| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, October 04, 2006,1:59 PM

Menimbang Hak Pilih TNI

Munafrizal Manan
Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta

Tema militer dan politik sepertinya tidak akan pernah selesai diperdebatkan di Indonesia. Tema tersebut selalu menarik dibahas dan mudah memicu kontroversi. Setiap kali ada isu atau peristiwa baru yang berhubungan dengan tema itu, perdebatan pun menjadi ramai. Pendapat pro dan kontra muncul.

Begitulah yang terjadi ketika baru-baru ini mantan panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, mengusulkan agar anggota TNI diberi hak memilih mulai Pemilu 2009. Menurut Endriartono, hak memilih anggota TNI merupakan bagian dari demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Endriartono mengakui, ketika ia melarang anggota TNI menggunakan hak memilih pada Pemilu 2004 lalu, sebenarnya ia melanggar HAM dan mencederai demokrasi. ''Hak pilih pada dasarnya bukan hak institusi. Itu hak individu setiap warga negara tanpa memandang profesi,'' demikian Endriartono.

Harus diakui, jika dilihat dari ukuran norma demokrasi dan HAM, anggota TNI memang memiliki hak politik untuk memilih dalam pemilu, yang sama dengan kaum sipil. Norma demokrasi dan HAM tidak mengenal diskriminasi politik berdasarkan latar belakang profesi. Ini telah berlaku di banyak negara yang memberikan hak memilih bagi anggota militernya.

Karena itu, diskriminasi politik atas anggota TNI dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma demokrasi dan HAM. Dengan demikian, argumen Jenderal Endriartono memang memiliki pijakan yang kuat.

Namun, gagasan untuk memberikan hak memilih kepada anggota TNI sebaiknya tidak melupakan konteks historis TNI dan dinamika internal kontemporer TNI. Dengan menyoroti dua perspektif ini, dapat diketahui perlu atau tidak memberikan hak memilih itu. Artinya, untuk menimbang memberi hak memilih kepada anggota TNI, tidak dapat hanya bersandar pada pertimbangan norma demokrasi dan HAM an sich.

Maslahat-mudharat Pada aspek historis, keterlibatan militer Indonesia dalam bidang politik telah dimulai sejak Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru, yang berlangsung selama kurang-lebih 30 tahun, militer Indonesia pernah memiliki track record terlibat dalam arena politik secara dominatif dan eksesif. Sudah cukup banyak studi yang mengupas peran militer Indonesia dalam kegiatan politik yang dipublikasikan.

Studi-studi tersebut umumnya sepakat bahwa keterlibatan militer Indonesia dalam aktivitas politik tidak hanya mengakibatkan tercipta hubungan konfrontatif antara militer dengan rakyat, tetapi juga berdampak pada buruknya profesionalitas militer Indonesia sebagai alat pertahanan negara. Singkatnya, keterlibatan militer Indonesia dalam aktivitas politik lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya, baik bagi militer sendiri maupun bagi masyarakat/negara.

Sementara pada aspek dinamika internal kontemporer TNI, kita tahu bahwa sejak era transisi politik bergulir di Indonesia --pasca-jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998-- TNI dituntut melakukan reformasi internal. Proses reformasi internal TNI itu sendiri telah mulai dilakukan dan hingga saat ini belum tuntas.

Reformasi internal TNI merupakan 'proyek raksasa' yang tentu memerlukan waktu panjang. Sebab, reformasi internal TNI itu tidak hanya bertujuan menyapih TNI dari 'limbah' aktivitas politik, tetapi juga meliputi aspek yang komprehensif --mulai dari redesain bisnis-bisnis TNI, reformulasi struktur teritorial, hingga membangun kultur dan institusi TNI yang kuat dan profesional sebagai alat pertahanan negara. Artinya, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyempurnakan reformasi internal TNI.

Sejak reformasi internal TNI digulirkan, sebetulnya TNI telah relatif berhasil mereparasi carut-marut citranya selama ini yang tercebur dalam 'limbah' aktivitas politik. TNI tidak lagi menjadi objek hujatan masyarakat. Tekad TNI melalui doktrin redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi --yang dirumuskannya untuk tidak ingin terjerembab lagi dalam arena politik serta keikhlasan TNI menghapus kursinya di legislatif dan meniadakan sistem kekaryaan-- disambut positif dan diapresiasi oleh kaum sipil. Namun, jika hasrat untuk terlibat kembali dalam gelanggang politik itu --baik secara terang-terangan atau terselubung-- kembali menonjol, maka citra positif yang telah dicapai akan ternoda lagi. Memberikan hak memilih di tengah kondisi reformasi internal TNI yang belum tuntas, berpotensi membelokkan konsentrasi TNI dari proses reformasi internalnya.

