan (check and balances). Kalaupun diasumsikan KY diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dalam kerangka check and balances, maka pemikiran tersebut juga mengandung masalah, karena tugas tersebut hanya bisa dijalankan oleh badan Legislatif dan Eksekutif terhadap Yudikatif. Jikalau KY adalah organ pendukung MA tentu tidak tepat jika dia menjalankan check and balances terhadap MA sebagai organ utamanya, sedangkan di sisi lain KY juga tidak diposisikan secara jelas sebagai organ pendukung pemerintah ataupun DPR. Ataukah KY sudah menjelma menjadi cabang kekuasaan keempat dalam struktur ketatanegaraan kita?

Dalam konteks inilah putusan MK pada tanggal 23 Agustus 2006 harus dipahami, bahwa harapan kita untuk melihat seorang hakim biasa atau hakim agung diberhentikan ala impeachment oleh KY adalah tidak mungkin dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. MK telah keluar dengan keputusan yang tepat bahwa hubungan MA serta KY harus dipahami dalam konteks check and balances, dan dalam hal ini hubungan check and balances tidak bisa berlangsung antara MA dan KY.

Bisa dipahami bahwa putusan MK tidak disambut gembira oleh banyak pihak yang ingin melihat anasir-anasir korup di MA bisa dibersihkan oleh KY. Kalaupun dalam hal ini MK dianggap tidak peka terhadap aspirasi masyarakat, kesalahan terbesar tidak bisa ditimpakan kepada MK. Kesalahan terbesar haruslah dialamatkan kepada para politisi di MPR yang dulu melakukan perubahan atas UUD 1945, karena mereka telah memasukkan sebuah lembaga baru bernama KY tanpa memikirkan secara mendalam tentang posisi dan peran KY dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Lebih lanjut lagi para legislator di DPR yang melahirkan UU KY juga harus bertanggung jawab karena telah merumuskan kewenangan KY yang tidak tepat dalam konteks check and balances.

MK juga sudah mengambil tindakan yang tepat dengan mengembalikan permasalahan ini kepada Presiden dan DPR untuk mengambil langkah-langkah penyempurnaan UU KY dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut peradilan terpadu.

Masalah mendasar dari fenomena perseteruan MA-KY adalah hilangnya proses check and balances terhadap MA sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif. Di negara yang sangat ketat dengan penerapan pemisahan kekuasaan seperti di AS, check and balances terhadap MA diterjemahkan dengan ketentuan bahwa seorang Presiden mempunyai hak penuh untuk menominasikan hakim agung yang kemudian harus disetujui oleh Senat, dan hakim federal di AS bisa di-impeach oleh Senat.

Sementara di Indonesia, karena trauma dari kekuasaan Presiden yang besar di masa Orde Baru, dengan serta-merta kewenangan Presiden untuk menominasikan hakim agung dihilangkan. Jadilah kemudian MA mengusulkan pengangkatan hakim agung sendiri dan baru belakangan muncul KY yang diberi kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung. Secara teoretis bisa dikatakan bahwa MA merupakan cabang kekuasaan yang tidak bisa diimbangi dan diawasi lagi oleh cabang kekuasaan lainnya, terlebih ketika fungsi pengawasan KY sendiri tidak jelas. Masalah inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang.

Pada tahun 1937, Presiden AS Franklin Delano Roosevelt gelisah melihat sepak terjang para hakim agung yang konservatif dan tidak bersimpati pada program reformasi ekonomi pemerintah. Roosevelt pun akhirnya mengusulkan RUU Reorganisasi Peradilan (Judicary Reorganization Bill 1937) yang tujuannya adalah membersihkan MA dari anasir-anasir konservatif. Tindakan tersebut mungkin bisa dianggap sebagai ancaman terhadap independensi peradilan, tetapi tindakan Roosevelt juga bisa dimaknai sebagai upaya cabang kekuasan Eksekutif untuk mengimbangi kekuasaan Yudikatif dalam kerangka konstitusional.

Bagaimana cerita di Indonesia, kita masih harus menunggu langkah yang akan diambil oleh Presiden dan DPR, setelah MK melempar bola kepada mereka.

Hendri Kuok Kandidat Doktor, University of Washington School of Law, Seattle
Thursday, August 24, 2006,2:32 PM

Tidak Ada Data Sahih di Republik Ini

Tjipta Lesmana

Pidato kenegaraan Presiden Yudhoyono di Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka memperingati Hari Proklamasi Ke-61 telah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama politisi dan pengamat ekonomi. Pasalnya, dalam pidato itu Presiden mengemukakan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, dari 23,4 persen pada 1999 menjadi 16 persen pada 2005. Kenapa heboh?

