| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, August 31, 2006,1:40 PM

Masa Depan Pascalumpur Panas

Oleh Tamsil Linrung

Sudah enam pekan, lumpur panas menggenangi sebagian wilayah Sidoarjo. Dengan kisaran semburan lumpur panas 5.000 m3/hari dan diperkirakan masih tetap menyembur entah sampai kapan, maka akan lebih luas lagi daerah Sidoarjo yang tergenangi.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jatim, dan Pemerintah Pusat haruslah memikirkan serius kerangka solusinya dan berjangka panjang. Pengungsian ke beberapa daerah di sekitarnya jelaslah merupakan kerangka solusi temporal dan tidak prospektif untuk menatap masa depan yang baik, apalagi lebih baik.

Pengungsian ke beberapa daerah sekitar, misalnya, Buduran (sebelah utara) atau Candi (sebelah selatan), bahkan ke daerah yang lebih jauh lagi, hanya akan menjadi beban bagi daerah tempat migrasi itu, baik secara sosial ataupun ekonomi.

Memang, korban yang berjumlah sekitar enam ribu -jika harus dipenuhi kebutuhan papannya dan masing-masing mendapat jatah sekitar 100 m2- hanya memerlukan lahan sekitar 60 hektare. Untuk wilayah Jawa -meski terkategori padat- masih cukup tersedia lahan bagi enam ribu jiwa itu, terutama di wilayah pedesaan.

Persoalannya, bagaimana membangun kue ekonomi yang dapat memberikan harapan peningkatan kesejahteraan mereka. Untuk sekarang ini, korban semburan lumpur panas itu tercatat tunakarya. Ini berarti menambah jumlah pengangguran di Jawa Timur.

Bahkan, dampak luapan lumpur panas tersebut telah mengakibatkan delapan industri sangat terganggu. Hal itu diperkiraan akan mengurangi sejumlah tenaga kerjanya.

Hal tersebut merupakan konsekuensi yang tak bisa dihindarkan akibat ketidaklancaran roda industrinya, terutama kemandekan pengiriman barang ke sentra-sentra pasar di berbagai daerah lain, termasuk ekspor. Implikasi ini -karena situasinya menyangkut masalah kompetisi di tengah angkatan kerja- menambah suram bagi para korban Lapindo Brantas untuk mendapatkan pekerjaan.

Harus Dirancang

Karena itu, mulai saat ini haruslah dirancang kerangka solusi untuk menatap masa depan. Dalam hal ini, tampaknya, perlu dicerna lebih mendalam tentang transmigrasi bedol desa ke daerah-daerah yang dinilai memadai, baik luas lahan untuk papan ataupun pengembangan diri untuk mendapatkan sekaligus membangun tingkat kesejahteraannya.

Untuk mewujudkan model itu, Pemkab Sidoarjo atau Pemprov Jawa Timur -bersama Pemerintah Pusat- perlu mengkaji data penduduk: seberapa besar yang selama ini berkonsentrasi pada sektor pertanian, perikinan darat, industri (pabrikan) sebagai tenaga kerja, serta yang bergerak di sektor jasa dan perdagangan.

Menurut Badan Pusat Statistik Sidoarjo dan Dinas Pencatatan Sipil Kabupaten Sidoarjo per 2001, dari jumlah penduduk 1.272.688 orang, 35,36%-nya bermata pencaharian dari sektor industri (buruh), 19,66% berdagang, 19,11% dari sektor jasa (terutama angkutan), 9,55% bertani, dan 16,32% dari sektor lain-lain.

Dari data penduduk tersebut, kiranya, Pemkab Sidoarjo ataupun Pemprov Jatim, bahkan Pemerintah Pusat, bisa melirik daerah tertentu yang dinilai "pas" untuk kepentingan penyerapan angkatan kerja.

Dalam hal ini, wilayah Batam bisa menjadi lirikan utama. Lirikan itu bagai gayung bersambut karena Pemda Batam - objektif sebagai daerah pengembangan industri- benar-benar membutuhkan angkatan kerja tidak sedikit. Kualitas SDM-nya relatif. Belum ada data persis seberapa besar korban lumpur panas yang memenuhi kualifikasi acceptable untuk dunia industri.

