| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, February 08, 2007,6:34 PM

Siapa Butuh IMF?

Fabby Tumiwa

"The IMF has today become completely irrelevant!"

Itulah pernyataan Jayati Gosh, profesor ekonomi Universitas Jawaharlal Nehru. Dalam sebuah pertemuan di Washington, mantan staf IMF Denis de Tray mengungkapkan hal senada, "Fund lost its legitimacy then, and it never recovered it" (Focus on the Global South, 2006).

IMF bersama Bank Dunia didirikan tahun 1944. Pendirian keduanya yang dikenal sebagai Bretton Woods Institutions merupakan reaksi dari depresi ekonomi tahun 1930-an dan kebutuhan mendukung pembangunan Eropa pasca-Perang Dunia II.

Misi utama

Ketika didirikan, IMF memiliki dua misi utama.

Pertama, stabilisasi nilai tukar mata uang yang dipatok dengan nilai emas. Misi ini ambruk saat terjadi krisis keuangan dunia tahun 1971-1973.

Kedua, memberi pinjaman jangka pendek bagi negara-negara miskin dan berkembang yang mengalami kesulitan neraca pembayaran, dan tahun 1970-an memberi pinjaman modal jangka pendek bagi negara-negara industri, klien utama lembaga ini dua dekade sebelumnya. Seiring berakhirnya perang dingin, jumlah anggota IMF meningkat, dari 25 saat didirikan menjadi 185 negara.

Setelah kehilangan misi awalnya, IMF menetapkan misi baru, yaitu manajemen krisis sambil menyediakan fasilitas pinjaman jangka pendek bagi negara berkembang yang tidak memiliki akses terhadap pasar uang.

Saat pembiayaan jangka pendek tidak lagi relevan, IMF bersama Bank Dunia menyusun program asistensi jangka menengah dan panjang bagi negara-negara berkembang. Strategi baru ini membuat IMF tidak lagi berperan sebagai pusat sistem moneter internasional, tetapi lembaga khusus yang memberi bantuan bagi negara berkembang.

Strategi itu semula ditentang John Maynard Keynes, ekonom yang menjadi inisiator berdirinya Bretton Wood Institutions (Buira, 2002: The Governance of International Monetary Fund).

Tidak hanya itu, sejumlah kalangan mempertanyakan kapasitas staf IMF dalam mengadopsi strategi baru ini, termasuk penggunaan model financing programming. Studi mantan ekonom Bank Dunia, Wiliam Easterly (An Identity Crisis: Examining IMF Financial Programming, 2004), menyimpulkan, dalam aplikasi langsung, financing programming tidak secara baik memperkirakan atau menjelaskan target variabel, bahkan saat berbagai komponen identitas diketahui pasti. Easterly menyarankan agar staf IMF mengacu teori makroekonomi dan fakta empiris di luar financing programming untuk merancang paket program stabilisasi (stabilization package).

Memaksakan kebijakan

Komposisi staf IMF yang didominasi mayoritas ekonom negara-negara G-7 (khususnya AS dan Inggris) dari aliran neoklasik juga dikritik. IMF dituding sebagai lembaga yang memaksakan kebijakan deregulasi, liberalisasi finansial, dan privatisasi kepada negara-negara berkembang melalui berbagai persyaratan (conditionalities) yang menyertai paket pinjaman dan program stabilisasi IMF.

Rancangan kebijakan IMF amat dipengaruhi kepentingan negara-negara yang memiliki voting power terbesar, khususnya AS, sehingga tidak ada ruang bagi negara-negara berkembang untuk merumuskan kebijakan yang akhirnya harus mereka adopsi.

Oleh banyak pihak, IMF juga dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya krisis finansial 1997 di Asia. Alasannya, pada tahun-tahun sebelum krisis lembaga ini mendesakkan kebijakan untuk mengakhiri kontrol kapital (capital controls) yang mutlak diikuti negara-negara di Asia.

Berpihak pada kreditor

Liberalisasi keuangan menarik miliaran dollar dana spekulasi dari 1993-1997, sebaliknya tidak ada hambatan saat dana-dana itu ditarik keluar di awal krisis. Dalam beberapa minggu, sekitar 100 miliar dollar AS lari dari Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea Selatan yang dalam sekejap meruntuhkan ekonomi negara-negara itu.

IMF juga dituding terlalu berpihak pada kepentingan kreditor dan investor. Paket penyelamatan yang dirancang IMF tidak ditujukan untuk menyelamatkan ekonomi, tetapi mengamankan pembayaran tunggakan kepada kreditor dan investor.

Sebagai contoh, penerapan kebijakan Lending into Arrears (LIA) yang memungkinkan IMF memberi dukungan pembayaran bagi negara yang memiliki tunggakan kepada kreditor swasta.

Berdasarkan sejumlah kasus, penerapan kebijakan ini dinilai tidak konsisten dan IMF jarang memainkan peran konstruktif dalam menyeimbangkan kepentingan pihak yang berutang (sovereign debtors) dan kreditor.

IMF malah menggunakan instrumen LIA untuk memaksakan pandangan dan keberpihakannya kepada kreditor asing daripada negara-negara pengutang (Simpson, 2006: The Role of IMF in Debt Restructuring: Lending into Arrears, Moral Hazard and Sustainability Concerns). Apakah ini terjadi untuk kasus Indonesia? Perlu diselidiki lebih lanjut.

Berdasar data pinjaman, IMF makin kehilangan legitimasi dan peran. Kian sedikit negara yang berutang ke IMF. Tahun 2003, jumlah pinjaman 72 miliar dollar menjadi 37,4 miliar dollar (2005) dan 15,3 miliar dollar (2006). Dari jumlah itu, 80 persen (12,2 miliar dollar) pinjaman Turki.

Negara-negara yang meminjam—Thailand, Argentina, Indonesia, Brasil, dan Uruguay—memutuskan untuk mempercepat pengembalian pinjaman (Schuldt, 2006). Percepatan ini mengakibatkan penerimaan bunga pinjaman IMF berkurang drastis dari 3,19 miliar dollar (2003) menjadi 1,39 miliar dollar (2006) dan 635 juta dollar (2009).

Percepatan pembayaran Brasil dan Argentina memotong potensi penerimaan bunga IMF 1,75 miliar dollar. Berkurangnya pendapatan mengakibatkan menipisnya anggaran IMF, bahkan bisa mengakibatkan kesulitan finansial serius jika tidak ada dukungan dana operasional anggotanya. Akan amat aneh jika lembaga yang bertugas membantu negara keluar dari krisis keuangan justru mengalami krisis.

Kedatangan Managing Director IMF Rodrigo Rato, 23-24 Januari di Jakarta—apa pun agendanya—tidak perlu disikapi berlebihan oleh para ekonom pemerintah. Sebaliknya, para ekonom pemerintah harus lebih kritis dan menuntut tanggung jawab IMF atas salah terapinya terhadap ekonomi kita yang berakibat hingga kini.

Indonesia juga harus tegas menuntut agenda reformasi tata kelola (governance) lembaga ini, yang gagal disepakati dalam pertemuan di Singapura tahun lalu. Dalam kondisi krisis legitimasi, peran, dan anggaran, sepertinya IMF yang lebih membutuhkan kita. Mungkin Presiden SBY berani menyatakan, "Siapa butuh IMF, Mr Rato?"

Fabby Tumiwa Aktivis Organisasi Nonpemerintah, Pemerhati Masalah Ekonomi-Politik dan Globalisasi

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home