| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, December 10, 2006,1:10 PM

Pengadaan Senjata dari Rusia

Edy Prasetyono

Keputusan pemerintah untuk membeli persenjataan dari Rusia merupakan angin segar modernisasi alat utama sistem persenjataan TNI.

Rusia akan memberi kredit lunak satu miliar dollar AS. Persenjataan yang akan dibeli mencakup pesawat tempur (Sukhoi), kapal selam, dan helikopter serbu untuk angkatan darat.

Pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Rusia dengan penekanan pada senjata-senjata pemukul harus dijadikan titik awal untuk membangun TNI yang tangguh dan modern sesuai perubahan lingkungan strategis. Indonesia yang menempati posisi strategis di kawasan mempunyai beban kepentingan keamanan amat besar. Wilayah laut dan udara yang luas serta wilayah darat yang terpencar dalam ribuan pulau mensyaratkan perlunya pembangunan kekuatan militer dengan kemampuan gerak cepat.

Dasar lainnya, di kawasan Asia Pasifik, Indonesia jauh tertinggal dalam mengembangkan kekuatan militer. Sejak awal 1990-an, hampir semua negara di kawasan melakukan modernisasi militer dengan penekanan pada kekuatan yang dapat digunakan untuk melakukan proyeksi ke luar batas nasional. Ini sesuai karakter geografis kawasan yang terbuka yang membutuhkan pengembangan kekuatan laut dan udara. Pengembangan kekuatan militer Indonesia harus memerhatikan hal ini. Jika tidak, Indonesia tidak akan mempunyai daya tangkal yang kredibel (credible deterrent effect). Lebih buruk lagi, tanpa modernisasi alutsista, Indonesia hanya menjadi penonton di lingkungan Asia Pasifik.

Rencana strategis

Hal lain lagi, pengadaan senjata harus dibarengi rencana strategis (strategic planning) ke depan. Rencana strategis pertama pada tingkat regional. Selain merupakan keharusan geostrategis seperti disebutkan di atas, pengadaan senjata ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada satu pemasok. Di sini peran India dalam konstelasi strategis kawasan amat penting. Tidak hanya potensial menjadi mitra kerja sama pertahanan karena kemampuan produksi dalam negeri berbagai senjata versi Rusia, tetapi juga potensial untuk menjadi kekuatan penyeimbang di kawasan. India juga berkepentingan dengan Indonesia untuk mengembangkan kerja sama maritim di sekitar perairan Andaman dan Nicobar. India telah mengembangkan produksi Sukhoi versi Irkutz yang lebih kompatibel dengan alutsista jenis lain dibandingkan Sukhoi versi Knapoo. Jika kerja sama Indonesia-India dapat dikembangkan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada pemasok tertentu, sekaligus mempunyai makna keseimbangan strategis di kawasan, terutama dalam hubungan segi tiga antara India, Indonesia, dan China. Intinya, dengan pengadaan senjata ini serta langkah-langkah lanjutan yang konsisten dan berkesinambungan dalam mengembangkan kerja sama keamanan di kawasan, Indonesia bisa menjadi pusat interaksi strategis di kawasan. Penandatanganan perjanjian keamanan Indonesia-Australia dapat dilihat sebagai langkah vital dalam kerangka ini.

Cetak biru pertahanan

Rencana strategis kedua adalah pada tingkat nasional, yaitu perlunya perubahan strategi pertahanan. Intinya, harus segera dibuat cetak biru pertahanan Indonesia 25-30 tahun mendatang. Pertanyaan besarnya, pertahanan Indonesia seperti apa yang akan mampu menjawab tantangan ke depan? Bagaimana karakter pertahanan Indonesia di masa depan?

Harus dihindari jangan sampai pengadaan senjata dari Rusia hanya merupakan langkah tambal sulam, tanpa strategi pertahanan dalam jangka panjang. Senjata adalah komoditas yang menyedot sumber nasional. Karena itu harus efisien. Efisiensi hanya lahir melalui perencanaan yang matang dan sesuai kepentingan dan tantangan ke depan. Dengan kata lain, senjata hanya mempunyai makna dalam suatu sistem dan strategi pertahanan.

Paradigma pertahanan

Amat penting untuk digarisbawahi bahwa pengadaan senjata dari Rusia ini harus menjadi titik tolak mengubah pemikiran konvensional tentang kebijakan dan strategi pertahanan. Selama ini sering dipahami bahwa karena gangguan dan ancaman keamanan Indonesia sebagian besar berasal dari dalam negeri, maka pengembangan kekuatan pertahanan harus diarahkan untuk menghadapi ancaman internal itu.

Pandangan itu tidak berdasar. Sebagian besar ancaman internal, bahkan ketika menjelma menjadi suatu ancaman kekuatan bersenjata, adalah hasil kegagalan interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Pemecahannya lebih banyak melalui pendekatan nonmiliter. Selain itu, bahkan seandainya ancaman internal itu harus dihadapi secara militer, hal ini bisa dilakukan melalui operasi militer secara ad hoc. Dengan demikian, ancaman bersenjata internal tidak dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan strategi dan kekuatan pertahanan yang kredibel.

Pengadaan senjata dari Rusia diharapkan menjadi pintu masuk perubahan. Masalah signifikan yang masih tersisa adalah transparansi prosedur pengadaan.

Edy Prasetyono Ketua Departemen Hubungan Internasional, CSIS Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home