Tetapi, sebagai ilustrasi penguat, di Sidoarjo -per Juli 2001- terdapat 43.510 orang (S1-S2), 38.735 orang D3, dan 168.673 orang lulusan SLTA. Data ini relatif menjawab persyaratan dasar untuk "berkompetisi" di tengah Batam. Dalam hal ini, setidaknya, Pemerintah Pusat diminta pengertiannya untuk membantu proses rekrutmen para transmigran Sidoarjo itu.

Sejalan dengan posisi Batam -selain kawasan industri juga merupakan basis niaga- kiranya, konsentrasi masyarakat Sidoarjo selama ini sebagai pedagang (19,66%) bisa menjadi tumpuan harapan yang jauh lebih prospektif. Bukanlah tak mungkin, setelah hijrah, kuantitas perniagaannya -antarpulau (dari Batam ke daerah-daerah sekitarnya)- akan menaik pada level yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Landasannya, tingkat harga produk yang beredar di Batam jauh lebih rendah daripada daerah-daerah sekitarnya. Perbedaan margin itu harus dijadikan peluang bisnis yang berarti.

Sementara itu, wilayah Batam yang dikitari perairan laut cocok untuk pengembangan tambak darat (budi daya ikan bandeng dan udang windu).

Dalam konteks ini, sebagian masyarakat Sidoarjo punya pengalaman budi daya yang bisa bermanfaat untuk merancang kehidupan ekonominya. Pengalaman mereka -menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo- pada 1998, tambak ikannya, dengan luas lahan 15.530.409 ha mampu mencapai produksi 3.503.000 kg. Pada 1999, naik secara hiperbolik: mencapai 19.157.800 kg. Pada 2000, produksi tambaknya naik lagi: sampai 20.010.700 kg.

Sementara itu, masyarakat nelayan Sidoarjo -meski areal pantainya sangat sempit- pada 2000, mampu menangkap ikan 11.017.100 kg. Untuk kolam ikan -dengan lahan 36 ha- pada 2000, tercapai produksi 106.200 kg. Perairan sungai -dengan panjang 314,4 km- berhasil berproduksi 275.900 kg.

Yang perlu dicatat, capaian produksi tersebut tentu bisa dijadikan landasan untuk memformat masyarakat Sidoarjo (korban Lapindo Brantas) lebih jauh. Secara khusus, Pemerintah Pusat -termasuk lembaga legislatif- ikut memfasilitasi gerakan "penyelamatan" sosial-ekonomi para transmigran Sidoarjo atas dalih bencana atau lainnya. Yang lebih penting, Pemerintah Pusat -termasuk Pemprov Jatim- ikut memfasilitasi akses ke berbagai lembaga keuangan.

Sikap Korban

Bagaimana sikap korban dalam merespons gagasan solusi transmigrasi bedol desa? Meski model solusinya prospektif, kultur Jawa yang mangan nggak mangan asal ngumpul menjadi kendala tersendiri untuk menggiring (mengajak) mereka hijrah ke daerah lain, sekalipun masih di Nusantara ini. Kultur itu jelaslah bukan kesalahan.

Meski demikian, demi merefleksikan rasa cinta persaudaraan dan kemanusiaan, para korban Lapindo Brantas itu perlu mendapat pencerahan dengan landasan membangun perubahan yang lebih baik.

Dengan spirit kebersamaan (sesama umat manusia), korban Lapindo Brantas perlu diyakinkan tentang makna konstruktif kerangka solusi itu (transmigrasi bedol desa).

Barangkali, ada satu kondisi yang dapat dimainkan untuk memperkuat tekad transmigrasi bedol desa. Yaitu, sistem bedol desa akan menjadikan tempat atau wilayah barunya relatif tak beda dari tempat asal, terutama lingkungan kekeluargaan dan kulturalnya. Perbedaan lingkungan fisik daerah (Batam versus Sidoarjo) memang awalnya merupakan persoalan tersendiri.

Pada akhirnya, mental transmigran Sidoarjo akan menyesuaikannya. Mental itu akan ditunjang aroma perubahan yang cukup prospektif di depan mata. Inilah urgensi program masa depan yang jelas pascalumpur panas menggenangi sebagian daratan Sidoarjo.

Tamsil Linrung, anggota Komisi IV D
PR RI dari FPKS

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!

1:59 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home