| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, September 25, 2006,3:03 PM

Sains dan Teknologi Dunia Islam

Amich Alhumami
Peneliti Sosial, bekerja di Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas.

Dunia Islam pernah mencatat pencapaian yang cemerlang di bidang sains, teknologi, dan filsafat di bawah Dinasti Abbasiyah, yang berkuasa selama kurang lebih 800 dari abad ke-8 sampai ke-15. Masa keemasan itu ditandai oleh berkembangnya tradisi intelektual dan kuatnya spirit pencarian serta pengembangan ilmu pengetahuan, yang diawali dengan translasi masif atas karya-karya ilmiah para filosof Yunani kuno.

Pencapaian prestasi yang gemilang itu jelas tercermin pada lahirnya para ilmuwan masyhur seperti Al Biruni (fisika, kedokteran), Jabir Haiyan (kimia), Al Khawarizmi (matematika), Al Kindi (filsafat), Al Razi (kimia, kedokteran), juga Al Bitruji (astronomi). Selain itu juga ada Ibnu Haitham (teknik, optik), Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Rushd (filsafat), Ibnu Khaldun (sejarah, sosiologi), dan banyak lagi yang lain.

Sumbangan dunia Islam pada kemajuan ilmu pengetahuan di dunia modern menjadi fakta sejarah yang tak terbantah. Bahkan bermula dari dunia Islamlah, ilmu pengetahuan mengalami transmisi, diseminasi, dan proliferasi ke dunia Barat, yang mendorong munculnya zaman pencerahan (renaissance) di Eropa. Melalui dunia Islam, mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan modern. Namun, ketika masa keemasan Islam berakhir bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Andalusia pada 1491, masyarakat Barat kemudian mengambil alihnya.

Balik arah
Gerak pendulum yang berbalik arah ini bukan saja menjadi ironi sejarah, tetapi juga menyebabkan dunia Islam tertinggal jauh di belakang dunia Barat. Tak pelak, ketertinggalan dalam penguasaan sains dan teknologi menyebabkan dunia Islam mudah menjadi objek eksploitasi. Padahal, tidak sedikit di antara negara-negara Islam memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, yang bila diolah dengan bantuan teknologi akan mendatangkan keuntungan dan membawa kemajuan ekonomi, untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat.

Sekadar ilustrasi, ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization, 2000) melaporkan, sebanyak 57 negara Islam yang tergabung dalam OKI memiliki sekitar 1,1 miliar penduduk atau 20 persen penduduk dunia. Mereka mendiami wilayah seluas 26,6 juta kilometer persegi, dan menyimpan sebanyak 73 persen cadangan minyak dunia. Namun gabungan negara itu ternyata hanya memiliki GNP sebesar 1,016 miliar dolar AS.

Bandingkan dengan Prancis, negara yang hanya berpenduduk 57,6 juta jiwa dan mendiami wilayah hanya 0,552 juta kilometer persegi, memiliki GNP sebanyak 1,293 miliar dolar AS. Fakta disparitas yang mencengangkan ini lantaran Prancis mendasarkan pertumbuhan ekonominya pada iptek, sementara negara-negara Islam hanya bergantung pada input yang bersifat kualitatif semata.

Sebagai Muslim, kita tentu sangat prihatin setelah mengetahui bahwa dari total penduduk dunia Islam, hanya sekitar 55 persen yang melek aksara, meskipun bila dilihat per negara kondisinya bervariasi. Sungguh tak terbayangkan, dunia Islam yang pernah menjadi raksasa di bidang sains dan teknologi sampai abad pertengahan, memasuki abad ke-21 hanya tinggal serpihan belaka.

Simak data berikut, tenaga kerja bidang iptek (ilmuwan, insinyur, teknisi) hanya berjumlah 7,6 juta atau sekitar 3,7 persen dari total tenaga kerja bidang iptek sedunia. Mereka yang menekuni pekerjaan bidang research and development lebih rendah lagi, hanya 1,2 persen. Di bidang penulisan karya ilmiah pun kita menjumpai potret yang sangat buram.