Pertama, data yang ditampilkan Presiden tampaknya membuat banyak pihak tidak percaya, bahkan terkejut. Data itu dinilai pemutarbalikan fakta di lapangan. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Oktober 2005 sebesar rata-rata 126 persen diyakini sungguh membawa sengsara bagi rakyat kecil yang jumlahnya mungkin separuh dari penduduk Indonesia.

Kedua, melalui data yang ditampilkan, Presiden terkesan hendak mengatakan kepada seluruh bangsa bahwa "pemerintahan saya telah menunjukkan prestasi kerja"; sekaligus menepis tudingan-tudingan bahwa kehidupan rakyat semakin sengsara sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden. Penurunan 7,4 persen—secara statistik—amat signifikan walaupun angka itu menunjukkan penurunan dalam kurun waktu 6 tahun. Pengambilan data dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005 memperlihatkan the president is playing with figures. Kenapa harus diukur semenjak 1999? Tahun 2005 kapan? Januari—jauh sebelum harga BBM dinaikkan pada 1 Maret dan 1 Oktober? Atau Desember? Tidak jelas.

Ketiga, sumber data yang ditampilkan tidak disebutkan. Apakah dari Badan Pusat Statistik (BPS)? Atau Bappenas berdasarkan olahan data dari BPS? Kalau dari BPS, apakah survei terakhir oleh BPS dilakukan pada Februari 2005? Data yang dipergunakan BPS pun data akhir 2004 tatkala pemerintahan SBY baru berusia 70 hari?!

Kecewa dan penasaran

Reaksi dan kecaman berbagai pihak, sebenarnya, mencerminkan kekecewaan mereka, sebab semua orang sesungguhnya kepingin tahu bagaimana "potret kemiskinan" Indonesia setelah kenaikan harga BBM yang fantastis pada 1 Oktober 2005. Kita sesungguhnya juga penasaran mau tahu sejauh mana kebenaran asumsi para ekonom di sekeliling pemerintahan SBY yang sejak awal haqul’yakin bahwa kenaikan harga BBM jika ditunjang oleh bantuan langsung tunai (BLT) pasti akan menurunkan tingkat kemiskinan dan menaikkan kesejahteraan rakyat.

Urusan data di republik tercinta ini—data sahih maksud saya—rupanya amat pelik, kalau tidak dikatakan muskil. Pertama, karena terlalu banyak instansi yang melemparkan data kepada publik: dari mulai BPS, kantor Bappenas, kantor Menteri Koor- dinator Perekonomian, kantor BKKBN (pada era Orde Baru), pihak universitas, dan Bank Dunia. Beda dengan Amerika, misalnya. Di sana hanya ada satu instansi yang diberikan otoritas untuk berbicara tentang data kependudukan dalam arti seluas-luasnya, termasuk kemiskinan, yaitu US Census Bureau.

Kedua, kriteria "miskin" berbeda antara satu instansi dan instansi yang lain. Ketiga, sesuai dengan prinsip information is power, data demografis di Indonesia sering dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu. Bahkan, BPS pun tidak selamanya bisa dipercaya, sebab BPS—terutama pada Orde Baru—bisa disetir penguasa, atau harus tunduk pada kemauan penguasa. Contoh mutakhir ketika BPS belum lama ini merilis angka-angka kemiskinan yang tampaknya kurang menyenangkan pemerintah, pimpinannya kontan "diundang" oleh Menko Perekonomian untuk diajak berkonsultasi. Hasil "konsultasi" berupa kesepakatan bahwa perlu disusun kriteria orang miskin yang lebih up to date!

Di Amerika, presiden sekalipun tidak dibenarkan mengintervensi US Census Bureau. Institusi ini benar-benar otonom sehingga setiap data dan kajian yang dirilis otomatis diterima dan dipercaya oleh masyarakat.

BPS tidak konsisten

Simaklah baik-baik beberapa data mengenai kemiskinan di Indonesia di bawah ini.

Pada November 2001 Bank Dunia mengatakan, 60 persen rakyat Indonesia tergolong miskin; 10 persen sampai 20 persen di antaranya miskin absolut. Kriteria yang dipakai adalah pendapatan 2 dollar AS/orang/ bulan. Dengan kriteria konsumsi kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari (atau Rp 90.000). BPS pada Februari 2002 menyatakan, penduduk miskin pada 2000 berjumlah 37,3 juta atau 18,95 persen.

Tanggal 27 Maret 2003, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mengemukakan jumlah orang miskin di Indonesia 34,8 juta atau 18,2 persen. Tanggal 23 Januari 2005 Bank Dunia merilis data yang mengejutkan: 110 juta penduduk RI miskin karena penghasilannya di bawah 2 dollar AS/hari.

