| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, August 14, 2006,12:02 PM

Merdeka atau (Masih) Terjajah?

Bustanuddin Agus
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas

Dalam peringatan HUT RI ke-61 ini, perlu direnung kembali apakah sebenarnya yang dinamakan kemerdekaan itu. Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memang telah memproklamirkan kemerdekaannya. Indonesia tidak mau dijajah lagi oleh Belanda atau oleh kekuatan asing mana pun. Walau demikian, Belanda memang ingin kembali menjajah. Ia membonceng dengan tentara Inggris yang masuk ke Indonesia untuk melucuti senjata Jepang.

Ia juga melancarkan agresi dengan kekuatan persenjataannya dan dilawan oleh bangsa Indonesia yang tidak mau dijajah lagi dengan senjata bambu runcing. Dengan harta, darah, dan nyawa dalam perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomasi, penjajahan Belanda dapat diakhiri. Perjanjian Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar bulan Oktober 1949 adalah tonggak sejarah mengakhiri pendudukan asing itu.

Penjajahan klasik
Penjajah Belanda, terutama di Jawa dan Madura, telah bercokol selama tiga setengah abad. Mereka datang dengan kapal dari negerinya, nun jauh di Eropa sana. Serikat dagang VOC memasuki pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1602. Mereka datang dengan kedok untuk berdagang, tapi juga disertai tentara dam misionaris (gospel) untuk merebut glory dan gold. Sebelumnya, ekspedisi Potugis juga sudah berusaha merebut Aceh dan Maluku. Inggris juga pernah menduduki Bengkulu.

Penjajahan Jepang, walaupun hanya berlangsung selama tiga setengah tahun, tapi membunuh ratusan ribu pemuda Indonesia akibat kerja paksa Romusha. Kemiskinan sangat menyengsarakan rakyat karena makanan, pakaian dan lainnya dikumpulkan untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Penjajah fasis ini juga memaksakan rakyat menyembah matahari terbit, tempat tuhan Amaterasu mereka.

Penjajah Belanda, menurut sejarawan Perancis, CH Bosquet, lebih mengutamakan motivasi mengumpulkan gold, kekayaaan sebanyak-banyaknya dari pada mengembangkan budaya dan bahasanya. Berbeda dengan Inggris dan Potugis yang juga mementingkan penjajahan budaya. Bahasa adalah pintu masuk ke hegemoni budaya. Sehingga rakyat bekas jajahan Inggris, sebagaimana juga jajahan Portugis, Spanyol, dan Perancis, menguasai bahasa penjajah.

Prancis memaksakan kepada anak-anak sekolah daerah jajahannya untuk menghafalkan semboyan 'nenek moyang kami andalah orang-orang Gaul berambut pirang'. Jangankan agama dan adat istiadat mereka akan mereka hayati, keturunan dan warna kulit pun diajar untuk diingkari. Di semenanjung Iberia, Spanyol melancarkan kristenisasi dan ethnic cleansing terhadap kaum Muslimin dengan semangat Reqonquesta tahun 1492. Hatta sampai ke Filipina pun, kaum Muslimin yang mereka buru. Filipina, bekas jajahan Spanyol dan Timor Timur bekas jajahan Portugis, hampir semua penduduknya beragama Katolik.

Melakukan tanaman paksa dan membeli hasil bumi Indonesia dengan harga amat murah, dan monopoli, disertai dengan ancaman senjata, adalah penjajahan yang mudah dipahami oleh setiap bangsa terjajah. Penjajahan begini adalah penjajahan klasik. Mereka tinggal (berkoloni) di negeri orang, sehingga dinamakan kolonialis. Mereka malah menguasai negeri lain secara politik dan ekonomi sehingga mereka juga dinamakan imperialis (emperor adalah raja diraja wilayah yang sangat luas).

Penjajahan modern
Proklamasi kemerdekaan diikuti pula oleh momen the Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948 oleh PBB. Deklarasi itu menyatakan tidak boleh lagi ada penjajahan dan exploitation de l'homme par l'homme. Sampai sekitar tahun 1950, negara-negara jajahan sudah meraih kemerdekaannya, walaupun penjajahan masih ada sesudah deklarasi PBB tersebut, seperti di Timor Timur dan Fiji menjelang abad ke-21 ini. Pertanyaannya sekarang, betulkan negara-negara jajahan tersebut, khususnya Indonesia, sudah merdeka?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijawab terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan merdeka itu? Pejajahan dalam pandangan awam memang hanya berupa pendudukan asing dan meraup kekayaan dari daerah jajahan. Tapi ini pengertian awam dan hanya kecenderungan Belanda dalam menjajah.

Inggris, Prancis dan Portugis tidak hanya melakukan penjajahan ekonomi dan militer, tapi juga pemikiran, agama dan kebudayaan. Mereka berpikiran bahwa untuk menyuskseskan penjajahan ekonomi, perlu diperkuat dengan penjajahan pemikiran dan budaya. Kondisi sebaliknya lah yang lebih benar: penjajahan pemikiran, agama dan budaya jauh lebih berbahaya dan lebih dahsyat dari penjajahan ekonomi.

Dalam era globalisasi, bumi ini sudah merupakan desa kecil karena kecanggihan tranportasi dan teknologi komunikasi. Setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin, Amerika dan sekutunya menjadikan Islam dan umatnya serta masyarakat berbudaya Konfusius sebagai musuh baru (Huntington 1992). Tapi menghadapi Islam diperkuat dengan trauma Perang Salib. Trauma Perang Salib hanya sebagai simbol. Simbol ini diperkuat lagi dengan simbol tragedi 11 September. Perang dilancarkan untuk menghancurkan apa yang mereka namakan Islam fundamentalis atau Islam militan yang mereka indentikkan dengan teroris.

Di samping itu, dengan semangat Renaissansnya, semangat menyingkirkan peran agama dari kehidupan bermasyarakat, konflik antara Islam dan Barat merambah ke bidang pemikiran. Barat mengusung pemikiran sekularisme, sedangkan Islam mengajarkan bahwa agama atau petunjuk Allah SWT harus dipedomani dalam menjalani segala aspek kehidupan di dunia ini. Barat yang dimotori Amerika menyebarkan paham pasar bebasnya.

Demokrasi liberal, individualisme, dan liberalisme mereka kembangkan ke seantero dunia. Dengan penguasaan media, dunia pendidikan, dan ekonomi. Penjajahan pemikiran ini menyebar cepat dan luas di dunia, termasuk Indonesia.

Pendukung sekularisme dan liberalisme dari kalangan sendiri di Indonesia ini telah berani mengeluarkan kata-kata kasar memprotes fatwa MUI Pusat kepada bangsa ini. Provinsi, kabupaten, dan kota yang ingin membangun daerahnya dengan mengambil inspirasi dari ajaran agama, dituduh sebagai bertentangan dengan konstitusi. Menggolkan tujuan pendidikan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa saja demikian alot dan sulit di negeri yang katanya sudah merdeka ini. Beginikah yang namanya merdeka?

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home