Dekade Asia dan Tiongkok
Ahmad Erani Yustika
Hampir bisa dipastikan dekade sekarang ini bidang ekonomi akan direbut oleh Tiongkok. Secara umum, dasawarsa saat ini sebetulnya bukan cuma milik Tiongkok, tapi juga Asia. Jepang, Singapura, Korsel, dan India silih berganti mencetak rekor untuk memantapkan posisi ekonomi masing-masing. Jepang sudah berada dalam fase pemulihan dengan menggapai pertumbuhan ekonomi positif (2%).
Bahkan, data terbaru menunjukkan tiga negara Asia, yakni Tiongkok, Jepang, dan India pada 2005 masuk 10 besar (top ten) negara yang terbesar ekonominya. Sedangkan Asia menyumbang lebih dari 35% pendapatan (GDP) dunia, meninggalkan USA (20%) dan Uni Eropa (20%).
Fakta-fakta tersebut tentu sangat mengejutkan, mengingat pada 1997/1998 negara-negara Asia diterjang oleh krisis ekonomi yang parah. Namun, dengan cara masing-masing mereka mulai bergerak dan sekarang menyumbang hampir 50% pertumbuhan ekonomi dunia (Finance and Development, Juni 2006).
Figur Asia
Setelah Asia memperoleh capaian yang luar biasa dalam bidang ekonomi sejak 1950-1997 -pertumbuhan ekonominya dua kali lipat dari rata-rata pertumbuhan dunia-, tiba-tiba ekonomi Asia dihajar krisis ekonomi pada pertengahan 1997. Negara-negara yang dulu dijuluki sebagai negara ajaib, seperti Taiwan, Korsel, Hongkong, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand mendadak ekonominya lumpuh.
Sebagian besar ekonom yakin bahwa penyebab krisis tersebut setidaknya bersumber dari dua soal. Pertama, negara-negara Asia tumbuh dengan alas utang luar negeri (baik di sektor pemerintah maupun korporasi swasta), sehingga sangat rentan terhadap gejolak ekonomi eksternal, khususnya fluktuasi nilai tukar mata uang.
Kedua, sektor-sektor ekonomi yang berkembang di negara Asia bukanlah sektor riil yang tradable, melainkan sektor finansial dan ekonomi non-tradable lainnya (industri properti). Sektor-sektor ini diandaikan mirip buih yang menimbulkan pertumbuhan maya.
Namun, saat ini, dengan kombinasi penciptaan kebijakan ekonomi yang tepat dan disiplin fiskal/moneter yang ketat, perlahan-lahan figur ekonomi Asia dapat diperbaiki.
Contoh yang paling baik adalah penanganan utang luat negeri (debt). Hampir semua negara penting di Asia, seperti Thailand, Korsel, Malaysia, Indonesia, Filipina, India, Hongkong, dan Singapura bisa memperbaiki manajemen utang luar negeri.
Pada 1998, misalnya, utang macet (nonperforming loan) Thailand mencapai 42% dari total utang, Korsel 30%, Malaysia 21%, Indonesia 48%, Filipina 11%, India 14%, Hongkong 8%, dan Singapura 12%. Berturut-turut, utang macet negara tersebut sekarang ini tinggal 11%, 2%, 12%, 6%, 13%, 7%, 2%, dan 5%. Hal yang sama terjadi pada korporasi swasta, yang secara perlahan rasio utang terhadap modal (debt to equity) terus mengecil.
Misalnya, pada 1998 rasio utang terhadap modal mencapai 200%, namun pada 2004 tinggal 95% (IMF, 2004). Deskripsi tersebut menggambarkan keberhasilan negara dan korporasi Asia untuk memandirikan ekonomi.
Sungguhpun begitu, masih ada pertanyaan besar tentang pertumbuhan ekonomi Asia akhir-akhir ini. Ditengarai pertumbuhan ekonomi tersebut masih dipicu oleh sektor finansial dan non-tradable, sehingga secara umum bersifat semu. Sektor-sektor tersebut berkembang dengan pesat, tapi diraih dengan meninggalkan sektor riil. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi itu tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.
Kasus Indonesia, misalnya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi saat ini hanya menyerap tenaga kerja sekitar 42.000. Bandingkan dengan 2002, yang setiap pertumbuhan ekonomi 1% menyerap tenaga kerja sekitar 250.000. Sedangkan sebelum krisis 1997, rata-rata setiap 1% pertumbuhan ekonomi menyerap 400.000 - 500.000 tenaga kerja.
