| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, October 04, 2006,2:01 PM

Hak Pilih TNI 2009, Keniscayaan?

Oleh Lirih Ifa Anisah

Sejak rezim Soeharto runtuh pada 1998, peran TNI mengalami perubahan signifikan. TNI tidak lagi menjadi alat pertahanan dan keamanan, tetapi hanya sebagai alat pertahanan negara. Sementara itu, masalah keamanan dan ketertiban negara diurusi Polri. TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis, baik di dalam parlemen maupun partai politik. Karena itu, muncul isu kuat, apakah mungkin TNI menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009?

Tampaknya, keinginan TNI untuk mendapatkan hak pilihnya tidak berjalan mulus. Hal itu terbukti dengan adanya pendapat pro dan kontra. Terdapat berbagai macam pendapat kelompok yang menentang hak pilih TNI. Namun, ada juga beberapa pendapat cukup kuat yang digunakan kelompok pendukung hak pilih TNI.

Ketakutan

Kekhawatiran serta rasa waswas akan muncul ketika orang atau kelompok tersebut pernah mengalami hal yang buruk terhadap sesuatu. Dengan begitu, ketika kita kembali pada masa awal mula terjadinya perombakan fungsi TNI, dari dwifungsi ABRI menjadi hanya sebagai alat pertahanan negara, mereka atau kelompok tersebut memiliki pendapat tersendiri.

Pendapat kelompok yang memiliki pandangan tersebut adalah pertama, dalam negara modern, perlu dipisahkan secara jelas antara peran tentara dan peran masyarakat di luarnya (sipil), yaitu dalam hal pertahanan negara.

Kedua, jika kemampuan militer TNI digunakan untuk fungsi lain, misalnya dalam politik, hal itu dapat menimbulkan banyak implikasi negatif dan menuju ketidakadilan. Ketiga, secara empiris, TNI dalam politik telah melahirkan arogansi kekuatan, terutama dari kalangan tertentu atas kelompok nonmiliter.

TNI dalam sejarah politik nasional sering dijadikan sebagai alat kekuasaan yang sangat memihak pemerintah. Mereka merasa pesimistis terhadap perilaku TNI untuk mendorong negara menjadi demokrasi.

Karena itu, menurut Ulf Sundhaussen, pada umumnya militer dihadapkan pada empat pilihan. Pertama, mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi. Kedua, mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi. Ketiga, mengembalikan kekuasaan pada sipil dan membatasi partisipasi serta keempat, mengembalikan kekuasaan pada sipil seraya memperluas partisipasi.

Dengan begitu, kelompok tersebut menginginkan TNI sepenuhnya "kembali ke barak". TNI harus menjadi lembaga pertahanan negara serta melepaskan semua aktivitas politiknya.

Kelayakan Memiliki Hak Pilih

Namun, ketika kita dihadapkan dengan layak tidaknya TNI dalam memperoleh hak pilihnya kembali, ternyata TNI memiliki beberapa alasan.

Pertama, hak pilih yang diperjuangkan TNI tersebut dapat digolongkan dalam hak asasi anggota TNI. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Mahakuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (pasal 1 angka 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Kedua, tidak adanya undang-undang dalam pemilu yang cukup kuat melarang TNI dalam memilih. Seperti Undang-Undang No 12 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Bab III tentang Hak Pilih pasal 13 yang berbunyi, "Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih."

Di sana hanya tertulis bahwa semua warga negara Republik Indonesia dan memiliki pengertian bahwa semua orang yang bertempat tinggal serta terdaftar menjadi warga negara di Indonesia serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam membela negara.

Ketiga, itu hanyalah sebuah hak pilih, bukan hak dalam berpolitik. Partisipasi yang dimiliki masih tergolong dalam batas pasif, belum aktif. Setelah melakukan hak memilih, mereka akan kembali pada aktivitas sebelumnya. Itu berbeda dengan hak berpolitik yang dapat digunakan untuk berpartisipasi aktif dalam perpolitikan. Hak berpolitik pun memungkinkan orang untuk menjadi yang dipilih maupun kelompok penekan.

Keempat, legitimasi serta keangkeran yang biasa melekat dalam diri TNI di mata masyarakat sudah mulai meluntur. Masyarakat sudah tidak setakut pada rezim Orde Baru kemarin. Karena itu, kearogansian serta kemampuan dalam merepresif masyarakat sudah tidak mampu lagi untuk memengaruhi masyarakat.

Selain keempat alasan di atas, ternyata ada sedikit ketakutan yang harus dijabarkan. Yaitu, hegemoni struktur TNI yang cukup kuat. Ketakutan itu dimiliki para pesaing pemimpin dalam pemilu. Maksudnya, rata-rata TNI cenderung untuk mengikuti apa kata pemimpinnya. Di sini, yang paling penting adalah regulasi jelas dan tegas sehingga semua pemimpin dan prajurit TNI tidak bisa melakukan hak pilih pribadinya sebagai warga negara Indonesia.

Kesimpulan saya, TNI pun layak memiliki hak memilih dalam Pemilu 2009. Sebab, kondisi masyarakat Indonesia saat ini sudah berbeda dengan masyarakat pada rezim Orde Baru. Masyarakat sekarang sudah memiliki kebebasan dalam berbicara serta mengerti masalah perpolitikan di Indonesia sehingga dapat mengontrol TNI dalam menggunakan hak pilihnya.

Lirih Ifa Anisa, mahasiswi Ilmu Politik Fisip Unair

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home