| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, August 30, 2006,1:34 PM

Rekonstruksi Keindonesiaan

Zuhairi Misrawi

Di tengah menggunungnya masalah kemiskinan, seperti busung lapar, gagal panen, dan bencana alam, upaya-upaya pemiskinan masih terus berlanjut. Penanganan korupsi berjalan terus, tetapi praktik korupsi juga tak kunjung menyusut. Kasus lumpur gas produksi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, telah mencetak kemiskinan baru.

Dalam banyak kesempatan, pemerintah terlihat sangat optimistis bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Retorika politiknya cepat, tanggap, dan mantap. Namun, dalam praktiknya masih terlihat lamban, compang-camping, bolong, dan bahkan tidak jarang hanya menjadi isapan jempol belaka. Di sinilah, dekonstruksi yang diserukan kalangan muda dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, masyarakat sipil, dan akademisi menemukan momentumnya.

Inti persoalannya terletak pada munculnya dua bentuk fundamentalisme yang sama-sama mengancam keindonesiaan. Pertama, fundamentalisme kapitalisme global, yang makin lama makin memperluas pemiskinan dan ketidakadilan global. Dalam hal ini, pemerintah tidak mempunyai strategi ekonomi dan strategi politik yang jelas dan terukur perihal pencarian solusi atas masalah tersebut. Pemerintah bertekuk lutut pada sabda kapitalisme global. Sumber minyak Blok Cepu akhirnya diserahkan kepada pihak asing untuk dikelola. Hal itu terjadi karena para ekonom dan politisi yang berada di balik kebijakan pemerintah adalah mereka yang beriman dan menganut neoliberalisme.

Kedua, fundamentalisme sektarian berbasis agama. Muncul aksi kekerasan dan nalar pemurnian yang mengharamkan keragaman dan hak-hak sipil-politik serta budaya. Ancaman ini sebenarnya tidak berdiri sendiri. Olivier Roy (2005) memandang adanya keterkaitan antara fundamentalisme kapitalisme global dan fundamentalisme agama. Fundamentalisme kapitalis global telah merajalelakan pemiskinan dan kemiskinan. Karena masifnya pemiskinan, maka kalangan fundamentalis agama melakukan reaksi balik dengan cara menggunakan kekerasan, yang didukung oleh pemahaman keagamaan yang dangkal. Karena globalisasi kemiskinan, muncul globalisasi puritanisme pemahaman keagamaan.

Lima aspek dekonstruksi

Kedua fundamentalisme tersebut merupakan ancaman serius dalam konteks berbangsa dan bernegara. Harus ada langkah- langkah berdimensi dekonstruksi yang memberikan harapan bagi rekonstruksi dan revitalisasi keindonesiaan. Oleh karena itu, setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan untuk membangun kembali keindonesiaan.

Pertama, dekonstruksi kepemimpinan. Kepemimpinan selalu identik dengan ketokohan dan bersifat personal. Dalam imajinasi politik, ada semacam kepercayaan bahwa akan datang "dewa" yang dipersonifikasikan dalam seorang tokoh, yang dimistifikasi dapat menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Nalar seperti ini harus diakui telah gagal digunakan sebagai salah satu paradigma alternatif. Karena itu, diperlukan dekonstruksi atas paradigma kepemimpinan. Bangsa ini harus berpikir perihal perlunya menghadirkan paradigma kepemimpinan kolektif, yaitu kepemimpinan yang diusung berdasarkan visi kebersamaan untuk keindonesiaan. Para pemimpin perlu menanggalkan jaket primordialnya, seperti partai, ormas, agama, dan kesukuannya untuk kepentingan bangsa.