Jadi, sekarang pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tapi penyerapan tenaga kerjanya rendah. Ini argumentasi yang kukuh untuk menjelaskan mengapa jumlah pengangguran dan kemiskinan kian bertambah.
Gurita Tiongkok
Di antara negara Asia yang mengalami pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan adalah Tiongkok. Secara jenaka, seorang ekonom mengatakan saat ini sebagian besar negara persoalannya adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebaliknya masalah di Tiongkok adalah bagaimana menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Seloroh itu mungkin benar, karena faktanya ekonomi Tiongkok tumbuh di atas 10% setiap tahun. Bahkan, pada 2005 bisa mengakumulasi cadangan devisa (foreign exchange reserves) sekitar 1.800 miliar dolar (bandingkan dengan Indonesia yang bertengger pada angka sekitar USD 40 milar). Padahal, pada 1997 cadangan devisa Tiongkok hanya sekitar USD 500 miliar. Secara khusus, AS beberapa waktu lalu malah mengemis kepada pemerintah Tiongkok untuk mengapreasiasi mata uangnya karena mereka memperoleh surplus perdagangan yang luar biasa besar dengan AS.
Kasus Tiongkok itu menjadi pelajaran yang baik, karena pertumbuhan ekonominya diiringi ekspor yang meningkat (walaupun tidak dapat menggambarkan kinerja ekspor yang sebenarnya, cadangan devisa yang besar bisa dipakai sebagai salah satu parameter). Di balik ekspor barang/jasa tersebut, implisit di dalamnya tumbuh industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Hal ini terjadi karena Tiongkok mengembangkan industri padat karya dan elektronik yang memanfaatkan teknologi tingkat madya. Dengan model ini, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan munculnya pengangguran dan kemiskinan yang akut. Andaipun terdapat masalah di Tiongkok, barangkali salah satu yang masih mengganjal adalah pemusatan kegiatan ekonomi di wilayah tertentu saja.
Selain itu, tentu masih banyak aspek yang harus diungkap di balik kisah keberhasilan (dan juga kegagalan) Tiongkok. Pemimpin Indonesia harus belajar dari itu dan bukan sekadar pintar melemparkan wacana.
Ahmad Erani Yustika PhD, staf pengajar pada FE Unibraw, direktur eksekutif Ecorist (The Economic Reform Institute), Malang
Hampir bisa dipastikan dekade sekarang ini bidang ekonomi akan direbut oleh Tiongkok. Secara umum, dasawarsa saat ini sebetulnya bukan cuma milik Tiongkok, tapi juga Asia. Jepang, Singapura, Korsel, dan India silih berganti mencetak rekor untuk memantapkan posisi ekonomi masing-masing. Jepang sudah berada dalam fase pemulihan dengan menggapai pertumbuhan ekonomi positif (2%).
Bahkan, data terbaru menunjukkan tiga negara Asia, yakni Tiongkok, Jepang, dan India pada 2005 masuk 10 besar (top ten) negara yang terbesar ekonominya. Sedangkan Asia menyumbang lebih dari 35% pendapatan (GDP) dunia, meninggalkan USA (20%) dan Uni Eropa (20%).
Fakta-fakta tersebut tentu sangat mengejutkan, mengingat pada 1997/1998 negara-negara Asia diterjang oleh krisis ekonomi yang parah. Namun, dengan cara masing-masing mereka mulai bergerak dan sekarang menyumbang hampir 50% pertumbuhan ekonomi dunia (Finance and Development, Juni 2006).
Figur Asia
Setelah Asia memperoleh capaian yang luar biasa dalam bidang ekonomi sejak 1950-1997 -pertumbuhan ekonominya dua kali lipat dari rata-rata pertumbuhan dunia-, tiba-tiba ekonomi Asia dihajar krisis ekonomi pada pertengahan 1997. Negara-negara yang dulu dijuluki sebagai negara ajaib, seperti Taiwan, Korsel, Hongkong, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand mendadak ekonominya lumpuh.
Sebagian besar ekonom yakin bahwa penyebab krisis tersebut setidaknya bersumber dari dua soal. Pertama, negara-negara Asia tumbuh dengan alas utang luar negeri (baik di sektor pemerintah maupun korporasi swasta), sehingga sangat rentan terhadap gejolak ekonomi eksternal, khususnya fluktuasi nilai tukar mata uang.
Kedua, sektor-sektor ekonomi yang berkembang di negara Asia bukanlah sektor riil yang tradable, melainkan sektor finansial dan ekonomi non-tradable lainnya (industri properti). Sektor-sektor ini diandaikan mirip buih yang menimbulkan pertumbuhan maya.
