| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 20, 2006,12:01 PM

Ketika Orang Miskin Dipersalahkan

F Rahardi

Di Indonesia, menjadi orang miskin serba repot. Predikat yang diterima, "sampah masyarakat". Lalu mereka mati karena tertimbun longsoran sampah. Yang mereka terima dari orang kaya dan berkuasa bukan ucapan dukacita, tetapi tuduhan bahwa mereka bersalah.

Sampah DKI adalah bisnis beromzet miliaran rupiah per hari. Bisnis sampah tidak hanya melibatkan orang miskin, tetapi juga orang kaya dan orang berkuasa. Hasil utama bisnis sampah adalah plastik, kardus, dan logam, terutama besi, tembaga dan aluminium, serta kaca (beling). Semua itu akan didaur ulang. Meski pengelolaan sampah di Indonesia, khususnya di Jakarta, masih amburadul, tetapi persentase sampah yang didaur ulang sudah tinggi. Pemulung miskin itulah ujung tombak bisnis daur ulang.

Pemulung beroperasi mulai dari tempat sampah di rumah tangga, stasiun, terminal, pasar, sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sampah berupa plastik, kertas, kardus, kayu, logam, dan macam-macam limbah dari sebuah unit industri sudah diurus koperasi karyawan, penguasa setempat, aparat keamanan, atau preman. Sampah seperti ini bukan jatah pemulung. Yang saya sebut beromzet miliaran per hari adalah sampah rumah tangga dan TPA. Omzet sampah industri lebih besar lagi.

Logikanya, sebuah bisnis dengan omzet miliaran per hari akan menarik minat aparat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Resminya, TPA Bantar Gebang tertutup untuk umum, termasuk pemulung. Kenyataannya, di Bantar Gebang ada ribuan pemulung yang beroperasi dengan amat leluasa. Jika Pemprov DKI tegas, mestinya TPA itu dijaga aparat keamanan agar siapa pun tidak boleh masuk. Kalau sebuah lokasi yang sebenarnya tertutup ternyata dimasuki ribuan orang, tentu ada aparat yang sengaja menutup mata.

Miskin di Indonesia

Orang miskin di mana-mana sama. Hidupnya susah karena penghasilan sedikit atau tidak ada sama sekali, juga tidak punya aset. Orang miskin di negara miskin di gurun Afrika berbeda dengan orang miskin di Amerika Serikat (AS), berbeda dengan orang miskin di Indonesia. Di negara gurun di Afrika, meski pemerintahnya sudah bekerja ekstrakeras dan jujur, dibantu negara eks penjajah dan lembaga donor, tetap saja rakyatnya miskin. Alam di gurun di Afrika itu memang miskin. Kecuali di situ ada bahan tambang.

Di AS, tukang cuci piring atau pembersih WC bisa hidup layak (tidak miskin) asal rajin menabung dan tidak boros. Di AS, asal mau kerja dan jujur, siapa pun tidak akan menjadi miskin. Kalau ada orang miskin, biasanya orang itu bermasalah. Entah karena kecanduan narkoba, judi, atau hidupnya lebih besar pasak daripada tiang. Di AS, bisa pula orang menjadi miskin karena dikerjai pengacara. Namun, orang miskin di AS karena menganggur akan disantuni pemerintah sehingga rakyat AS tidak perlu menjadi pemulung, terlebih sampai mati tertimbun sampah. Terlebih lagi sampai dipersalahkan.

Sebenarnya, yang terjadi di AS, juga kita lihat di Thailand, Malaysia, bahkan Vietnam. Di tiga negeri jiran ini, orang tidak perlu miskin kalau mau kerja. Di Malaysia, rakyatnya bisa hidup enak tanpa perlu kerja kasar, baik menjadi kuli bangunan maupun buruh perkebunan.

Karena itu, porsi TKI menjadi milik Indonesia dan Filipina. Di Malaysia, kerja bangunan dan perkebunan pun tidak dilakukan rakyatnya, apalagi menjadi pemulung. Itu semua terjadi karena Pemerintah Thailand, Malaysia, dan Vietnam bisa membuat negeri dan rakyatnya produktif.

Indonesia adalah negara yang jauh lebih kaya daripada Thailand, Malaysia, apalagi Vietnam. Memang penduduk Indonesia juga lebih banyak, tetapi jelas tidak sebanyak RRC. Bedanya, pemerintah negeri kita tak bisa membuat rakyatnya produktif hingga menjadi makmur. Dalih bahwa penduduk Thailand, Malaysia, dan Vietnam sedikit hingga mudah diurus menjadi mentah karena RRC dengan penduduk 1,4 miliar jiwa ternyata bisa mendorong rakyatnya produktif dan makmur hanya dalam dua dasa warsa.

Produktivitas unggulan

Di negeri yang normal, pemerintah adalah pengelola negara, yang tugasnya antara lain membuat rakyatnya produktif hingga bisa sejahtera lahir batin. Singapura adalah negara pulau yang sama sekali tak punya sumber alam. Bahkan, air tawar pun harus diimpor dari Malaysia. Kelebihan negeri ini adalah lokasinya strategis sebagai bandar perdagangan. Untuk itu seluruh energi dialokasikan bagi pelayanan niaga. Syarat utama sebuah bandar perdagangan adalah ada kepercayaan dari semua pihak. Singapura benar-benar menjaga hal ini.

Swis juga negeri kecil yang tidak punya laut, tidak punya tentara. Mereka hanya punya keju alpina, arloji, pisau, dan industri cokelat. Kecuali keju, logam untuk pisau berasal dari Swedia dan biji kakaonya dari negeri kita. Namun, Swis bisa makmur karena wisata dan jasa perbankan. Dua keunggulan ini benar-benar dioptimalkan Pemerintah Swis sehingga rakyat negeri ini bisa sangat produktif.

Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Amerika Latin. Setelah Perang Dunia II, mereka bangkrut. Kini Brasil, Argentina, Cile, dan Peru sudah jauh lebih makmur daripada kita. Contoh paling fenomenal adalah RRC dan Vietnam, yang kemajuannya luar biasa.

Unggulan Indonesia adalah pertanian/perkebunan dan hasil laut. Namun, unggulan ini tidak diurus serius, bahkan direcoki. Untuk membuka usaha di Malaysia atau Thailand, investor cukup datang ke Balaikota dan mendaftar dengan mudah dan murah. Di Indonesia, setelah delapan tahun reformasi, calon investor masih harus datang ke belasan kantor dan meja serta dipersulit. Beras kita lebih mahal daripada Thailand, Vietnam, dan India, bukan karena petani kita kalah produktif dan efisien, tetapi karena faktor off farm, berupa rongrongan preman, aparat keamanan, dan penguasa.

Pemprov DKI sebenarnya amat paham bagaimana mengelola sampah dengan baik sehingga menghasilkan energi listrik, kompos, bahan reklamasi, dan lain-lain. Namun, jika itu semua dilakukan, peluang untuk korupsi mengecil. Sebab, sampah langsung dipadatkan hingga satu truk menjadi 1 meter kubik>sup<>res<>res<, limbah cairnya dibersihkan, bahan padatnya untuk energi, reklamasi, kompos, dan lain-lain.

Bisnis pemulung yang omzetnya miliaran per hari lalu tidak bisa ikut dinikmati. Kalau sampah dikelola secara profesional, selain tidak bisa korupsi, penguasa juga sulit menyalahkan orang miskin yang menjadi pemulung.

F Rahardi
Penyair, Wartawan

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home