| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, October 04, 2006,1:56 PM

Pro-Kontra Atas Keikutsertaan TNI Dalam Pemilu

Hisar Sitanggang

Jakarta (ANTARA News) - Trauma atas penggunaan kekuatan TNI sebagai alat kekuasaan di era Orde Baru tampaknya masih belum bisa dilupakan rakyat Indonesia, sehingga nyaris TNI selalu menjadi pusat perhatian partai-partai politik di Indonesia, baik di Pemilu Pilres 2004, Pilkada, maupun dalam Pemilu 2009.

Padahal, TNI sebagai alat negara nyaris selalu mengampanyekan bahwa politiknya adalah politik negara, dan tidak akan pernah lagi mengulangi kesalahan di masa lalu di mana TNI digunakan sebagai alat kekuasaan.

Ketika pensiunan militer, yakni Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Pemilu 2004, berkembang berbagai analisis, di antaranya ada yang menyebutkan kemenanangan pensiunan militer itu sebagai simbol runtuhnya kepercayaan rakyat kepada regim sipil, dan pulihnya kepercayaan rakyat kepada militer.

Karena itu sejumlah perwira aktif militer dipinang sejumlah partai politik untuk ikut Pilkada pada 2005 dengan harapan bisa meraih kemenangan sebagaimana terjadi dalam Pemilu Pilres.

Keikutsertaan prajurit aktif TNI itu mendapatkan tanggapan dari banyak pihak, baik yang mendukung maupun menentangnya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada satu pun anggota TNI aktif itu yang terpilih sebagai kepala daerah.

Kini TNI kembali melontarkan harapannya agar bisa menggunakan hak pilihnya mulai Pemilu 2009, karena mereka sebagai warga negara memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya, yakni masyarakat sipil.

Keinginan TNI itu pun mendapatkan dukungan maupun tentangan dari sejumlah kalangan. Mereka membandingkannya dengan Pemilu di negara-negara lain, yakni negara yang mengizinkan militernya menggunaka hak pilih seperti di AS, atau negara yang tidak mengizinkan militernya ikut Pemilu, misalnya Singapura.

Apakah TNI itu tetap solid dan bisakah mempertahankan netralitasnya menjadi pertanyaan di kalangan partai politik maupun pengamat, sementara sesepuh militer mempertanyakan apakah TNI itu bisa tetap mempertahankan jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan Tentara Nasional Indonesia, jika menggunakan hak politiknya melalui partai politik di Pemilihan Umum.

Menurut Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, TNI akan tetap solid meski setiap prajurit memiliki aspirasi politik yang berbeda pada Pemilu 2009.

Dengan kata lain, TNI tidak akan terpecah-pecah meski masing- masing prajurit memilih Parpol tertentu sebagai penyaluran aspirasi politiknya.

Menurut dia, menggunakan hak pilih adalah hak setiap warga negara Indonesia. Ketidakikutsertaan TNI di Pemilu 2004 demi mempertahankan soliditas TNI, meski hal itu melanggar hak prajurit sebagai warga negara. Makin cepat TNI bisa menggunakan hak politiknya disebutkannya semakin baik.

Tokoh Partai Golkar, Akbar Tanjung, juga termasuk elite politik yang mendukung TNI menggunakan hak politiknya mulai Pemilu 2009. Namun, ia meminta agar TNI tetap mempertahankan komitmennya untuk tetap bersikap netral dan tidak terjun ke politik praktis, melainkan tetap harus sebagai alat negara yang profesional.

Meski mendukung TNI ikut Pemilu, Akbar malah menyarankan prajurit aktif TNI tidak mencalonkan diri dalam Pilkada.

Kajian serius

Pendapat pengamat politik LIPI, Indria Samego, agaknya perlu dipertimbangkan, yakni perlu dilakukan pengkajian serius apakah TNI sudah siap menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009 atau tidak.

Disebutkannya, TNI sebagai warga negara, berhak menggunakan haknya jika dikaji secara hukum dan undang-undang. Namun, TNI itu berbeda dengan sipil, yakni militer memegang senjata, sedangkan sipil tidak.

Sementara itu, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal (Purn) Tyasno Sutarto, mengatakan TNI seharusnya tidak dibolehkan terlibat dalam politik praktis dengan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu, karena politik TNI itu adalah politik negara, dan bukan politik Parpol.

"Jika ikut memilih pada Pemilu, misalnya pada Pemilu 2009 atau 2014, berarti TNI itu sudah terlibat dalam politik praktis, yakni menggunakan hak suaranya dengan memilih Parpol tertentu. Sementara TNI itu adalah tentara rakyat, tentara pejuang, dan Tentara Nasional Indonesia, yang komitmennya hanya untuk membela kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya," kata mantan Kepala BAIS itu.

Disebutkannya, TNI jika menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009 memang dimungkinan tetap solid, karena soliditas itu bisa dibentuk melalui pendidikan, latihan, dan peningkatan disiplin serta profesionalisme prajurit.

"Solid atau tidak, itu tergantung banyak faktor. Soliditas bisa dibentuk melalui pendidikan dan latihan. Namun, harus diingat bahwa politik TNI itu adalah politik negara, artinya TNI harus membela kepentingan rakyatnya, bangsa dan negara," katanya.

Dia mengkhawatirkan jika TNI ikut pemilihan dalam Pemilu maka TNI itu secara perlahan akan kehilangan jatidirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan Tentara Rakyat Nasional.

Menurut dia, aspirasi TNI memang harus ditampung, namun bukan melalui Pemilu. Aspirasi itu, misalnya, bisa ditampung di MPR melalui utusan golongan bersama unsur golongan lain.

Ketua PNBK Eros Djarot juga termasuk elite politik yang menentang keinginan TNI menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, karena TNI itu adalah alat negara.

Tokoh PAN Amien Rais juga mengatakan agar TNI tidak diberi hak untuk dipilih atau memilih dalam Pemilu 2009 untuk menjaga netralitasnya sebagai alat negara.

"Kalau sampai ikut Pemilu lantas ada `like and dislike` . Kemudian kalau dia masuk Parpol tertentu, Parpol lain dianggap saingan, musuh politik dan lain-lain. Jadi sebaiknya yang sudah masuk TNI biarlah menjadi milik bangsa, tidak usah diberi hak memilih dan dipilih," katanya.(*)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home