Menjelang pengumuman kenaikan harga BBM yang kedua kalinya, BPS pada 13 September 2005 merilis data 37,2 juta penduduk miskin (16,9 persen). Jika kenaikan harga BBM mendongkrak inflasi menjadi 15 persen, maka garis kemiskinan menjadi Rp 175.000 sehingga jumlah orang miskin menjadi 62 juta jiwa. Namun, kalau harga BBM naik 95 persen, garis kemiskinan menjadi Rp 190.000 hingga Rp 200.000, sedangkan orang miskin bertambah menjadi 80 juta.

Tanggal 9 November 2005 BPS mengatakan, akibat kenaikan harga BBM sebesar 126 persen pada 1 Oktober 2005, garis kemiskinan yang semula Rp 150.000/bulan dan "mendekati miskin" sebesar Rp 175.000 tidak lagi akurat. Jumlah orang miskin bertambah 8,6 juta menjadi 24,1 juta. Sehari kemudian, Sri Mulyani yang menjabat Ketua Bappenas mengakui bahwa garis kemiskinan meningkat menjadi Rp 175.000/bulan akibat kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 dan pemerintah kewalahan menambah dana BLT, sebab penambahan penduduk yang mengaku miskin sangat besar.

Perhatikan baik-baik betapa tidak konsisten BPS dengan data yang dibuatnya sendiri. Jika harga BBM naik 95 persen, jumlah orang miskin menjadi 80 juta, menurut BPS. Namun, ketika pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM sebesar 126 persen, BPS mengatakan jumlah orang miskin bertambah 8,6 juta menjadi 24,1 juta...!

September nanti BPS dijadwalkan akan merilis hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang terbaru. Kita tidak tahu bagaimana BPS merilis angka kemiskinan terbaru yang tampaknya harus "disesuaikan" dengan angka yang sudah diumumkan oleh Presiden Yudhoyono pada 16 Agustus. Bisakah BPS jujur sejujurnya, bahkan menolak tekanan penguasa dalam bentuk apa pun dalam membuat data?!

Tjipta Lesmana Anggota Kelompok Kerja Ketahanan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional
,2:30 PM

Mengurai Konflik Arab-Israel

Aiyub Mohsin
Mantan Dubes, Pengajar di Unas

Dewan Keamanan PBB pada tgl 11 Agustus yang lalu, akhirnya berhasil menyepakati suatu resolusi yang menyerukan penghentian serangan bersenjata timbal balik antara Israel dan Hizbullah. Resolusi yang bernomor 1701 itu disetujui oleh semua 15 anggota Dewan Keamanan termasuk Amerika Serikat (AS) yang mempunyai hak Veto. Resolusi itu mulai efektif pada Senin 14 Agustus pukul 12.00 GMT.

PBB sejak mulai terjadi konflik Arab-Israel pada tahun 1948 telah ikut mengusahakan penyelesaian konflik ini. Namun sampai sekarang belum terdapat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa konflik ini akan berakhir dengan penyelesaian yang adil, menyeluruh dan langgeng.

Peran PBB
Konflik Arab-Israel timbul sewaktu zionis memproklamirkan berdirinya Israel di wilayah Palestina yang sekarang terdiri dari wilayah Negara Israel dan wilayah Otoritas Palestina yang meliputi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Wilayah Palestina itu, pada tahun 1947 atas mandat Liga Bangsa-Bangsa (LBB) diserahkan kepada Inggris selaku administrator. Penduduk Palestina pada tahun 1947 berjumlah sekitar 2 juta yang 2/3 terdiri dari etnis Arab dan sisanya keturunan yahudi.

Waktu Inggris mengemukakan keinginannya untuk menyerahkan mandatnya kepada PBB, sebagai kelanjutan LBB, PBB membentuk komite khusus untuk memecahkan masalah Palestina. Atas rekomendasi komite itu, Majelis Umum PBB mengesahkan rencana pembagian wilayah Palestina menjadi dua yaitu Negara Yahudi dan Negara Arab Palestina dengan Yerusalem sebagai kota internasional. Rencana ini ditolak oleh orang-orang yahudi melalui gerakan zionisnya, dan negara-negara Arab di sekitarnya.

Atas tekanan para gerilyawan yahudi yang dibentuk dan dikoordinir oleh zionis terhadap penguasa Inggris di Palestina, maka Inggris secara tiba- tiba pada Mei 1948 keluar dari wilayah Palestina. Inggris menyatakan melepaskan mandatnya dan tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi wilayah Palestina. Situasi itu dimanfa'atkan oleh zionis dengan memproklamirkan berdirinya Israel.

Perseteruan antara etnis Arab dan etnis Yahudi meningkat setelah berdirinya Israel, dan diperparah lagi dengan pengusiran besar-besaran warga Palestina keturunan Arab. Menurut Basic Facts about the United Nations, 2004, sebanyak 750 ribu orang Arab Palestina terusir dari kampung halamannya dan menjadi pengungsi. Permusuhan terbuka setelah berdirinya Israel dapat dihentikan sementara oleh Dewan Keamanan (DK) PBB.

