| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 20, 2006,12:06 PM

"Ziarah ke Keraton Majapahit" (1)

Bulan Sepotong di Langit Trowulan

Malam baru saja turun saat bulan setengah purnama itu seperti mengambang di langit Trowulan. Gapura Wringin Lawang pun berangsur terlihat samar. Senja yang semula hadir dengan warna merah keemasannya berganti bayangan hitam besar dari salah satu bangunan sisa-sisa peradaban Kerajaan Majapahit itu.

Kamis malam di penghujung Agustus lalu adalah Jumat Legi atau Jumat manis minggu pertama bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa. Di langit, bulan yang baru memperlihatkan separuh bentuk bundarnya bersinar lembut, sedikit tertutup awan tipis. Cahayanya bahkan terkesan redup di antara terangnya lampu-lampu neon yang berasal dari rumah warga Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Ketika angin malam berkesiur mengusik kerimbunan daun-daun beringin tua yang berdiri tegak di sisi barat laut gapura, atmosfer masa silam seperti menyergap. Bayangan akan kearkaikan Wringin Lawang dengan segala pernak-pernik kisah yang terpendam pada sekitar 700 tahun lampau, saat Majapahit menapaki puncak kejayaannya, seakan berpacu dengan kesibukan warga sekitar yang tengah menyiapkan semacam tradisi berupa karnaval tahunan menjelang bulan Pasa 1939 Saka atau Ramadhan 1429 Hijriah.

Di pelataran, lelaki tua berkaus singlet itu terus saja bercerita tentang berbagai hal terkait keberadaan Wringin Lawang. Juga tentang situs-situs lain di Trowulan yang masih berhubungan erat dengan keberadaan Majapahit.

Hal-hal berbau mistik pun berhamburan. Mulai dari kisah "petualangan"-nya dilompati macan loreng yang datang entah dari mana saat menjaga situs Candi Gentong di Desa Jambumente, Trowulan, hingga beragam perilaku orang-orang penting negeri ini ketika ’sowan’ ke sisa-sisa peninggalan Majapahit.

Supardi (64), sang juru pelihara situs purbakala bergaji hanya Rp 175.000 per bulan, adalah sosok "perantara" untuk "berdialog" dengan Wringin Lawang. Sebuah bangunan kuno berbentuk gapura, yang oleh Muhammad Yamin disebut-sebutnya sebagai gerbang masuk utama ke kediaman Gajah Mada sang Mahapatih Majapahit. Sebagai pemegang kunci masuk ke pelataran gerbang, Supardi tahu persis siapa saja yang datang berkunjung.

"Menjelang pemilihan presiden tempo hari, Bu Mega dan Pak Es Be Ye juga sempat ke sini," kata Supardi bertutur.

Kecuali orang-orang tertentu, pengunjung biasa ia haruskan meninggalkan tanda pengenal sebelum memasuki kawasan Gerbang Wringin Lawang. "Itu sudah aturan yang harus saya jalankan," katanya.

Memang terkesan kaku, tetapi sebagai bagian dari "laskar pelestari budaya Majapahit", Supardi mengaku siap "mati" mempertahankan aturan yang harus ia jalankan. "Jangan sampai kasus peledakan Borobudur juga terjadi di sini," kata Supardi.

Memberi sugesti

Wringin Lawang adalah satu dari ribuan artefak dan puluhan sisa bangunan bersejarah penanda kebesaran Majapahit. Masih ada sejumlah sisa peradaban lain, baik yang sudah dipugar, dalam tahap ekskavasi, maupun yang masih terpendam di ladang-ladang tebu, areal persawahan, atau di pekarangan rumah penduduk Trowulan.

Pada malam-malam tertentu, khususnya Jumat Legi atau Jumat manis menurut penanggalan Jawa, kawasan Trowulan ramai dikunjungi peziarah. Mereka datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Tempat paling ramai di-"ziarah"-i memang bukan Wringin Lawang ataupun situs-situs lain berupa bangunan candi yang bertebaran di kawasan seluas sekitar 10 kilometer persegi tersebut.

Kebanyakan peziarah berhidmat ke kompleks makam kuno Troloyo di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo; sebuah kompleks pemakaman Islam dari masa Majapahit. Pada Jumat Legi atau Kamis malam di pergantian bulan Agustus ke September lalu, misalnya, Kompleks Troloyo benar-benar disesaki para peziarah. Sedikitnya 100 bus besar, 500 minibus, dan 3.000 sepeda motor yang mengangkut para peziarah dari berbagai penjuru tanah Jawa memenuhi pelataran parkir yang khusus dibangun untuk pengunjung.

