| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, October 04, 2006,2:04 PM

Sudahlah, ke Barak Saja!

Oleh Dody Firmansyah

"Berhentilah bermain politik praktis, hormati hukum dan HAM, jangan mudah tergoda, petik pelajaran dari masa lalu." (Susilo Bambang Yudhoyono, 21/09/2006, di Mabes TNI)

Sebuah pergumulan wacana yang belum mencapai konsensus hingga kini adalah di mana peran dan kedudukan TNI. Memang, jika dirunut dari sejarah bangsa, peran TNI dalam politik bagai sebuah entitas yang tidak terpisahkan. Sebab, sebagaimana dikatakan Salim Said, hubungan tentara dan politik sama tuanya dengan usia republik ini.

Namun, sejak Soeharto lengser, rakyat mulai berani menggugat eksistensi TNI sebagai institusi militer yang dinilai gagal mengendalikan keadaan dan keamanan masyarakat. Itu terbukti dengan maraknya aksi terorisme di tanah air. Begitu pula ketika isu penggunaan hak pilih TNI pada Pemilu 2009 digulirkan, banyak kritik pedas yang dilontarkan masyarakat terhadapnya.

Bagaimana kemungkinannya? Jika membaca pesan presiden tadi, tampaknya TNI untuk sementara belum mendapat restu dari presiden sekaligus panglima tertinggi TNI untuk kembali turun ke arena politik praktis dan -terkadang- pragmatis. Presiden, tampaknya yakin, jika TNI kembali ke dunia politik, rakyat akan memprotesnya dan mungkin berpotensi akan memecah belah TNI.

Memang betul apa yang disampaikan presiden, mengembalikan hak pilih TNI, saya kira, hanya akan menambah masalah dan makin membuat stabilitas politik dan keamanan terganggu, kenapa? Pertama, TNI adalah alat negara, bukan alat parpol. Jika TNI mendukung salah satu parpol yang memungkinkan terdapat konflik ketika pemilu, Indonesia rawan terjadi perang saudara. TNI akan disibukkan oleh dukung-mendukung parpol masing-masing, bukan menjalankan fungsinya sebagai pengaman pemilu.

Hal itu pernah terjadi di Indonesia, ketika TNI diberi keleluasaan dalam berpolitik sehingga pada masa Orla, AURI menjadi salah satu alat PKI untuk menggulingkan Soekarno. TNI juga disebut-sebut memiliki andil besar dalam upaya pembunuhan para jenderal yang dikenal dengan sebutan G 30 S PKI.

Dari peristiwa itu, TNI hendaknya mampu memetik hikmah di balik tragedi kelam yang dialami bangsa ini. Jangan sampai hal itu terulang dan merugikan rakyat serta TNI sendiri.

Kedua, TNI dituntut profesional. Apa makna profesionalisme? Sederhana saja, TNI hanya mengurusi masalah pertahanan dan keamanan bangsa dari serangan asing. Tentara harus ikhlas untuk memberikan keleluasaan politik kepada sipil. Militer jangan lagi menggunakan cara Orde Baru dalam mengadu domba kekuatan politik sipil dengan jalan infiltrasi intelijen yang canggih dan rapi, tetapi juga amat kasar.

Singkatnya, tentara wajib mengerti tugas dan perannya dalam menjaga reformasi dan demokratisasi dengan mengurusi satu bidang saja.

Ketiga, hak pilih TNI mengkhianati agenda reformasi. Salah satu tuntutan mahasiswa medio ’98 adalah dihapuskannya dwifungsi TNI. Meski dalam makna dan implementasi yang berbeda, hak pilih TNI, menurut saya, merupakan embrio lahirnya dwifungsi TNI yang sebenarnya, yaitu menghendaki TNI kembali duduk di parlemen. Itu adalah persoalan politik. Tidak ada jaminan bahwa TNI tidak akan meminta hak politik yang lebih menguntungkan, misalnya dengan meminta jatah kursi di DPR pada Pemilu 2009.

Jika benar, Orde Baru jilid II akan kembali hadir di Indonesia dan reformasi di tubuh militer hanya menjadi jargon kosong. Untuk itu, semua pihak harus waspada agar potensi tersebut diamputasi sejak dini dan tidak menjadi penyakit yang lebih parah.

Warga Negara Biasa?

Pertanyaan yang mengemuka bagi kalangan yang pro terhadap hak pilih TNI dalam pemilu, antara lain, bukankah TNI warga negara biasa yang memiliki hak sama dengan warga negara lain yang bisa leluasa bermain politik? Betul, mereka memang warga negara biasa, sama dengan yang lain.

Persoalannya, sejak mereka menjadi tentara, mereka sudah berbeda dalam sejumlah hal dengan warga negara lain. Menjadi tentara berarti menjadi orang yang berkurang dalam hal kebebasan. Itulah konsekuensinya, setiap profesi apa pun memiliki risiko masing-masing. Seorang pemain sepak bola harus siap untuk mengalami patah kaki, seorang pengusaha harus siap bangkrut dan gulung tikar, petinju harus siap remuk, dan sebagainya.

Begitu pula dengan tentara, sudah risiko jika tentara tidak memiliki kebebasan sejati seperti orang sipil, itulah konsekuensi menjadi alat negara. Itu harus disadari betul oleh para tentara, mulai prajurit hingga jenderal.

Menurut Victor Silaen, menjadi alat negara berarti siap setiap saat menerima tugas atau perintah dari negara. Menjadi lucu ketika sebuah alat negara ikut-ikutan memilih orang yang akan membentuk dan menyusun anggaran dan kebijakan publik. Jika hal itu terjadi, TNI pun bisa menjadi bumper parpol dan primadona penjaring suara karena memilih anggota yang besar dan jaringan yang luas.

Untuk itu, saya kira belum saatnya TNI memiliki hak pilih pada Pemilu 2009. Saya yakin, TNI sudah cukup bahagia dan bangga melihat seniornya seperti Soeharto dan SBY menjadi presiden di negeri ini. Profesionalisme TNI-lah yang diperlukan negeri ini. Sudahlah, ke barak saja TNI!

Dody Firmansyah, mahasiswa Fisip Unair Surabaya (email: Seledod_181@yahoo.co.id)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home