| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, August 28, 2006,11:12 AM

Mahkamah Mafia Peradilan

Denny Indrayana

Makin maraklah praktik mafia peradilan. Matilah sudah agenda reformasi peradilan. Lonceng kematian itu berdentang kencang dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Komisi Yudisial atau UU KY.

Tiga puluh satu hakim agung, sebagai pemohon pengujian, bersama para kuasa hukumnya, OC Kaligis, Juan Felix Tampubolon, dan Indriyanto Seno Adji, sedang tersenyum lebar karena hampir semua permohonan mereka dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, untuk fungsi pengawasan, MK memutuskan "Segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid)".

Inilah untuk kesekian kalinya MK menggunakan dalih ketidakpastian hukum atau kepastian hukum untuk membatalkan suatu peraturan perundangan. Sayangnya, penerapan dalih itu tidak jarang bertabrakan dengan prinsip kemanfaatan hukum dan keadilan hukum.

Dalam putusan sebelumnya, MK membatalkan ketentuan perbuatan melawan hukum materiil dalam penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Korupsi karena tidak sesuai dengan kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945. Pembatalan konsep melawan hukum materiil tersebut—yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian, dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan—memangkas semangat progresivitas yang amat bermanfaat untuk melawan korupsi sebagai kejahatan luar biasa dengan cara luar biasa pula.

Setali tiga uang, dalam putusan UU KY, MK membatalkan segala pasal pengawasan dengan alasan tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pertanyaannya, apakah ketidakjelasan tersebut sedemikian parah sehingga semua fungsi pengawasan dalam UU KY wajib dinyatakan bertentangan dengan konstitusi? Mengapa pilihannya bukanlah membiarkan pasal-pasal pengawasan itu dengan menekankan KY mengatur hal-hal yang belum jelas dalam peraturan KY. Bukankah dengan demikian fungsi pengawasan KY masih dapat dilakukan, suatu fungsi yang teramat penting untuk memerangi praktik mafia peradilan yang marak di negeri ini.

Korupsi pengadilan

Dengan membatalkan segala pasal pengawasan dalam UU KY, tentu saja MK telah membuat senyum lebar semua pelaku korupsi peradilan. Mulai putusan itu dibacakan hingga disahkannya revisi UU KY, Komisi Yudisial tidak lagi bisa mengawasi perilaku hakim. Suatu fungsi konstitusional yang dijamin oleh konstitusi. Itulah ironisnya, MK sebagai pengawal konstitusi justru telah menghapus pasal-pasal pengawasan KY yang sebenarnya justru diberikan oleh konstitusi.

Putusan UU KY jelas mencerminkan hakim konstitusi terjebak conflict of interest. Mereka tidak mau dimasukkan sebagai obyek pengawasan KY. Salah satu alasannya adalah karena MK berwenang memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang KY mungkin menjadi salah satu pihaknya. Dengan demikian, jikalau hakim konstitusi diawasi KY, independensi mereka dalam memutus perkara sengketa kewenangan demikian menjadi terganggu.

Argumentasi ini menunjukkan bahwa MK mempunyai standar ganda tentang makna independensi mereka. Dalam banyak kesempatan, MK berargumen bahwa independensi hakim konstitusi jangan diragukan, bahkan untuk memutus kasus-kasus yang melibatkan Presiden dan DPR. Meskipun enam hakim konstitusi diusulkan oleh Presiden dan DPR, mereka mengaku tetap bisa mandiri. Lalu kenapa kemandirian yang sama tidak bisa dilakukan berhadapan dengan fungsi pengawasan KY?

Selanjutnya, argumen putusan bahwa KY hanya organ penunjang, sedangkan MA serta MK adalah lembaga negara utama, adalah argumen yang debatable. Konstitusi sendiri tidak secara tegas mengatur demikian. Yang jelas, ketiga lembaga secara tegas diatur dalam bab yang sama tentang kekuasaan kehakiman. Semestinya, dengan kewenangan "menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim", tidaklah bisa diargumentasikan KY hanya penunjang, dan MA serta MK lebih utama. Untuk melaksanakan pengawasan preventif dan korektif atas perilaku hakim, KY sewajibnya berfungsi sejajar dengan lembaga yang akan diawasinya. Adalah mimpi untuk mengargumentasikan suatu lembaga yang lebih inferior dapat mengawasi lembaga yang lebih superior.

Ketinggalan zaman

Terlebih argumen bahwa konsep checks and balances hanya berlaku di antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah argumen lama ala Montesquieu yang sudah mulai ketinggalan zaman. Bruce Ackerman (Harvard Law Review, 2000) menyatakan, di Amerika Serikat sistem checks and balances dilakukan tidak lagi di antara tiga cabang kekuasaan, tetapi lima: Presiden, DPR, Senat, MA, dan Komisi-komisi Independen. Pendapat Ackerman tersebut sudah menjadi tren ketatanegaraan modern, dengan kehadiran komisi-komisi independen diberi tempat di dalam konstitusi sebagai constitutional organ.

Akhirnya, pilihan membatalkan semua pasal pengawasan dalam UU KY adalah pilihan yang masih debatable secara ilmu hukum konstitusi. Justru yang sudah pasti, pilihan itu menumbuhsuburkan praktik mafia peradilan. Suatu pilihan yang bertentangan dengan moralitas-konstitusionalitas (constitutional morality), yang bermakna setiap konstitusi harus diartikan sesuai landasan moralitas. Sewajibnyalah setiap pilihan interpretasi hukum tidak boleh menabrak fondasi moralitas antimafia peradilan.

Ironisnya, pilihan hukum yang dijatuhkan MK nyata-nyata makin menumbuhsuburkan praktik korupsi peradilan. Lilin MK yang sempat menerangi kelam peradilan agaknya berangsur padam dan mulai tergantikan munculnya bebayang hitam Mahkamah Mafia Peradilan.

Denny Indrayana
Dosen Hukum Tata Negara, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Direktur Indonesian Court Monitoring

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home