| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 20, 2006,12:09 PM

"Ziarah ke Keraton Majapahit" (2)

Melihat Trowulan, Membaca Peradaban

Osrifoel Oesman ingin tertawa, meski yang bisa ia lakukan akhirnya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Itu terjadi saat arsitek yang mendalami bidang arkeologi ini mengunjungi kompleks makam kuno Troloyo; sebuah kompleks pemakaman Islam dari masa Majapahit di Desa Sentonorejo, Trowulan, Jawa Timur.

Peristiwa kecil itu berawal dari percakapan kami dengan seorang pemandu salah satu rombongan peziarah. Sabtu di awal September 2006 itu rombongan peziarah dengan bus besar bermuatan sekitar 80 orang tersebut mampir ke Troloyo, setelah sebelumnya men- "ziarah"-i sejumlah makam (kuno) Islam di tanah Jawa.

Saat berpapasan, sang pemandu baru saja usai memimpin kegiatan perdoaan di depan bangunan bercungkup tertutup kain, yang di dalamnya ada sebuah makam; dan oleh sementara orang diyakini sebagai makam Syekh Syaid Jumadil Kubro.

Dengan bersemangat, ia bercerita tentang misi dan tempat- tempat pe-"ziarah"-an yang telah mereka kunjungi. Meski makam-makam di Troloyo tergolong tua (berangka tahun 1298- 1376 Masehi, dan menurut data arkeologis hanya tertandingi oleh makam Fatimah binti Maimum bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang berangka tahun 1082 Masehi), namun menurut sang pemandu itu masih kalah jauh dibandingkan sebuah makam Islam di Sumenep, Madura.

"Di sana ada makam Islam dari abad ke-5 Masehi," katanya dengan penuh percaya diri. Usai menyampaikan "informasi" tersebut, sang pemandu segera bergabung dengan rombongan peziarah lainnya menunju bus besar yang akan membawa mereka men-"ziarah"-i makam-makam kuno lainnya di tanah Jawa.

Pernyataan terakhir inilah yang membuat Ifoel—sapaan akrab Osrifoel Oesman—ingin tertawa. "Bagaimana mungkin ada makam Islam di Nusantara pada abad ke-5, sementara Nabi Muhammad SAW (570-632 M) saja baru lahir di akhir abad ke-6 Masehi?" kata Ifoel berbisik.

Lain lagi sikap Soeroso MP ketika mendengar keyakinan anak muda Sentonorejo yang siang itu bertugas sebagai "penjaga (tiket) masuk" ke kompleks Troloyo. Dengan amat bersemangat, sang anak muda bercerita bahwa makam Syekh Syaid Jumadil Kubro adalah makam Islam tertua di Indonesia. Tokoh ini pun disebut-sebutnya sebagai ’maha guru’ tempat para Wali Songo banyak menimba ilmu tentang keislaman.

Bahkan ia sempat berbantahan dengan Soeroso yang mencoba meluruskan sejarah versi sang anak muda Sentonorejo tersebut. Belakangan, sang anak muda hanya bisa terdiam setelah tahu lawan bicaranya adalah seorang arkeolog dari Direktorat Sejarah Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

"Bagaimana kamu yakin ini makam Islam tertua di Indonesia? Padahal di Leran, Gresik, ada ditemukan makam Islam yang berasal dari abad ke-11?" kata Soeroso, arkeolog yang pada akhir 1970-an pernah berbulan-bulan melakukan penelitian tentang keberadaan Majapahit di kawasan Trowulan.

Jejak keindonesiaan

Kekeliruan dalam membaca tinggalan sejarah purbakala, lalu memberinya makna di luar konteks kesejarahannya, boleh jadi merupakan fenomena umum di negeri ini. Belum lagi bila dikaitkan dengan fungsi dan kearifan yang seharusnya diletakkan dalam konteks ruang dan waktu, terutama terkait dengan kehidupan berbangsa.

Dalam kasus makam-makam kuno Troloyo misalnya, nama- nama makam di kompleks itu saja sudah menjadi tanda tanya besar. Sejak kawasan ini dijadikan obyek penelitian secara mendalam, sejak L Ch Damais hingga pakar arkeologi Islam seperti Uka Tjandrasasnmita dan Hasan Muarif Ambary (almarhum), tak satu pun dari laporan yang mereka susun menyebut nama-nama tokoh seperti yang sekarang tertera di sejumlah batu nisan Troloyo saat ini.

Meski nisan-nisan dari Troloyo sebagian memang menyertakan tulisan Arab, tetapi kebanyakan ditandai dengan angka tahun Saka. Tulisan yang berangka tahun Arab cuma satu, yaitu nisan kubur yang memuat nama Zayn ud-Din pada tahun 874 Hijriah (1469 Masehi).

Bagi Soekmono (alm), ’bapak arkeologi Indonesia’, keberadaan nisan ini penting karena satu-satunya memuat nama orang yang wafat. Selebihnya, nisan-nisan kubur di Troloyo hanya memuat tulisan dalam bentuk kaligrafi Arab dan Jawa kuno, yang umumnya berisi puji-pujian akan keesaan Allah SWT.

