| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, August 28, 2006,11:11 AM

Membendung Perda Syariat

Oleh M. Hasibullah Satrawi

Perda syariat kembali menjadi isu panas yang diperbincangkan banyak pihak. Menurut sebagian masyarakat, perda syariat adalah jawaban bagi banyak masalah yang melilit bangsa ini, terutama menyangkut dekadensi moral. Sedangkan sebagian lain berpandangan berbeda. Bagi mereka, perda syariat adalah masalah tersendiri. Munculnya perda syariat justru menambah tumpukan masalah yang ada.

Tulisan ini mencoba mengurai beberapa persoalan mendasar terkait pro kontra perda syariat, terutama menyangkut pemahaman tentang syariat. Secara kebahasaan syariat berarti jalan. Di dalam Alquran terdapat tiga ayat yang bermakna jalan (Qs. 45: 18, 5: 48, dan 42: 13). Syariat Islam berarti jalannya umat Islam. Syariat Kristen berarti jalannya umat Kristen. Begitu pula dengan syariat Yahudi. Lebih jauh Alquran menyebutkan, masing-masing agama mempunyai syariat tersendiri (Qs. 5: 48).

Umat beragama dianjurkan mengikuti jalannya (syariat) masing-masing. Para ulama kemudian memaknai jalan dengan ajaran. Jalan Islam berarti ajaran Islam. Mengikuti jalan Islam berarti mengamalkan ajarannya.

Pada tahap ini harus dibedakan antara syariat, pemahaman terhadap syariat, dan penerapan terhadap pemahaman syariat. Dalam pemikiran Islam, pemahaman terhadap syariat disebut dengan istilah fikih.

Adapun penerapan terhadap fikih yang tak lain adalah pandangan relatif manusia terhadap ajaran syariat yang absolut disebut dengan istilah tathbîqu ahkâmil fiqh (penerapan terhadap hukum-hukum fikih), bukan tathbîqu as-syarî’ah (penerapan terhadap syariat). Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara syariat, fikih, dan tathbîqu ahkâmil fiqh. Syariat murni ilâhî (dari Tuhan), sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh bersifat manusiawi.

Syariat murni dari Tuhan, sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh seutuhnya dari manusia dan bersifat relatif. Syariat tidak pernah salah. Sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh sering salah kaprah, atau bahkan salah sama sekali.

Pada tahap berikutnya, fikih menjadi mapan dan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu ilmu fikih. Sebagai kreasi manusia, fikih yang bertujuan memahami syariat sarat dengan perbedaan dan pergulatan. Berbeda dengan syariat yang tunggal (dalam satu agama), fikih terbagi ke dalam banyak aliran dan mazhab. Ada mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, Dzahiriyah, dan masih banyak aliran lain.

Bahkan, tak berlebihan bila dikatakan bahwa setiap muslim mempunyai fikihnya sendiri terhadap ajaran syariat. Karena itu, perbedaan, pluralitas pemahaman, atau bahkan debat terbuka, adalah hal lumrah dalam dunia fikih.

Di sini jargon penerapan syariat Islam atau bahkan perda syariat tampak jelas "belangnya". Sebab, yang mereka maksud dengan penerapan syariat Islam sesungguhnya adalah penerapan terhadap keputusan atau hukum-hukum fikih (tathbîqu ahkâmil fiqh) yang tak lain hasil ijtihad imam, atau mazhab tertentu dalam permasalahan tertentu. Bila demikian, keputusan atau hukum fikih mana yang hendak diterapkan? Dengan kata lain, pandangan fikih mazhab mana dan pandangan fikih imam siapa yang hendak dijadikan perda?

Pertanyaan ini selamanya akan menggantung. Sebab, para pendukung jargon penerapan syariat Islam atau perda syariat tak memperhatikan perbedaan syariat, fikih, dan penerapan terhadap keputusan fikih. Sebagian (mungkin) memahami perbedaan ini, namun karena alasan dan kepentingan tertentu, mereka memilih diam, bahkan mendukung penuh jargon penerapan syariat Islam.

Karena itu, menurut hemat saya, salah satu yang harus dilakukan untuk membendung perda syariat adalah mengurai secara lebih mendalam dan terinci ajaran-ajaran syariat dan mengenal lebih dekat dunia fikih yang sarat perbedaan dan pergulatan itu.

Diakui atau tidak, belakangan tradisi fikih semakin melemah dalam dunia Islam. Akibatnya, acap kita merasa silau dengan keragaman, perbedaan, dan pergulatan pemikiran. Sebaliknya, keragaman dan perbedaan sering diakhiri dengan cara-cara kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan maslahat kebangsaan.

Adalah ironis ketika ilmu fikih sebagai potret pemahaman dinamis dan progresif terhadap syariat Islam menjadi stagnan, atau bahkan terancam punah. Fikih yang digunakan saat ini adalah fikih di masa lalu. Padahal, kebutuhan dan kemaslahatan yang ada saat ini jauh berbeda dengan kebutuhan dan kemaslahatan di masa lalu. Masa sekarang membutuhkan "fikih kita", bukan "fikih mereka".

"Fikih kita" bisa dirumuskan dengan merekonstruksi "fikih mereka". Dengan kata lain, harus ada pembaruan paradigmatik dalam fikih. Setidaknya dalam dua hal, pertama, pembaruan ushul fikih, atau dasar-dasar fikih. Dalam dunia fikih, ushul fikih bagaikan "pola pikir" bagi seseorang. Gerak-gerik fikih sangat ditentukan oleh "pola pikir" ini.

Bila pola pikirnya tekstualis, produk fikihnya pun kurang lebih sama. Dan, itulah yang terjadi dengan fikih Islam selama ini. Ushul fikih tampak sangat tekstualis, bahkan simplistis.

Salah satu kaidah ushul fikih, contohnya, menyebutkan, setiap perintah berarti wajib (kullu amrin yaqtadhî al-wujûb). Sedangkan setiap larangan berarti haram (kullu amrin yaqtadhî at-tahrîm).

Padahal, secara logika, secara kebiasaan, atau bahkan secara agama, perintah tak selamanya bermakna wajib, sebagaimana larangan tak selamanya bermakna haram. Karena perintah dan larangan sering dimaksudkan sebagai seruan moral (al-irsyâd, an-nadb, al-ibâhah, dll.).

Bahkan, kalau kita mengacu kepada Alquran, ayat-ayat yang secara spesifik menghararmkan dan menghalalkan sangatlah sedikit -bila dibandingkan dengan ayat-ayat moral.

Sebaliknya, ayat-ayat moral sangatlah banyak. Begitu juga hadis Nabi. Karena itu, teks-teks yang bersifat anjuran moral seharusnya menjadi batasan dan patokan bagi teks-teks penghalalan dan pengharaman. Bukan sebaliknya.

M Hasibullah Satrawi, sarjana hukum Islam dari Al-Azhar Kairo, Mesir. saat ini peneliti di P3M Jakarta.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home