Niat Israel
Cita-cita zionis membentuk Negara Israel Raya yang terbentang antara sungai Yordan dan sungai Nil, tidak berhenti dengan terbentuknya negara Israel yang teritorinya hanya seperti sekarang. Kerena itu setiap kesempatan digunakan penguasa Israel untuk memperluas teritorinya. Hal ini terlihat waktu krisis Suez pada 1956, juga perang Arab-Israel (1967 dan 1973). Pada setiap konflik itu, atas seruan masyarakat internasional, PBB berusaha menghentikannya dengan pertama-tama menyerukan gencatan senjata, lalu mengirim pasukan penjaga perdamaian.

Pada perang tahun 1967, Israel berhasil menduduki Jazirah Sinai milik Mesir, Dataran Tinggi Golan milik Suriah serta Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang sebelumnya dikuasai Yordania. Menghadapi kenyataan ini, DK PBB melalui Resolusi No 242 menyerukan gencatan senjata dan menetapkan prinsip-prinsip bagi penyelesaian yang adil dan langgeng.

Pada 1973 pecah lagi perang antara Mesir dan Suriah melawan Israel. Perang ini secara militer dan politis dimenangkan Mesir dengan dikuasainya kembali Jazirah Sinai. Namun Dataran Tinggi Golan tetap dikuasai Israel. Karena itu PBB mengeluarkan Resolusi No 338 (1973) yang menegaskan kembali prinsip-prinsip dari Resolusi 242 (1967) dan menyeru kembali pihak-pihak yang bertikai untuk berunding. Untuk memonitor gencatan senjata yang terjadi setelah keluarnya Resolusi No 338 itu, PBB membentuk pasukan perdamaian yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan dan Sinai.

PBB melalui DK dan Majelis Umum terus memperhatikan masalah Palestina ini yang menjadi inti dari konflik Arab-Israel. Pada tahun 1974 PLO diakui sebagai wakil yang sah dari rakyat Palestina dengan memberi status observer. Lembaga itu kemudian membentuk komite dengan nama Committee on the Exercise of the Inalienable Rights of the Palestinian People, sebagai badan subsidiary dari Majelis Umum.

Di perbatasan Lebanon Selatan dengan Israel Utara, sebagaimana terjadi sekarang ini sering terjadi pertempuran antara pejuang Palestina yang dibantu rakyat Lebanon dan tentara Israel yang sering memasuki wilayah Lebanon. Saat terjadi pertempuran pada 1978 antara pejuang Palestina dan rakyat Lebanon melawan Israel, DK PBB mengeluarkan Resolusi No 425 dan 426. Resolusi itu menyeru Israel menarik diri dari Lebanon selatan dan membentuk the United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Tugas UNIFIL itu untuk memastikan bahwa pasukan Israel mundur dari Lebanon dan memulihkan perdamaian.

Walaupun sudah ada pasukan PBB (UNIFIL), sejak tahun 1978, Israel tidak sepenuhnya mundur dari Lebanon. Malah pada tahun 1982 tentara Israel menyerang Beirut dan menghancurkan kamp pengungsi Palestina di Shabra-Shatila dan membuat zone keamanan yang ditempati pasukan Israel. Dengan tekanan masyarakat internasional melalui PBB dan perlawanan rakyat Lebanon yang dipelopori Hizbullah, Israel akhirnya mundur dari Lebanon selatan pada 2000.

Pada akhir September 2000, pecah lagi kerusuhan di Tepi Barat dan Jalur Gaza terutama di wilayah-wilayah yang diduduki tentara Israel. Kerusuhan ini menimbulkan korban manusia, kehancuran prasarana dan tragedi kemanusiaan. DK PBB kembali mengeluarkan Resolusi No 1397 (2002) yang menyerukan penghentian tindakan kekerasan dan menegaskan kembali visi PBB yakni terwujudnya dua negara di wilayah itu: Palestina dan Israel.

Mundurnya Israel dari wilayah-wilayah Arab yang diduduki dan terselesaikannya masalah pengungsi Palestina secara adil, menjadi inti dari penyelesaian konflik Arab-Israel. Belum semua Resolusi PBB terlaksana, pecah perang lagi antara Arab-Israel pada Juli tahun ini. Perang ini diakhiri dengan Resolusi PBB No 1701 (2006) yang intinya: Israel harus menghentikan operasi meliter dan menarik diri dari wilayah Lebanon, Hizbullah menghentikan serangannya ke Israel, dan pembentukan pasukan perdamaian. Apakah PBB dapat menyelesaikan konflik Arab-Israel secara adil, langgeng dan terhormat? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.