Akan tetapi, Wringin Lawang dan sejumlah situs kepurbakalaan dari masa Majapahit lainnya tetap memberi sugesti khusus, terutama untuk kalangan tertentu dan dengan niat tertentu pula. Masing-masing tempat memang dipercaya memiliki sugesti tersendiri, bergantung pada tujuan si pe-ngalap berkah.

Taruhlah seperti sumur upas di Kompleks Candi Kedaton yang berada di Dusun Kedaton, juga masih di wilayah Desa Sentonorejo, yang disebut-sebut sebagai tempat murtajab untuk meminta berkah. Di sini pun berkembang kisah-kisah mistik, yang diembus-embuskan entah oleh siapa.

Misalnya, dikatakan bahwa sumur upas itu bersambungan dengan terowongan-terowongan kuno yang menjalar hingga ke Pegunungan Tengger dan Blitar. Malah tak sedikit yang percaya bahwa khasiat air sumur itu bisa membuat orang awet muda.

"Percaya atau tidak, setiap tahun ada serombongan orang dari Ciamis—lelaki dan perempuan—yang datang ke sini untuk bertirakat. Pada tengah malam mereka mandi dengan air kembang. Setelah selesai, pakaian lengkap yang telah basah oleh air sumur upas itu mereka tinggalkan, termasuk pakaian dalamnya," kata Arifin, petugas keamanan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan.

Magnet peradaban

Bagi sebagian orang, Trowulan memang bagai magnet. Tak sedikit yang percaya bahwa di kawasan—yang oleh kalangan arkeolog diyakini sebagai bekas ibu kota Kerajaan Majapahit—dengan sisa-sisa peradaban masa lampau itu masih menyimpan aura magis. Suatu kekuatan supranatural yang bisa "menular" lewat serangkaian prosesi "peziarahan" (kolektif maupun individual) ke tapak-tapak para tokoh Majapahit pernah ada di masa silam.

Siapa yang tak kenal Gajah Mada, tokoh legendaris dalam sejarah Nusantara yang dikenal lewat sumpah "Amukti Palapa"-nya? Atau Raden Wijaya, sang pendiri imperium Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang mampu mengusir tentara Kubhilai Khan dari tanah Jawa? Juga Hayam Wuruk, tokoh besar yang membawa Majapahit ke puncak kegemilangannya?

Dalam perspektif para pen- ngalap berkah, nama-nama besar dengan sisa-sisa peradaban yang mereka tinggalkan di kawasan Trowulan dan sekitarnya itu diposisikan sebagai tempat mencari semacam wangsit. Sementara dalam perspektif arkeologi ruang (spatial archaeology), segala tinggalan masa lalu tersebut bukan saja memiliki nilai kesejarahan yang berkonteks dan harus diselamatkan, tetapi juga sebagai sumber penggalian makna dari sebuah peradaban.

"Dengan menyingkap sisa-sisa tinggalan kebesaran Majapahit, paling tidak kita sebagai bangsa diingatkan bahwa negeri ini pernah mencapai puncak kebesarannya. Bukan saja di wilayah Nusantara yang kini bernama Indonesia, tetapi pengaruh Majapahit meluas hingga Filipina di utara dan Madagaskar di barat," kata Soeroso MP, arkeolog yang kini adalah Direktur Sejarah dan Purbakala di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Boleh jadi, semangat inilah yang antara lain mendasari rencana pameran besar tentang Majapahit di Museum Nasional Jakarta, pertengahan November mendatang. Bahwa, peradaban sebuah bangsa yang telah dirintis sejak masa silam harus merupakan satu kesatuan dengan masa kini. Lewat serangkaian ’pembacaan’ yang benar, bukan dalam arti hanya untuk semacam romantisme sesaat, kearifan-kearifan masa silam itu bisa dihadirkan dengan penyesuaian- penyesuaian berdasarkan konteks zaman yang terus berubah.

Sejatinya, Majapahit memang harus diletakkan sebagai sebuah ikon kebudayaan. Namun, dalam konteks tertentu, Majapahit sesungguhnya juga bisa menjadi semacam ikon kekuasaan. Tentu saja kekuasaan yang dimaksudkan bukan pada model otoritarianisme dengan segala intrik yang ada di dalam lingkup kekuasaan itu sendiri, sebagaimana tercermin dari sejarah pemerintahan Majapahit. Sebagai ikon kekuasaan, yang perlu ditoleh lebih pada semangat bahwa sebuah imperium harus dibangun dengan kerja keras!

Dengan kata lain, Majapahit dengan sisa-sisa peradabannya hendaknya tidak ditempatkan sebagai sumber mistisisme; apalagi sebagai tempat peziarahan untuk dan demi kelanggengan sebuah kekuasaan.... (ken)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home