| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, October 05, 2006,1:40 PM

TNI Profesional dan Dedikatif

Djoko Suyanto

Di sebagian besar negara, sejarah dan perkembangan militer adalah bagian yang terpisahkan dari sejarah pembentukan dan perkembangan bangsa. Meskipun hubungan keduanya pada periode tertentu diwarnai pasang-surut, hal itu sering memberi inspirasi dan membuka ruang untuk melakukan perubahan, baik perubahan internal militer ke arah profesionalisme maupun perubahan sistem politik yang lebih demokratis.

Perubahan sebagai anak yang terlahir dari sejarah yang tak terelakkan berlaku secara universal di hampir semua masyarakat di dunia. Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah pengecualian dari proses yang panjang tersebut. TNI berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sebenarnya bagian dari Badan Penolong Korban Perang yang dibentuk tanggal 22 Agustus 1945. Menurut keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), BKR adalah badan rehabilitasi.

Pembentukan BKR diikuti dengan berdirinya beberapa laskar dan organisasi rakyat untuk melucuti tentara Jepang. Pada saat itulah Oerip Soemohardjo mendapat tugas dari Republik yang masih muda untuk membentuk tentara reguler yang kemudian dinamakan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui suatu Maklumat Pemerintah yang ditandatangani Presiden Soekarno tanggal 5 Oktober 1945. Tanggal 5 Oktober ini selanjutnya menjadi hari kelahiran TNI.

Harus dicatat bahwa, di lapangan, laskar dan organisasi perlawanan rakyat masih mempertahankan keberadaannya. Sementara itu, nama TKR sendiri mengalami perubahan beberapa kali. Sampai pada akhirnya menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang kemudian bersama-sama dengan laskar dan organisasi perlawanan rakyat dilebur menjadi TNI melalui Penetapan Presiden tanggal 3 Juni 1947. Karakter TNI dan posturnya pada saat itu sangat ditentukan oleh kepentingan perjuangan yang menitikberatkan pada penguasaan wilayah bersama-sama dengan rakyat.

Beberapa komplikasi

Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran sejarah perjuangan yang membentuk karakter TNI memang mudah menghadirkan TNI dalam masalah sosial-politik di tengah-tengah masyarakat yang kemudian menimbulkan beberapa komplikasi terhadap profesionalisme TNI dan terhadap perpolitikan Indonesia. Namun, patut pula dipahami bahwa sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku saat itu memang memungkinkan dan menjadi legitimasi serta justifikasi keberadaan TNI dalam hiruk pikuk sosial-politik negara ini. Hal ini telah dikoreksi bersama-sama dengan seluruh lapisan masyarakat sejalan dengan reformasi dan demokratisasi di Indonesia sejak tahun 1998.

Pelajaran sejarah paling berharga dan tetap harus melekat dalam TNI adalah bahwa TNI adalah untuk Indonesia, bukan untuk golongan tertentu. Sifat dasar ini memberi landasan untuk membentuk profesionalisme TNI. Aspek ideologis-patriotisme ini ditujukan untuk membentengi TNI dari permainan-permainan politik. Karakter dasar ini pula yang mengharuskan TNI untuk mempunyai kemampuan profesional dengan skill dan kinerja yang andal.

Profesionalisme TNI diukur dari tiga hal, yaitu kompetensi, akuntabilitas, dan kesejahteraan. Kompetensi TNI adalah untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari ancaman militer bersenjata, baik dari dalam maupun dari luar. Harus digarisbawahi bahwa TNI yang andal dan kredibel tidak bisa semata-mata dibangun hanya untuk menghadapi konflik internal. Masalah-masalah internasional, wilayah perbatasan, pulau terdepan, dan masalah-masalah maritim mengharuskan TNI untuk mengembangkan kemampuan darat, laut, dan udara yang seimbang yang mampu menghasilkan efek tangkal (deterrence).

