| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, October 04, 2006,1:58 PM

Pro-Kontra Hak Pilih TNI

Oleh Kacung Marijan

Sebagai bagian dari demokratisasi, hak politik TNI-Polri telah "dipasung" pasca runtuhnya pemerintahan Soeharto. Di DPR(D), misalnya, posisi TNI-Polri telah dimarginalkan pada periode 1999-2004. Bahkan, setelah Pemilu 2004, TNI-Polri tidak lagi memiliki jatah di lembaga perwakilan rakyat setelah sekian lama menikmati jatah kursi tanpa ikut pemilihan.

Pemasungan seperti itu tidak lepas dari anggapan bahwa kuatnya militer di panggung politik selama lebih dari tiga dekade merupakan salah satu simbol penting dari otoritarianisme. Karena demokratisasi merupakan titik balik dari otoritarianisme, mengendalikan militer masuk kembali ke ranah politik dipandang sebagai suatu keharusan.

Pertanyaannya, sampai seberapa lama hak politik TNI-Polri itu harus "dipasung"? Meski hanya secara tersirat, kelompok prodemokrasi berargumen bahwa hak itu, khususnya hak memilih di dalam pemilu, baru bisa diberikan setelah TNI-Polri melakukan reformasi.

Gerakan reformasi itu, antara lain, adanya pemisahan TNI-Polri, restrukturisasi lembaga Koter, pelimpahan bisnis TNI-Polri kepada negara, dan pengakuan tentang supremasi sipil atas militer.

Di antara agenda penting itu, baru pemisahan TNI-Polri yang bisa dilakukan secara baik. Melalui pemisahan itu, diharapkan terdapat pembagian ranah yang jelas antara TNI dan Polri. TNI lebih berkonsentrasi mengatasi masalah-masalah pertahanan, sedangkan Polri lebih pada masalah-masalah keamanan.

Untuk agenda lain, hal itu masih berproses. Restrukturisasi lembaga Koter yang pernah didengungkan cukup kuat oleh Letjen Agus Widjoyo, misalnya, mengalami kelambatan karena ada pro dan kontra tentang perlu tidaknya restrukturisasi itu. Penyerahan bisnis TNI kepada negara juga lambat.

Berangkat dari realitas itu, kelompok-kelompok prodemokrasi, termasuk sejumlah politisi di DPR, berpandangan bahwa untuk sementara hak politik TNI-Polri tetap harus "dipasung". Hak itu bisa diberikan manakala TNI-Polri mampu menunjukkan bahwa mereka telah melakukan reformasi sehingga sosoknya berbeda dengan sebelumnya.

Terdapat kekhawatiran, ketika hak politik itu diberikan, sementara proses reformasi internal belum berjalan baik, TNI-Polri akan kembali terjebak oleh ranah politik praktis. TNI-Polri, misalnya, secara kelembagaan bisa terseret oleh aksi dukung-mendukung terhadap kekuatan politik tertentu.

Di sisi lain, diberikannya hak politik dikhawatirkan bisa mengganggu tingkat kohesivitas di tubuh TNI-Polri. Mengingat afiliasi politik masing-masing personel berbeda-beda, pembuatan kebijakan-kebijakan dan pelaksanaannya bisa mengalami gangguan. Implikasinya, profesionalisme di tubuh TNI-Polri juga bisa terganggu.

***

Tetapi, bagi yang pro, pemberian hak politik kepada anggota TNI-Polri tidak harus menunggu tuntas dan jelasnya proses reformasi di tubuh TNI-Polri. "Pemasungan" selama sepuluh tahun dipandang sebagai waktu yang cukup untuk membuka ruang hak pilih TNI di dalam pemilu.

Secara substansial, pemberian hak pilih kepada TNI-Polri memang berbeda dengan wacana membawa kembali TNI-Polri ke wilayah politik sebagaimana terjadi pada masa sebelumnya.

Pada pemerintahan Orde Baru, TNI-Polri tidak memiliki hak pilih. Tetapi, mereka memiliki privileges yang tidak dimiliki kekuatan-kekuatan sosial politik lain. Mereka, misalnya, memiliki wakil di DPR/D tanpa harus mengikuti pemilu.

Mereka juga bisa menduduki jabatan-jabatan politik lain dan menjadi pemain utama di dalam proses politik. Posisi demikian tidak lepas dari dua peran yang dimilikinya, yaitu peran pertahanan dan keamanan serta peran sosial politik.

Memberikan hak pilih TNI-Polri dalam pemilu tidak berarti mengembalikan privilages politik seperti itu. Di dalam konteks Indonesia yang berproses menjadi demokrasi seperti sekarang, langkah seperti itu tidak bisa dilakukan. Proses demokrasi telah melesat dan tidak bisa dibelokkan kembali ke arah otoritarianisme.

Di negara-negara yang demokrasisinya sudah mapan, implementasi hak politik militer tidak sama. Ada negara yang hanya memberikan hak pilih, ada juga negara yang memberikan hak pilih sekaligus hak untuk dipilih.

Pilihan untuk Indonesia adalah pemberikan hak pilih di dalam pemilu. Pilihan seperti itu mirip dengan pilihan yang telah diberikan kepada birokrasi (pegawai negeri) sejak Pemilu 1999. Pegawai negeri tidak boleh terlibat dalam partai politik tertentu. Tetapi, mereka bisa menggunakan hak pilihnya.

TNI-Polri juga demikian. Mereka bisa menggunakan hak pilihnya, tetapi dilarang terlibat di dalam aksi dukung-mendukung terhadap partai politik tertentu. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menjaga netralitas dan profesionalitas TNI-Polri.

Masalahnya, kapan hak itu bisa diberikan? Argumen bahwa pelaksanaan hak pilih TNI-Polri itu perlu ditunda untuk memberikan kesempatan kepada TNI-Polri agar mereformasi diri patut direnungkan.

Tetapi, kekhawatiran bahwa penggunaan hak itu, katakanlah dalam Pemilu 2009, akan menjadikan TNI-Polri set back seperti sebelumnya juga berlebihan. Pertama, pada Pemilu 2009, hak politik TNI-Polri telah sepuluh tahun "dipasung". Dalam kurun waktu itu, tentu saja telah terjadi perubahan-perubahan pola berpikir anggota TNI-Polri mengenai ranah politik.

Kedua, kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat sekarang telah tumbuh relatif "lebih otonom". Kekuatan demikian akan menjadi batu sandungan yang luar biasa, katakanlah ketika terdapat gerak TNI-Polri untuk kembali ke pola lama.

Ketiga, upaya untuk membawa birokrasi ke wilayah yang netral dalam berpolitik di dalam dua kali pemilu cukup berhasil. Secara umum, wajah pegawai negeri kita saat ini cukup netral secara politik, meski belum profesional betul.

Kacung Marijan PhD, staf pengajar pada Fisip Universitas Airlangga

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home