| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, August 16, 2006,11:31 AM

Nasionalisme Indonesia Setelah 61 Tahun Merdeka

Bawono Kumoro

Besok, tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan ke-61. Setiap kali merayakan hari kemerdekaan, setiap itu pula muncul berbagai pertanyaan dalam diri kita. Salah satunya perihal nasionalisme. Bagaimanakah nasionalisme kita dewasa ini?

Banyak kalangan menilai, nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa telah lusuh dan usang. Hemat penulis, nasionalisme menjadi lusuh dan usang karena ia telah teramat sering dibajak oleh rezim-rezim yang berkuasa hanya untuk kepentingan kekuasaan belaka.

Dalam studi ilmu politik, pembahasan mengenai nasionalisme tak bisa lepas dari nation itu sendiri. Ernest Renan melalui tulisannya yang terkenal, What is a Nation?, mengatakan, nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan.

Pemikiran Ernest Renan ini amat memengaruhi alur berpikir dari pemikir-pemikir sesudahnya, salah satunya Benedict Anderson. Benedict Anderson memaknai imagined community sebagai cikal bakal munculnya konsep nasionalisme.

Suatu bangsa pada dasarnya ialah suatu komunitas sosial politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas, sekaligus berkedaulatan. Pada komunitas itu masing-masing anggotanya belum tentu saling mengenal satu sama lain, tetapi di benak setiap anggotanya hidup bayangan tentang kebersamaan dan persaudaraan.

Melalui konsep imagined community dapat kita identifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya kesamaan perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh yang sama, dan tujuan bersama. Berbekal semangat itulah, nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme digunakan sebagai amunisi bersama dalam menentang hegemoni kolonialisme.

Namun, kini nasionalisme bangsa terasa kian meredup sinarnya. Sebab utamanya adalah kian maraknya praktik negatif kekuasaan. Mulai dari buruknya kinerja serta rusaknya etika birokrat, elite politik, para penegak hukum, tindakan-tindakan represif negara, sampai pada ketidakadilan pembagian "kue pembangunan" telah mengakibatkan makin menguatnya gejala ketidakpatuhan sosial di dalam masyarakat.

Hal itu kemudian mengakibatkan hilangnya kepercayaan (distrust) masyarakat terhadap negara. Masyarakat tidak memiliki panutan dalam bertindak. Akibat lebih lanjut dari hal ini adalah makin memudarnya kohesi sosial bangsa Indonesia. Padahal—sebagaimana Francis Fukuyama katakan—kepercayaan merupakan social capital terpenting dalam masyarakat. Masyarakat yang distrust amat kontraproduktif dengan bangunan masyarakat sipil yang kuat, yang notabene merupakan conditio sine qua non bagi terciptanya negara demokrasi modern.

Realitas itu diperparah dengan lemahnya civic nationalism bangsa sehingga mengakibatkan suburnya semangat ethno-nationalism di masyarakat. Ethno-nationalism ialah bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-identitas primordial, seperti etnis, suku, dan ras. Tetapi dalam pengertian lebih luas, ethno-nationalism didefinisikan sebagai doktrin yang melekat pada suatu kelompok masyarakat yang merasa memiliki perbedaan budaya, sejarah, maupun prinsip-prinsip hidup tersendiri sehingga mereka merasa perlu memiliki sebuah pemerintahan sendiri.

Ethno-nationalism dapat pula dibaca sebagai bentuk hilangnya loyalitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap sebuah ikatan yang lebih besar, yakni bangsa dan negara Indonesia. Jika fenomena ethno-nationalism berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan mustahil bila riwayat NKRI akan berujung pada disintegrasi bangsa sebagaimana yang pernah dialami Uni Soviet dulu.

Dalam menyikapi fenomena itu, pemerintah sedapat mungkin harus menghindari cara-cara represif. Cara-cara persuasiflah yang seharusnya dikedepankan, misalnya dalam menghadapi gerakan ethno-nationalism yang bertujuan untuk memisahkan diri, maka yang harus dilakukan adalah negosiasi ulang pembagian sumber daya ekonomi daerah.

Pendekatan dialogis senantiasa harus selalu diutamakan dan diusahakan semaksimal mungkin. Selain itu, penting pula adanya sebuah pengakuan resmi secara konstitusional terhadap berbagai bentuk identitas primordial yang ada bahwa keberadaannya akan memperkaya khazanah identitas nasional bangsa keseluruhan.

Pengakuan itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri masing-masing kelompok masyarakat—terlebih yang memiliki potensi ethno-nationalism dan separatisme—bahwa tindakan untuk memisahkan diri dari NKRI guna menjadi negara tersendiri merupakan hal yang tidak menguntungkan.

BAWONO KUMORO Peneliti dan Analis pada Laboratorium Politik Islam Universitas Islam Negeri Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home