Profesionalisme TNI juga mensyaratkan TNI untuk tidak lagi terlibat dalam politik praktis dan kegiatan bisnis, sejalan dengan amanat Reformasi Internal TNI. Secara legal-formal hal ini sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pengalaman menunjukkan bahwa kedua hal ini telah membuat TNI tidak profesional dan rawan terhadap permainan kelompok-kelompok kepentingan. TNI telah menjalani pembebasan politik secara bertahap dan mulus. TNI juga telah siap untuk menyerahkan bisnis-bisnis yang dikelolanya di lingkungannya kepada pemerintah.

Hak pilih TNI

Dalam konteks pembangunan profesionalisme TNI, saat ini muncul perdebatan wacana tentang hak pilih TNI. Sebagai warga negara, hak untuk memilih adalah hak yang tetap dimiliki oleh prajurit TNI. Hak ini merupakan wujud dari hak-hak individu yang dijamin negara. Hak ini juga dijamin oleh konvensi-konvensi internasional tentang hak-hak politik dan sipil. Hak ini merupakan wujud kepedulian setiap warga negara terhadap perjalanan bangsa dan negara melalui pemilihan umum.

Yang harus dipikirkan adalah kapan hak itu akan dilaksanakan dan bagaimana pelaksanaannya. Hal ini memerlukan beberapa pengaturan khusus yang harus dipersiapkan dengan matang oleh pemerintah bersama dengan DPR untuk menghindarkan implikasi negatif dari penggunaan hak memilih oleh prajurit TNI. Masih tersedia waktu dan ruang untuk masalah ini.

Sementara itu, hak untuk dipilih memang pada hakikatnya tidak menjadi hak prajurit TNI. Oleh karena itu, yang bersangkutan menyatakan mundur (pensiun) dari TNI. Jika tidak, akan menimbulkan perpecahan di tubuh TNI karena terpecahnya anggota mereka dalam berbagai garis politik partai politik. Juga akan muncul pertanyaan, prajurit TNI yang mencalonkan tersebut akan dipilih untuk mewakili siapa? Jika mewakili partai-partai politik, akan muncul anggota TNI yang mengikuti garis berbagai partai. Ini tentu akan sangat membahayakan TNI dan membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, Panglima TNI telah mengeluarkan Surat Telegram Panglima TNI No: STR/546/2006 Tanggal 22 Agustus 2006 yang mengatur tentang keharusan mengundurkan diri/pensiun bagi anggota TNI yang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.

Pada hakikatnya, semua hal tentang hak pilih TNI menjadi tanggung jawab otoritas politik untuk menyiapkannya. TNI sebagai institusi tidak berkepentingan langsung dengan hal tersebut, kecuali jika pengaturan-pengaturan tersebut dapat mengarah kepada perpecahan dan menghambat pengembangan profesionalisme TNI.

Aspek lain profesionalisme adalah pertanggungjawaban, baik pertanggungjawaban operasional maupun pertanggungjawaban hukum. Pertanggungjawaban ini melekat pada aturan-aturan operasi militer yang harus mengacu kepada prinsip-prinsip penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang diwujudkan dalam berbagai hukum humaniter, baik yang berlaku secara internasional maupun yang telah dirumuskan dalam hukum-hukum nasional.

Akan tetapi, ini tidak cukup jika semua ketentuan tersebut tidak dirumuskan secara rinci ke dalam aturan pelibatan (rules of engagement) sehingga prajurit mempunyai kejelasan dan sekaligus perlindungan selama bertugas di lapangan. Bagi prajurit TNI, HAM adalah ketaatan prajurit terhadap hukum humaniter yang dijabarkan dalam aturan pelibatan yang jelas.

Kesejahteraan dan bencana

Pengembangan profesionalisme TNI tidak dapat dilepaskan dari aspek kesejahteraan. Pemenuhan kesejahteraan ditujukan untuk menjaga keandalan dan skill. Kesejahteraan juga merupakan konsekuensi logis dan karakter dasar militer yang harus siap mengorbankan jiwa karena tugas. Hal ini sudah menjadi nilai universal sejak pemikiran Plato tentang guardians of the state, sejak Bismarck mengembangkan tentara profesional Prusia, sejak praktik-praktik yang juga dikembangkan oleh banyak negara dalam perjalanan mereka selama ribuan tahun.