Merujuk data Science Citation Index 2004, sebanyak 46 negara Islam memberi kontribusi hanya 1,17 persen saja pada penerbitan karya ilmiah dunia. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan India dan Spanyol, masing-masing 1,66 persen dan 1,48 persen. Sebanyak 20 negara Arab menyumbang hanya 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sedangkan satu Israel saja menyumbang 0,89 persen. Janganlah membandingkan dengan Jerman, Inggris, atau Jepang yang berturut-turut menyumbang 7,1 persen, 7,9 persen, dan 8,2 persen, apalagi Amerika yang 30,8 persen.

Masalah ini jelas berkaitan erat dengan besaran anggaran yang dibelanjakan untuk kepentingan pengembangan iptek, termasuk kegiatan riset dan pengembangan serta dukungan atas aktivitas ilmiah lainnya. Negara-negara Islam hanya mengalokasikan anggaran belanja sebanyak 0,45 persen saja dari GNP, sedangkan negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menghabiskan dana sebanyak 2,30 persen dari GNP untuk keperluan yang sama.

Ketersediaan sumber daya manusia untuk mendukung kegiatan riset dan pengembangan di negara-negara Islam juga terbatas. Secara rata-rata, negara-negara Islam memiliki 8,8 ilmuwan, insinyur, dan teknisi per 1.000 penduduk, dibandingkan dengan negara-negara OECD yang memiliki 139,3 atau 40,7 di negara-negara maju di luar OECD.

Brain drain
Dalam konteks ini, universitas memainkan peranan sangat penting dan strategis untuk melahirkan ilmuwan dan peneliti andal. Di negara-negara Barat terdapat 3 ribu PhD per 1 juta penduduk, sementara universitas di negara-negara Islam hanya mampu melahirkan kurang dari 1.000 PhD per tahun. Dengan produksi PhD yang relatif rendah itu, negara-negara Islam masih harus menghadapi masalah pelarian tenaga ahli (brain drain) ke negara-negara Barat. Sebab, negara-negara Barat adalah tanah harapan yang menjanjikan karir cemerlang sebagai ilmuwan dan peneliti atau pekerja profesional, yang sudah pasti menjadi sumber kesejahteraan dan kemakmuran.

Dalam tiga dekade terakhir, lebih dari 500 ribu ilmuwan terpandang dari negara-negara dunia ketiga bermigrasi ke Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 55 persen berasal dari Asia. Iran, Pakistan, dan Turki adalah tiga negara Islam di kawasan Asia (sebagian wilayah Turki masuk Eropa) yang paling banyak kehilangan ilmuwan akibat brain drain ini.

Hal yang sama dialami Mesir, Aljazair, dan Maroko yang mewakili kawasan Afrika. Demikian pula Suriah, Lebanon, dan Yordania yang menjadi representasi negara Arab. Kita perlu ingat, dua ilmuwan Muslim terkemuka, Dr Abdus Salam dan Dr Ahmed Zewail, masing-masing berhasil meraih hadiah Nobel Fisika dan Kimia, setelah hijrah dari Pakistan ke Inggris dan dari Mesir ke Amerika.

Sebagian Muslim berargumen, ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat dalam penguasaan sains dan teknologi disebabkan pengalaman panjang kolonialisme. Penjajahan yang berbilang abad itu berdampak sangat buruk berupa eksploitasi kekayaan alam, marginalisasi ekonomi, pelumpuhan institusi politik, dan pencabutan akar-akar budaya serta tradisi, yang menjadi modal sosial sangat berharga bagi kemajuan dan kemandirian.

Namun, sebagian pemikir kritis menolak argumen ini, sebab banyak negara yang juga punya pengalaman kolonialisme mampu bangkit dan secara perlahan tumbuh-kembang menjadi bangsa maju dan mandiri. Kita boleh menyebut India, Cina, Taiwan, dan Korea Selatan sebagai contoh negara yang mengalami pahitnya kolonialisme. Keempat negara tersebut telah memperlihatkan kemajuan yang mengagumkan di bidang ekonomi, sains, dan teknologi. Dunia Islam harus belajar kepada mereka.

Ikhtisar

- Kemajuan dunia Islam di masa lalu ikut mendorong pencerahan di Eropa.
- Setelah Dunia Islam mengalami titik balik dunia Barat terus mendominasi sampai hari ini.
- Pelarian tenaga ahli dari dunia Islam ke dunia Barat pun terus terjadi.
- Sebagian berdalih ketertinggalan dunia Islam disebabkan kolonialisme, tapi alasan ini tak berlaku bagi Cina, India, Taiwan, dan Korea selatan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home