| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, August 24, 2006,2:32 PM

Tidak Ada Data Sahih di Republik Ini

Tjipta Lesmana

Pidato kenegaraan Presiden Yudhoyono di Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka memperingati Hari Proklamasi Ke-61 telah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama politisi dan pengamat ekonomi. Pasalnya, dalam pidato itu Presiden mengemukakan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, dari 23,4 persen pada 1999 menjadi 16 persen pada 2005. Kenapa heboh?

Pertama, data yang ditampilkan Presiden tampaknya membuat banyak pihak tidak percaya, bahkan terkejut. Data itu dinilai pemutarbalikan fakta di lapangan. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Oktober 2005 sebesar rata-rata 126 persen diyakini sungguh membawa sengsara bagi rakyat kecil yang jumlahnya mungkin separuh dari penduduk Indonesia.

Kedua, melalui data yang ditampilkan, Presiden terkesan hendak mengatakan kepada seluruh bangsa bahwa "pemerintahan saya telah menunjukkan prestasi kerja"; sekaligus menepis tudingan-tudingan bahwa kehidupan rakyat semakin sengsara sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden. Penurunan 7,4 persen—secara statistik—amat signifikan walaupun angka itu menunjukkan penurunan dalam kurun waktu 6 tahun. Pengambilan data dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005 memperlihatkan the president is playing with figures. Kenapa harus diukur semenjak 1999? Tahun 2005 kapan? Januari—jauh sebelum harga BBM dinaikkan pada 1 Maret dan 1 Oktober? Atau Desember? Tidak jelas.

Ketiga, sumber data yang ditampilkan tidak disebutkan. Apakah dari Badan Pusat Statistik (BPS)? Atau Bappenas berdasarkan olahan data dari BPS? Kalau dari BPS, apakah survei terakhir oleh BPS dilakukan pada Februari 2005? Data yang dipergunakan BPS pun data akhir 2004 tatkala pemerintahan SBY baru berusia 70 hari?!

Kecewa dan penasaran

Reaksi dan kecaman berbagai pihak, sebenarnya, mencerminkan kekecewaan mereka, sebab semua orang sesungguhnya kepingin tahu bagaimana "potret kemiskinan" Indonesia setelah kenaikan harga BBM yang fantastis pada 1 Oktober 2005. Kita sesungguhnya juga penasaran mau tahu sejauh mana kebenaran asumsi para ekonom di sekeliling pemerintahan SBY yang sejak awal haqul’yakin bahwa kenaikan harga BBM jika ditunjang oleh bantuan langsung tunai (BLT) pasti akan menurunkan tingkat kemiskinan dan menaikkan kesejahteraan rakyat.

Urusan data di republik tercinta ini—data sahih maksud saya—rupanya amat pelik, kalau tidak dikatakan muskil. Pertama, karena terlalu banyak instansi yang melemparkan data kepada publik: dari mulai BPS, kantor Bappenas, kantor Menteri Koor- dinator Perekonomian, kantor BKKBN (pada era Orde Baru), pihak universitas, dan Bank Dunia. Beda dengan Amerika, misalnya. Di sana hanya ada satu instansi yang diberikan otoritas untuk berbicara tentang data kependudukan dalam arti seluas-luasnya, termasuk kemiskinan, yaitu US Census Bureau.

Kedua, kriteria "miskin" berbeda antara satu instansi dan instansi yang lain. Ketiga, sesuai dengan prinsip information is power, data demografis di Indonesia sering dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu. Bahkan, BPS pun tidak selamanya bisa dipercaya, sebab BPS—terutama pada Orde Baru—bisa disetir penguasa, atau harus tunduk pada kemauan penguasa. Contoh mutakhir ketika BPS belum lama ini merilis angka-angka kemiskinan yang tampaknya kurang menyenangkan pemerintah, pimpinannya kontan "diundang" oleh Menko Perekonomian untuk diajak berkonsultasi. Hasil "konsultasi" berupa kesepakatan bahwa perlu disusun kriteria orang miskin yang lebih up to date!

Di Amerika, presiden sekalipun tidak dibenarkan mengintervensi US Census Bureau. Institusi ini benar-benar otonom sehingga setiap data dan kajian yang dirilis otomatis diterima dan dipercaya oleh masyarakat.

BPS tidak konsisten

Simaklah baik-baik beberapa data mengenai kemiskinan di Indonesia di bawah ini.

Pada November 2001 Bank Dunia mengatakan, 60 persen rakyat Indonesia tergolong miskin; 10 persen sampai 20 persen di antaranya miskin absolut. Kriteria yang dipakai adalah pendapatan 2 dollar AS/orang/ bulan. Dengan kriteria konsumsi kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari (atau Rp 90.000). BPS pada Februari 2002 menyatakan, penduduk miskin pada 2000 berjumlah 37,3 juta atau 18,95 persen.

Tanggal 27 Maret 2003, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mengemukakan jumlah orang miskin di Indonesia 34,8 juta atau 18,2 persen. Tanggal 23 Januari 2005 Bank Dunia merilis data yang mengejutkan: 110 juta penduduk RI miskin karena penghasilannya di bawah 2 dollar AS/hari.

Menjelang pengumuman kenaikan harga BBM yang kedua kalinya, BPS pada 13 September 2005 merilis data 37,2 juta penduduk miskin (16,9 persen). Jika kenaikan harga BBM mendongkrak inflasi menjadi 15 persen, maka garis kemiskinan menjadi Rp 175.000 sehingga jumlah orang miskin menjadi 62 juta jiwa. Namun, kalau harga BBM naik 95 persen, garis kemiskinan menjadi Rp 190.000 hingga Rp 200.000, sedangkan orang miskin bertambah menjadi 80 juta.

Tanggal 9 November 2005 BPS mengatakan, akibat kenaikan harga BBM sebesar 126 persen pada 1 Oktober 2005, garis kemiskinan yang semula Rp 150.000/bulan dan "mendekati miskin" sebesar Rp 175.000 tidak lagi akurat. Jumlah orang miskin bertambah 8,6 juta menjadi 24,1 juta. Sehari kemudian, Sri Mulyani yang menjabat Ketua Bappenas mengakui bahwa garis kemiskinan meningkat menjadi Rp 175.000/bulan akibat kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 dan pemerintah kewalahan menambah dana BLT, sebab penambahan penduduk yang mengaku miskin sangat besar.

Perhatikan baik-baik betapa tidak konsisten BPS dengan data yang dibuatnya sendiri. Jika harga BBM naik 95 persen, jumlah orang miskin menjadi 80 juta, menurut BPS. Namun, ketika pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM sebesar 126 persen, BPS mengatakan jumlah orang miskin bertambah 8,6 juta menjadi 24,1 juta...!

September nanti BPS dijadwalkan akan merilis hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang terbaru. Kita tidak tahu bagaimana BPS merilis angka kemiskinan terbaru yang tampaknya harus "disesuaikan" dengan angka yang sudah diumumkan oleh Presiden Yudhoyono pada 16 Agustus. Bisakah BPS jujur sejujurnya, bahkan menolak tekanan penguasa dalam bentuk apa pun dalam membuat data?!

Tjipta Lesmana Anggota Kelompok Kerja Ketahanan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home