| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 15, 2006,12:56 PM

Hukum di Negeri Merdeka

Satjipto Rahardjo

Dalam suasana memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, terbuka kesempatan untuk merenungkan, apakah hukum kita sudah merdeka atau seberapa besar kemerdekaan hukum kita? Apakah kemerosotan kepercayaan terhadap berbagai institusi hukum, konflik antarsesama institusi hukum, ada hubungannya dengan masalah kemerdekaan hukum kita?

Bangsa dan negara Indonesia muncul dari suatu wilayah yang semula menjadi jajahan Belanda. Di dunia ini banyak negara yang mengalami perjalanan sejarah seperti Indonesia, termasuk Amerika Serikat, yang sekarang menjadi salah satu bangsa dan negara terkemuka di dunia.

Mematahkan belenggu masa lalu

Bangsa-bangsa yang semula dijajah kemudian merdeka mengalami persoalan yang sama, yaitu apa yang akan mereka lakukan dengan hukum yang diwariskan oleh negeri yang semula menjajahnya?

Kita telah merdeka selama 61 tahun. Apakah waktu sepanjang itu sudah memadai untuk membuat periodisasi sejarah hukum negeri kita? Mungkin nanti, jika Indonesia sudah berusia lebih dari seratus tahun, kita bisa melihat lebih baik sejarah hukum kita sekaligus membuat penilaian mengenai prestasi baik dan tidak baik dalam cara bangsa ini berhukum.

Atas keadaan itu, bisa dikatakan, bangsa-bangsa yang semula dijajah harus mengambil keputusan, tentang apa yang akan dilakukan dengan hukum di masa lalu. Amerika Serikat yang sudah merdeka dari Inggris selama ratusan tahun menyebut masa awal kemerdekaan sebagai "Abad Penemuan Diri" (The Age of Discovery). Ini amat menarik bagi Indonesia karena tahun-tahun awal kemerdekaan juga disibukkan pencarian untuk menemukan hukum yang memiliki identitas Indonesia.

Menjungkirkan pikiran lama

Menurut Grant Gilmore, pada awal sejarahnya, Amerika Serikat telah berjuang keras untuk melepaskan diri dari belenggu hukum Inggris. Itu dilakukan dengan tidak tanggung-tanggung, yaitu dengan membangun "doktrin Amerika", "perkembangan ala Amerika", dan "konsep hukum Amerika".

Langkah demikian mengisyaratkan, Amerika Serikat harus memikirkan sendiri hukum sesudah merdeka dari Inggris, berdasar ukuran apa yang baik untuk negerinya. Ini juga dilakukan dengan bersungguh-sungguh, bahkan dengan mematahkan belenggu besi, seperti doktrin Trias Politika. Doktrin besi ini dipatahkan, misalnya, dengan membuat pengadilan mereka bertindak seperti eksekutif (government by the judiciary).

Kita sudah merdeka, maka jangan takut untuk secara progresif menggariskan apa kemauan hukum Indonesia. Memang, waktu Amerika Serikat berjuang memancangkan tonggak hukum dan konsep Amerika sebaiknya jangan memaksakan kemauan mereka kepada dunia, karena beberapa ratus tahun lalu, mereka sudah menjadi kampiun pemberontak terhadap pengaruh dan belenggu dari luar.

Karena sudah merdeka, sebaiknya kita tidak segan-segan untuk memeriksa kembali apa yang cocok dan tidak dengan diri kita. Jika kita berpikir, masyarakat Indonesia lebih bersifat komunal daripada individual, maka lakukanlah pembaruan ke arah itu. Kalau kita berkeyakinan Pancasila cocok sebagai cita-cita hukum, maka perjuangkanlah dengan sungguh-sungguh, yang mungkin akan memuncak kepada pembangunan suatu kultur berhukum yang baru.

Manusia-manusia merdeka

Cukup banyak gagasan sosial dan hukum kita, yang lebih sering berhenti menjadi bahan pembicaraan saja. Jangan terjadi jika mau melihat praksis hubungan industrial Pancasila, kita harus datang ke Jepang yang sama sekali tidak tahu Pancasila, karena yang muncul di Indonesia justru kasus Marsinah, cerita buruh yang dijemur, PHK, dan lain-lain.

Bisa menggagas ide-ide baru menunjukkan, kita sudah mulai merdeka, tetapi belum sepenuhnya merdeka, sebelum kita berani melakukan apa yang kita pikirkan.

Hukum yang merdeka juga membutuhkan awak hukum yang merdeka pula. Hakim, jaksa, advokat, birokrat, polisi, dan ilmuwan yang merdeka adalah yang secara progresif berani menerjemahkan keinginan, penderitaan, dan cita-cita bangsanya. Dengan demikian, awak hukum yang merdeka adalah mereka yang protagonis, bukan antagonis, yang progresif, bukan regresif.

Awak hukum yang merdeka tidak membiarkan dirinya dibelenggu hukum atau berlindung di belakang pasal-pasal dan prosedur hukum. Jangan mengkhawatirkan kepastian hukum, jangan berpikir akan terjadi kekacauan (chaos), karena ketertiban itu tidak hanya ditentukan oleh hukum formal.

Sebenarnya kita tidak miskin manusia-manusia merdeka, tetapi mereka umumnya terpinggirkan. Lupakah kita kepada Adi Andojo Soetjipto, Baharuddin Lopa, Hoegeng, dan Bismar Siregar, untuk menyebut sedikit contoh. Mereka berpikir dan bertindak merdeka, karena itu berani mengambil risiko. Mari kita bersihkan Mahkamah Agung. Begitu kata mantan hakim agung Bismar Siregar. Percayalah, manusia-manusia merdeka seperti itu tidak hanya ada di pusat, tetapi juga pada hakim dan jaksa kecil di daerah-daerah. Maka, mereka jangan "dibunuh".

Dalam suasana memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, diharapkan semangat kemerdekaan juga menjadi kekuatan untuk mendorong makin munculnya awak hukum yang merdeka, progresif, berani melakukan pembebasan demi menjadikan negara hukum Indonesia negara hukum yang bermakna bagi seluruh rakyat.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home