Namun, saat ini, dengan kombinasi penciptaan kebijakan ekonomi yang tepat dan disiplin fiskal/moneter yang ketat, perlahan-lahan figur ekonomi Asia dapat diperbaiki.
Contoh yang paling baik adalah penanganan utang luat negeri (debt). Hampir semua negara penting di Asia, seperti Thailand, Korsel, Malaysia, Indonesia, Filipina, India, Hongkong, dan Singapura bisa memperbaiki manajemen utang luar negeri.
Pada 1998, misalnya, utang macet (nonperforming loan) Thailand mencapai 42% dari total utang, Korsel 30%, Malaysia 21%, Indonesia 48%, Filipina 11%, India 14%, Hongkong 8%, dan Singapura 12%. Berturut-turut, utang macet negara tersebut sekarang ini tinggal 11%, 2%, 12%, 6%, 13%, 7%, 2%, dan 5%. Hal yang sama terjadi pada korporasi swasta, yang secara perlahan rasio utang terhadap modal (debt to equity) terus mengecil.
Misalnya, pada 1998 rasio utang terhadap modal mencapai 200%, namun pada 2004 tinggal 95% (IMF, 2004). Deskripsi tersebut menggambarkan keberhasilan negara dan korporasi Asia untuk memandirikan ekonomi.
Sungguhpun begitu, masih ada pertanyaan besar tentang pertumbuhan ekonomi Asia akhir-akhir ini. Ditengarai pertumbuhan ekonomi tersebut masih dipicu oleh sektor finansial dan non-tradable, sehingga secara umum bersifat semu. Sektor-sektor tersebut berkembang dengan pesat, tapi diraih dengan meninggalkan sektor riil. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi itu tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.
Kasus Indonesia, misalnya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi saat ini hanya menyerap tenaga kerja sekitar 42.000. Bandingkan dengan 2002, yang setiap pertumbuhan ekonomi 1% menyerap tenaga kerja sekitar 250.000. Sedangkan sebelum krisis 1997, rata-rata setiap 1% pertumbuhan ekonomi menyerap 400.000 - 500.000 tenaga kerja.
Jadi, sekarang pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tapi penyerapan tenaga kerjanya rendah. Ini argumentasi yang kukuh untuk menjelaskan mengapa jumlah pengangguran dan kemiskinan kian bertambah.
Gurita Tiongkok
Di antara negara Asia yang mengalami pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan adalah Tiongkok. Secara jenaka, seorang ekonom mengatakan saat ini sebagian besar negara persoalannya adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebaliknya masalah di Tiongkok adalah bagaimana menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Seloroh itu mungkin benar, karena faktanya ekonomi Tiongkok tumbuh di atas 10% setiap tahun. Bahkan, pada 2005 bisa mengakumulasi cadangan devisa (foreign exchange reserves) sekitar 1.800 miliar dolar (bandingkan dengan Indonesia yang bertengger pada angka sekitar USD 40 milar). Padahal, pada 1997 cadangan devisa Tiongkok hanya sekitar USD 500 miliar. Secara khusus, AS beberapa waktu lalu malah mengemis kepada pemerintah Tiongkok untuk mengapreasiasi mata uangnya karena mereka memperoleh surplus perdagangan yang luar biasa besar dengan AS.
Kasus Tiongkok itu menjadi pelajaran yang baik, karena pertumbuhan ekonominya diiringi ekspor yang meningkat (walaupun tidak dapat menggambarkan kinerja ekspor yang sebenarnya, cadangan devisa yang besar bisa dipakai sebagai salah satu parameter). Di balik ekspor barang/jasa tersebut, implisit di dalamnya tumbuh industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Hal ini terjadi karena Tiongkok mengembangkan industri padat karya dan elektronik yang memanfaatkan teknologi tingkat madya. Dengan model ini, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan munculnya pengangguran dan kemiskinan yang akut. Andaipun terdapat masalah di Tiongkok, barangkali salah satu yang masih mengganjal adalah pemusatan kegiatan ekonomi di wilayah tertentu saja.
Selain itu, tentu masih banyak aspek yang harus diungkap di balik kisah keberhasilan (dan juga kegagalan) Tiongkok. Pemimpin Indonesia harus belajar dari itu dan bukan sekadar pintar melemparkan wacana.
Ahmad Erani Yustika PhD, staf pengajar pada FE Unibraw, direktur eksekutif Ecorist (The Economic Reform Institute), Malang
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home