Terlalu sederhana memaknai pemberian hak memilih anggota TNI sekadar urusan memberikan hak suara sebagai warga negara dalam bilik-bilik tempat pemungutan suara. Sebab sekali TNI dilibatkan atau melibatkan diri dalam aktivitas politik, sulit memastikan itu tidak akan menyuburkan impuls naluri intrinsik TNI yang ingin berperan jauh dalam arena politik.

Naluri intrinsik ini bahkan diakui sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam amanatnya ketika melantik panglima TNI yang baru. Menurut Presiden, dalam masa transisi demokrasi ini, masih banyak godaan atas para jenderal, marsekal, dan laksamana untuk memasuki wilayah politik. Sebab itu, memberikan hak memilih kepada anggota TNI berpotensi akan memicu konsekuensi lanjutan. Sedikitnya ada dua implikasi yang akan terjadi jika TNI memiliki hak pilih politik dalam pemilu. Pertama, terjadi fragmentasi di kalangan TNI disebabkan orientasi dan preferensi politik yang berbeda.

Politik pada dasarnya adalah medan kompetisi dan konflik. Jika anggota TNI memiliki hak memilih, kompetisi dan konflik politik akan mudah tersulut. Kita tahu bahwa kasus konflik fisik di kalangan aparatus militer dan juga polisi, kadang terjadi bukan disebabkan faktor politik. Bisa dibayangkan betapa lebih mudahnya konflik tersebut tersulut jika disebabkan oleh faktor perbedaan orientasi dan preferensi politik.

Kedua, hak memilih anggota TNI rentan menjadi daya-pikat oleh politisi sipil untuk menyeret TNI terlibat lebih jauh dalam aktivitas politik. Jika terbangun simbiosis-mutualisme antara keduanya karena terfasilitasi oleh adanya hak memilih anggota TNI, maka hal itu akan mengulangi potret buram yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Skalanya mungkin tidak persis sama, tapi substansinya akan sangat mirip.

Secara kuantitatif, jumlah konstituen di kalangan TNI memang tidak begitu signifikan. Tetapi, secara kualitatif posisi dan kekuatan TNI sangat strategis dan berpengaruh. Karena itu, dukungan politik dari TNI akan direbutkan oleh politisi sipil. Ini sangat mungkin membuka negosiasi politik antara politisi sipil dan TNI. Jika ini terjadi, maka TNI kembali bermetamorfosis menjadi kekuatan politik yang disibukkan oleh aktivitas politik dan mencapai tujuan politik. Mengutip Claude E Welch dan Arthur K Smith (1974), metamorfosis itu akan berlangsung secara bertahap, mulai dari tahap influence, lalu berlanjut ke intervention, dan akhirnya control.

Politik kenegaraan
Menurut hemat saya, memberikan hak memilih kepada anggota TNI sebetulnya justru men-down grading ''posisi agung'' TNI sebagai alat pertahanan negara yang netral dan berdiri di atas semua perbedaan politik. Memang betul bahwa hak pilih politik TNI dijamin oleh demokrasi dan HAM. Namun, jika TNI memosisikan dirinya sama dengan warga negara sipil umumnya dalam hal hak politik, artinya TNI tidak dapat lagi mengklaim dirinya menjunjung politik kenegaraan, yang membedakannya dengan politik praktis (day to day politics) kaum politisi sipil.

Sebab, manakala TNI menceburkan diri dalam wilayah politik, maka TNI akan menjadi elemen yang juga masuk dalam rivalitas politik. Arena politik dan demokrasi menjadi tidak sehat jika yang terlibat dalam rivalitas politik itu ada unsur yang memiliki kekuatan senjata dan terampil melakukan management of violence.

Sebaiknya TNI tetap fokus pada proses reformasi internalnya, sehingga menjadi institusi militer yang kuat dan profesional sebagai alat pertahanan negara. Upaya menjadikan TNI sebagai institusi militer yang kuat dan profesional bukan usaha sepele. Karena itu, tidak perlu ditambahi lagi oleh kesibukan dalam aktivitas politik. Lagipula, tugas TNI menjaga dan melindungi pertahanan dan teritorial negara menghadapi tantangan dan ancaman yang berat pada saat ini dan masa datang. Kita tidak ingin punya TNI yang kedodoran mengemban tugas utamanya karena disibukkan oleh aktivitas dan ambisi politik. Kita rindu dan butuh TNI yang kuat, profesional, berwibawa, dan dicintai rakyat.

"Kita tidak ingin punya TNI yang kedodoran mengemban tugas utamanya karena disibukkan oleh aktivitas dan ambisi politik. Kita rindu dan butuh TNI yang kuat, profesional, berwibawa, dan dicintai rakyat."

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home