| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, September 15, 2006,1:32 PM

Kebohongan Sejarah yang Dibiarkan

Oleh Endang Suryadinata

Bangsa dengan 250 juta jiwa ini terus saja hidup dalam satu bencana ke bencana yang lain. Tragedi demi tragedi datang silih berganti. Masalah yang satu belum kelar, datang 1001 krisis lain. Konflik sosial demi konflik bagai litani tanpa ujung. Itu belum terhitung kesalahan dalam mengambil keputusan yang dilakukan pemerintah.

Akibatnya, harapan rakyat untuk melihat perubahan selalu kandas dalam kekecewaan. Dalam merespons tragedi lumpur Lapindo, misalnya, terlihat betapa lemahnya pemerintah.

Jujur saja, jika kita melihat apa yang terjadi di segala bidang kehidupan kita sebagai bangsa, kita hanya akan digelayuti kekecewaan demi kekecewaan. Misalnya, daya saing Indonesia di arena persaingan ekonomi global kian melorot. Laporan IFC dan Bank Dunia mengenai Doing Business 2007 menyatakan, Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru, turun dari posisi 131 tahun lalu.

Berbagai data yang mencoba memberikan harapan, misalnya tentang jumlah orang miskin, juga sudah dimanipulasi. Meski Wapres Jusuf Kalla berkoar krisis ekonomi sudah terlewati, kegelisahan dan jeritan jutaan orang kecil yang merasa hidupnya kian menderita tidak bisa dibungkam.

Di bidang hukum, Amien Rais dan banyak orang kecewa terhadap sandiwara hukum. Bidang olahraga yang seharusnya bisa memberikan kebanggaan dan hiburan, kita juga belum berbicara banyak di pentas internasional. Sepak bola yang jadi tumpuan harapan hanya memberikan kekecewaan karena di peringkat FIFA terbaru, Indonesia ada di nomor 145 dari 205 negara. Bidang-bidang lain idem ditto.

***

Mengapa kita gagal dalam banyak bidang? Mengapa impian sebagai bangsa yang unggul seperti diharapkan Presiden SBY harus kandas di tengah kenyataan yang mengecewakan? Apa sebenarnya yang menjadi akar semua kegagalan dan kekalahan kita?

Jawabnya tentu bisa beragam dan bisa jadi sangat subjektif, tergantung siapa yang berbicara. Tetapi dari perspektif sejarah, sesuai kompetensi penulis, kita harus mengakui bahwa selama 61 tahun usia negeri ini, kita masih hidup dalam banyak kebohongan. Kebohongan jelas tidak bisa dijadikan titik tolak atau modal untuk hidup berbangsa atau bernegara.

Kebohongan bisa dilihat di mana-mana dan yang paling kasat mata terlihat pada kebohongan sejarah yang masih tetap terus ditutup-tutupi hingga saat ini. Dalam kasus Munir, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianggap tidak melaksanakan Keputusan Presiden No 111/2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Kematian Munir.

Dalam keppres itu, pemerintah berjanji mengumumkan hasil penyelidikan tim kepada masyarakat, tapi hingga kini pemerintah belum juga mengumumkan. Bahkan, di ajang ASEM di Helsinki, presiden juga dicecar pertanyaan seputar Munir.

Bukan hanya soal pengumuman terkait Munir itu yang mengecewakan, tapi jika kita mencoba melihat ada apa di balik sikap pemerintah yang seperti itu, kita akan semakin kecewa karena ternyata pemerintah SBY memang ingin membiarkan banyak kebohongan terus dilanggengkan. Ini bukan hanya kasus Munir, tetapi juga melibatkan puluhan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, dari peristiwa 1965 yang korbannya mencapai jutaan hingga kasus orang hilang menjelang reformasi 1998 atau Tragedi Mei 1998 yang hingga saat ini masih menyisakan kepiluan kepada para korban atau keluarga korban.

Coba tanyakan kepada Sipon, istri Wiji Thukul, atau orang tua Bimo Petrus Anugerah? Tanyakan kepada para orang tua yang anaknya hilang yang tergabung dalam IKOHI yang belum lama ini berdemo di depan markas AD (30/8)? Tanyakan kepada para eksil yang kini merindukan negeri ini?

Sayang, pertanyaan-pertanyaan mereka suka membentur dinding keangkuhan penguasa negeri ini? Presiden SBY dan pemerintah sekarang memang bukan dalang semua pelanggaran HAM di masa lalu. Tetapi, sebenarnya pemerintahan SBY bisa membuat gebrakan baru dengan menyingkap siapa dalang sesungguhnya semua peristiwa itu? Sekaligus dengan pengungkapan ini, pemerintah punya komitmen untuk meluruskan sejarah yang banyak dimanipulasi semasa Orba.

Dengan demikian, kita akan bisa menghentikan semua kebohongan sejarah yang ditulis penguasa atau orang-orang kuat di masa lalu.

***

Tapi, pemerintah saat ini memang tetap meneruskan tradisi agar sejarah ditulis para pemenang. Dengan kata lain, pemerintah SBY hanya bisa membuat repetisi dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Impunitas tetap dinikmati orang-orang kuat yang ditengarai sebagai pelanggar HAM. Pemerintah SBY seharusnya bisa mengadili orang-orang kuat yang ditengarai sebagai pelaku pelanggaran HAM berat seperti Soeharto.

Akibatnya, negeri kita tidak bisa menjadi negeri yang kuat karena ternyata pemerintah tidak berani mengadili orang-orang kuat itu. Guru Besar Western University Jeffry Winters dalam diskusi yang bertema Membongkar Kejahatan Soeharto di Jakarta (7/6) pernah berkata: Indonesia akan kuat kalau berani mengadili orang kuat seperti Soeharto.

Karena tidak berani mengadili orang sekaliber Soeharto atau para kroninya, akibatnya hukum kita tetap penuh dengan sandiwara, padahal hukum adalah penjamin bagi tegaknya sebuah bangsa yang menganut paham demokrasi. Tanpa hukum yang kuat, kita masih terus hidup dalam sandiwara penuh kebohongan. Kebohongan seharusnya dihentikan, diganti dengan kecintaan kepada kebenaran. Seharusnya prinsip seperti ini yang kita hidupi demi masa depan kita sendiri.

Tapi sayang, masa depan yang indah tetap akan menjadi khayalan selama masa silam dibiarkan tetap penuh kebohongan seperti sekarang. Seharusnya pemerintah SBY bisa menorehkan sejarah yang berbeda bagi bangsa ini jika berani membongkar kejahatan masa silam itu.

Endang Suryadinata, peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home