| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, September 15, 2006,1:31 PM

Susutnya "Social Entrepreneurship"

Tata Mustasya

Birokratisasi gerakan Islam, seperti yang dirisaukan Abdurrahman Wahid (Kompas, 30/8/2006), merupakan satu contoh susutnya social entrepreneurship di Indonesia.

Fenomena serupa sedang terjadi di semua jenis gerakan sosial, tidak hanya vis a vis birokrasi, tetapi juga terhadap pengaruh struktur sosial lainnya. Dengan kata lain, gerakan sosial di Indonesia telah banyak kehilangan semangat "kewirausahaan" dan independensi, sesuatu yang selama ini menjadi ciri khasnya.

Social entrepreneurship (SE) merupakan daya yang mendorong lahirnya berbagai organisasi dan gerakan sosial, seperti Boedi Oetomo, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Syarikat Islam (SI). Ada beberapa ciri khas SE yang tampak dalam gerakan- gerakan tersebut. Pertama, tidak menyerah sebelum berhasil menyebarkan ide-ide mereka (Bornstein, 2004). Kedua, bertindak secara berani tanpa dibatasi oleh sumber daya yang tersedia (Dees, 1998). Ketiga, memecahkan masalah-masalah sosial yang tidak dilakukan secara memadai oleh lembaga pemerintah dan mekanisme pasar (Dees, 1994).

Yang terakhir dan yang terpenting, SE tidak hanya ditentukan atau dipengaruhi struktur sosial yang ada. SE juga mampu mengubah struktur dan menciptakan nilai-nilai sosial baru. Boedi Oetomo, Muhammadiyah, NU, dan SI mampu mengubah kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kemerdekaan dan berkata "tidak" terhadap pemerintah kolonial.

Kegagalan pasar

Banyak contoh mengenai praktik SE saat ini. Salah satu yang fenomenal adalah Grameen Bank di Banglades yang digagas Muhammad Yunus. Grameen Bank tidak hanya menjadi pelopor pengucuran kredit mikro kepada kaum miskin. Lebih dari itu, Grameen telah mengubah satu nilai sosial lama: kredit tak mungkin diberikan tanpa jaminan dan mengadakan kredit bagi kaum miskin tidak menguntungkan. Saat ini Pierre Omidyar, seorang pengusaha muda dari Amerika Serikat, berani menginvestasikan jutaan dollar AS di Grameen Bank karena meyakini hal itu tidak hanya bermanfaat bagi orang banyak, tetapi menghasilkan keuntungan finansial yang tinggi (Newsweek, 3-10 Juli 2006).

SE lebih dibutuhkan di negara berkembang dan negara miskin dibandingkan dengan di negara maju. Sebabnya, kegagalan pemerintah dan kegagalan pasar jauh lebih sering terjadi di negara berkembang dan negara miskin. SE, yang bersifat "militan", merupakan alat manjur untuk mengatasi berbagai masalah kronis di negara-negara tersebut.

Hancurnya SE di Indonesia bukanlah disebabkan oleh kolaborasinya dengan banyak kepentingan. Sebaliknya, SE harus bekerja sama dengan banyak pihak. Yang menjadi masalah, SE yang "semu" seringnya tidak independen terhadap mitra sehingga menjadi kehilangan sifat "kewirausahaan"-nya dalam bentuk kemampuan untuk mengubah nilai dan struktur sosial. Ada beberapa jenis kasus.

Pertama, gerakan sosial di Indonesia sering tunduk terhadap kepentingan pemerintah. Bukan karena represi, mengingat di Indonesia sudah berjalan pemerintahan yang demokratis. Ini karena adanya dana dalam anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang dialokasikan untuk organisasi-organisasi sosial. Seperti yang disampaikan Abdurrahman Wahid dalam tulisannya, sering terdengar pernyataan "pesantren kami melarat karena tidak dibantu pemda".

Kedua, gerakan sosial sering dikendalikan oleh kepentingan bisnis. Hal ini memang rentan terjadi karena tingkat pendapatan pebisnis selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan aktivis sosial dan intelektual. Ketiga, gerakan sosial dikontrol oleh kepentingan asing. Ini pun lumrah terjadi karena adanya disparitas pendapatan yang besar antara Indonesia dan beberapa negara asing yang memiliki kepentingan di sini.

Paling tidak ada dua hal yang kemudian terjadi: (1) gerakan sosial tidak berhasil merumuskan kebutuhan riil masyarakat sehingga melakukan aktivitas yang kurang penting; (2) gerakan sosial tidak kritis lagi terhadap nilai dan struktur sosial yang memerlukan transformasi.

Padahal, salah satu ciri pelaku SE adalah will not take no for an answer (Bornstein, 2004) untuk menciptakan solusi inovatif terhadap masalah sosial dan memobilisasi gagasan, kapasitas, sumber daya, dan tatanan sosial yang diperlukan bagi transformasi sosial yang berkelanjutan (Alvord, Brown, dan Letts, 2004)

Menciptakan peluang

Indonesia berada pada kondisi yang sangat compang-camping dan jauh tertinggal dibandingkan banyak negara. Kemiskinan, misalnya, bertambah parah dengan meningkatnya jumlah kaum miskin sekitar empat juta orang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 1 September 2006.

Kondisi seperti ini sebenarnya menciptakan "peluang" bagi para social enterpreneurs. Para aktivitas sosial dengan jiwa kewirausahaan tidak akan menyerah pada struktur, tetapi berjuang mengubahnya. Salah satu nilai sosial yang harus diubah, misalnya, bahwa sebagian besar petani dan daerah pedesaan akan selalu miskin. Satu-satunya solusi yang dianggap manjur saat ini adalah urbanisasi.

Harus ada keyakinan berbareng dengan ikhtiar tak henti- henti dan keterampilan yang brilian. Nelson Mandela dipenjara lebih dari 30 tahun, tetapi tak menghalangi usahanya untuk menghapus diskriminasi warga kulit hitam di Afrika Selatan. Adakah keyakinan, ikhtiar, dan keterampilan seperti itu di antara kita?

Tata Mustasya Peneliti Ekonomi-Politik di The Indonesian Institute

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home