Dalam catatan MLWC den Berg (1887) yang dikutip Damais, terungkap bahwa tulisan-tulisan Arab pada nisan-nisan kuno di Troloyo disebutnya sangat jelek. Selain itu juga ditemukan banyak kesalahan. Menyimak laporan den Berg tersebut, Ch Damais (1957) sampai pada kesimpulan bahwa tulisan Arab pada nisan-nisan kuno yang ada di Troloyo tersebut telah ditambahkan kemudian.

Jika pembacaan terhadap tinggalan sejarah saja sudah keliru, apalagi bila ada kesengajaan untuk membelokkannya, bagaimana mungkin kita sebagai bangsa bisa mewarisi kearifan- kearifan yang tersimpan di dalamnya? Pemaknaan yang kurang pas terhadap sisa-sisa peninggalan peradaban Majapahit bukan cuma terkait pada keberadaan makam-makam kuno, tetapi juga terhadap bangunan dan atau artefak budaya masa silam lainnya.

Di luar sisa-sisa peradaban dalam bentuk bangunan candi serta artefaktual lainnya seperti makam atau kolam dan bekas kanal-kanal kuno di Trowulan, Majapahit juga meninggalkan jejak-jejak peradaban lain yang menunggu untuk "dibaca".

Di bidang pertanian misalnya, Majapahit sudah mengenal sistem dan teknologi yang melipatgandakan hasil-hasil pertanian, terutama beras.

Kehadiran kolam dan kanal- kanal kuno yang hingga kini masih bisa dilacak keberadaannya di Trowulan, menunjukkan adanya "sistem irigasi" pada masa itu. Catatan-catatan yang tertuang dalam kitab-kitab tua atau fragmen-fragmen bergambar (baca: relief) yang terpahat di dinding-dinding candi, memperlihatkan betapa para pendahulu bangsa ini telah menggarap lahan pertanian dengan cara yang boleh disebut lebih maju.

Tak cuma itu, pemerintahan Majapahit juga menempatkan pejabat-pejabat khusus di bidang pertanian. Sebutlah seperti jabatan untuk pengurus tambak (patih tambak; prasasti Karang Bogem, 1387 Masehi) dan pengairan atau irigasi (hulair alias penghulu air; prasasti Trailokyapuri, 1486 Hijriah).

"Hasil pertanian sawah ini tidak saja mampu memenuhi kebutuhan setempat, bahkan menjadi komoditas ekspor," kata arkeolog Daud Aris Tanudirjo mengutip laporan Setten van den Meer. Kenyataan masa lalu tersebut sungguh berbanding terbalik dengan keadaan sekarang, di mana pemerintahan saat ini justru berulang kali harus mengimpor beras guna memenuhi stok pangan dalam negeri.

Pembacaan masih dilanjutkan pada sektor-sektor lain, seperti perdagangan, sistem politik, agama dan kepercayaan, sistem perpajakan, seni dan kesusastraan, dan—tentu saja yang tak boleh dilupakan—kehidupan sehari-hari masyarakat Majapahit yang multikultural dengan semangat pluralismenya. Dengan kata lain, melihat Majapahit adalah membaca jejak-jejak keindonesiaan pada tahap awal.

Pluralisme

Boleh jadi, tak banyak di antara anak-anak negeri ini yang mau "membaca" bahwa pluralisme dan multikulturalisme sesungguhnya sudah merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa ini. Ia sudah ada sejak dulu, jauh sebelum negeri ini menjadi sebuah bangsa berdaulat.

Keberadaan makam-makam Islam di tengah-tengah pemerintahan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha adalah bukti sejarah bahwa sejak dulu nenek moyang bangsa Indonesia menghargai perbedaan. Bahwa, toleransi antarumat beragama sudah mendapat tempat dalam tatanan kehidupan sehari-hari.

Bahkan, menurut catatan Harry Truman Simanjuntak, apa yang kini dikenal sebagai pluralisme dan multikulturalisme itu sudah ada sejak prasejarah. Kemajemukan yang paling menonjol pada masa prasejarah terlihat di bidang peralatan dengan kekhasan masing-masing tempat penggunaannya pada alat-alat serpih yang dihasilkan.

Begitupun dalam sistem mata pencaharian. Kemunculan para penutur Austronesia yang kemudian berinteraksi dan mengadaptasikan diri pada peralatan teknologi penghuni asli Nusantara menyebabkan terjadi percampuran budaya.

"Proses adaptasi dan interaksi itu lambat laun menciptakan komunitas-komunitas lokal dengan kekhasan budaya masing-masing. Komunitas inilah yang dalam perkembangan lebih lanjut membentuk etnisitas dengan keragaman budaya seperti yang kita lihat sekarang," kata Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkeologi Nasional.

Bahwa dalam perkembangan keindonesiaan kita kini terjadi semacam penyempitan makna terhadap kenyataan-kenyataan sejarah pluralisme di masa lampau, bahkan ada kesan untuk menihilkannya lalu diganti dengan semangat eksklusivitas kelompok atau golongan, sebuah tanda tanya besar pun muncul ke permukaan. Ketidaktahuan atau kesengajaan?

"Kemajemukan itu telah memperkaya kehidupan dan budaya bangsa ini. Ia merupakan sebuah kearifan yang seharusnya terus dikembangkan. Inilah hakikat penting dari belajar prasejarah dan sejarah," begitu kata Truman Simanjuntak, guru besar riset yang mengabdikan diri pada bidang penelitian yang sepi dari "tepuk tangan".... (ken)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home