Kesejahteraan TNI juga merupakan konsekuensi logis dari hilangnya sebagian hak dari warga negara yang menjadi anggota TNI. Menjadi anggota TNI harus siap dengan segala konsekuensi, yaitu hilangnya sebagian yang dimilikinya. Namun, sebaliknya, tanpa ada unsur kesejahteraan, TNI bisa menjadi lemah.

Berbagai perkembangan terakhir menuntut adanya pengembangan kemampuan TNI untuk menghadapi berbagai bencana. Memang hal ini merupakan wilayah operasi militer, selain perang yang dilakukan dengan prinsip tidak mengurangi kemampuan TNI untuk menjalankan tugas pokoknya.

Harus diingat bahwa bencana sangat potensial terjadi di Indonesia yang merupakan wilayah ring of fire, pertemuan tiga lempeng dunia dengan tingkat kerawanan yang tinggi. Selain itu, banjir, kebakaran hutan, dan sebagainya juga sangat sering terjadi di Indonesia. Ini mungkin karakteristik unik Indonesia yang menuntut kesiapan suatu unit khusus dalam TNI untuk bereaksi secara cepat terhadap bencana yang menimpa masyarakat.

Yang menjadi persoalan, bagaimana pemerintah dapat mengintegrasikan Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (PRCPB) ke dalam suatu sistem penanggulangan bencana nasional. Integrasi pasukan reaksi cepat ini harus mencakup aspek politik dan hukum, aspek operasional—terutama pemenuhan anggaran operasi—serta aspek koordinasi dengan institusi-institusi lain.

TNI juga sangat menyadari bahwa Indonesia berada di tengah-tengah masyarakat internasional yang saat ini sangat tergantung satu sama lain. Selain itu, konstitusi kita mengamanatkan untuk memberi sumbangan kepada perdamaian internasional. Inilah dasar politik keikutsertaan Indonesia dalam berbagai operasi perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). TNI mempunyai reputasi sangat baik dalam operasi perdamaian PBB yang mengharumkan nama Indonesia di luar negeri, seperti terlihat dalam pengiriman pasukan Garuda ke Timur Tengah, Kongo, Vietnam, dan Kamboja.

Sesuai dengan prinsip politik luar negeri kita, dalam operasi perdamaian, TNI akan bersikap netral, imparsial, dan hanya melakukan operasi ini dengan mandat dari PBB. Tegasnya, Indonesia akan mengirimkan TNI untuk operasi perdamaian hanya sebagai peacekeeping sebagaimana dimaksud dalam Bab VI Piagam PBB, bukan peacemaking seperti yang tercantum pada Bab VII Piagam PBB. Tentu harus dipikirkan kesiapannya, baik pasukan, peralatan, dan perlindungan terhadap prajurit yang akan diterjunkan dalam operasi perdamaian PBB tersebut.

Jika prinsip-prinsip ke arah profesionalisme dan dedikasi di atas dapat diwujudkan secara operasional, kita yakin TNI akan menjadi kekuatan yang andal, tangguh dan modern, taat terhadap keputusan politik, dan dengan akuntabilitas yang jelas, dan bertindak sesuai dengan tataran kewenangan yang diatur oleh undang-undang. Dengan jiwa nasionalisme dan patriotisme yang merupakan warisan dan tuntutan sejarah, TNI juga akan menjadi lebih dekat dengan rakyat dan terbebas dari permainan dan kepentingan politik. Karena itulah reformasi TNI juga akan sangat penting bergantung pada seluruh bangsa Indonesia untuk menempatkan TNI pada fungsi dan tugasnya.

Dengan demikian, reformasi TNI adalah untuk kepentingan TNI dan seluruh bangunan politik yang bernama Indonesia. Perlu dipahami, reformasi TNI adalah suatu "proses" yang dinamis, yang harus senantiasa berkembang dan diperbarui sejalan dengan berjalannya waktu.

Marsekal TNI Djoko Suyanto Panglima TNI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home