Kedua, dekonstruksi kelembagaan. Harus diakui bahwa aspek kelembagaan masih menjadi titik lemah dalam membangun kehidupan berbangsa yang adil dan sejahtera. Lembaga-lembaga negara tidak membangun demokrasi, tetapi justru meramaikan korupsi. Sejatinya seluruh lembaga negara mampu melayani publik, bukan melayani kepentingan dirinya sendiri. Indikasi korupsi hampir terjadi di seluruh lembaga negara, dari hulu ke hilir. Menurut orang Jawa, biyen yo ono maling, neng siji loro. Saiki maling kok kabeh (Dulu juga ada maling, hanya satu dua. Tapi sekarang kok semuanya menjadi maling). Karena itu, lembaga-lembaga negara dan birokrasi seharusnya menjadi mesin yang berjalan secara efektif dan bersih dari korupsi.

Ketiga, dekonstruksi kultur politik. Dalam ranah politik, kultur yang masih berlaku adalah kultur feodalistik. Elite politik sering kali bertindak sebagaimana raja. Kultur seperti ini tentu saja menyumbat salah satu instrumen terpenting dalam politik, yaitu komunikasi politik. Karena itu, harus dikembangkan kultur politik yang memberikan ruang komunikasi yang lebih leluasa, terutama dalam rangka membangun dan mengembangkan kultur politik yang egaliter, demokratis, dan transparan.

Keempat, dekonstruksi masyarakat sipil. Salah satu kekuatan yang masih dapat diharapkan dalam republik ini adalah masyarakat sipil. Kendatipun negara dan pemerintah rontok, masih ada masyarakat sipil yang mampu membangun solidaritas sosial yang kuat. Karena itu, sudah semestinya masyarakat sipil diselamatkan dari cengkeraman negara. Fenomena keterlibatan elite-elite masyarakat sipil, baik ormas maupun LSM, dalam kancah politik praktis harus mendapat sorotan khusus. Bila fenomena tersebut masih mengemuka, masyarakat sipil lambat laun akan berubah kelamin menjadi agen politik praktis. Ormas keagamaan semestinya meletakkan agama sebagai sumber etika untuk memperkuat masyarakat sipil, bukan untuk memperkuat kekuasaan politik. Karena itu pula, fatwa keagamaan harus mendorong keragaman, kebangsaan, dan kerakyatan, bukan sebaliknya.

Kelima, dekonstruksi mental. Pada umumnya, sebagian besar penghuni republik ini sedang terjangkit penyakit pesimisme. Hal itu muncul karena hilangnya harapan dan tidak adanya indikasi perbaikan dan perubahan. Yang paling kentara adalah hilangnya keteladanan dari para pemimpin bangsa ini. Kendatipun demikian, mental semacam ini menjadi masalah tersendiri karena seolah-olah tidak ada jalan keluar. Padahal selalu ada harapan.

Budaya unggul

Prestasi generasi muda dalam kompetisi di tingkat internasional masih sangat mengagumkan, baik dalam bidang fisika, biologi, matematika, maupun ilmu-ilmu sosial. Bangsa ini mempunyai manusia-manusia unggul yang mampu mengawal proses tersebut. Dalam hal ini, mental dan budaya unggul harus senantiasa ditanamkan kepada seluruh anak bangsa guna membangun mental optimisme.

Semua hal di atas bukanlah hal yang mustahil bila seluruh elemen bangsa, antara lain pemerintah, parlemen, yudikatif, pemimpin agama, tokoh masyarakat, media massa, dan pengusaha, bersama-sama mempunyai tekad bulat untuk menjemput fajar baru keindonesiaan, yang menjunjung tinggi hak-hak warga negara, keadilan, kedamaian, dan keragaman.

Michael Walzer (2004) memberikan pesan yang menarik dalam rangka menjawab problem politik di atas, yaitu diperlukan negosiasi dan perdebatan yang terus-menerus sebagai gairah baru untuk menggapai perubahan dan perbaikan. Dengan cara itulah, wacana dekonstruksi dan revitalisasi keindonesiaan akan menjadi gairah baru dalam konteks kebangsaan kita.

Zuhairi Misrawi
Pemikir Muda Nahdlatul Ulama dan Penggagas Lingkar Muda Indonesia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home