| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, August 30, 2006,1:37 PM

Selamatkan Anak dari (Racun) Antibiotika

Ayu Lathifah
Peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara

Penderita yang sering berobat di Indonesia bila berobat di luar negeri (terutama di negara maju) sering khawatir, karena bila sakit jarang diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang sering berobat di luar negeri juga sering khawatir bila berobat di Indonesia, setiap sakit selalu mendapatkan antibiotika. Hal ini bukan sekedar pameo. Tampaknya banyak fakta yang mengatakan bahwa memang di Indonesia, dokter lebih gampang memberikan antibiotika.

Penggunaan antibiotika berlebihan (irasional) pada anak tampaknya semakin meningkat dan mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan (irasional) artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat, dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju.

Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989, sekitar 84 persen setiap tahun, setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9 persen resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.

Di Indonesia belum ada data resmi tentang penggunaan antibiotika ini. Namun berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pengguanaan antibiotika di Indonesia jauh lebih banyak dan lebih mencemaskan.

Bahaya bagi anak
Sebenarnya penggunaan antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas.

Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Harga obat antibiotika sangat mahal dan merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak belum tumbuh sempurna. Anak berisiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 kali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan antibiotika.

Organ tubuh yang bisa terganggu antibiotika adalah saluran cerna, ginjal, fungsi hati, sumsum tulang, darah, dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa atau reaksi anafilaksis.

Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna di dalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau sering disebut superinfection. Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut superbugs.

Jadi jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah dengan antibiotika yang ringan, apabila antibiotikanya digunakan dengan irasional, maka bakteri tersebut mutasi dan menjadi kebal, sehingga memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar, suatu saat akan tercipta kondisi di mana tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini.

Hal ini akan membuat kembali ke zaman sebelum antibiotika ditemukan. Pada zaman tersebut, infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga angka kematian akan melonjak drastis. Hal lain yang mungkin terjadi, nantinya kebutuhan pemberian antibiotika dengan generasi lebih berat, dan menjadikan biaya pengobatan semakin meningkat karena semakin harganya mahal.

Penanggung jawab
Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotek, sales representatif, perusahaan farmasi, dan pabrik obat.

Antibiotika merupakan golongan obat terbatas, yang penggunannya harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotek atau di toko obat meskipun tanpa resep dokter.

Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representative, dan apotek sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan cara dilakukan.

Dokter sebagai penentu penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak dan lebih mempertimbangkan latar belakang keilmuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan kepentingan lainnya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperan dalam mengurangi perilaku penggunaan antibiotika yang berlebihan ini.

Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerja sama dalam penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media. Penertiban penjualan antibiotika oleh apotek dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti.

Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiotika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu, secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktik dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home