| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 15, 2006,12:54 PM

Hermeneutisasi Makna Kemerdekaan

Robert Bala

Dalam merayakan HUT kemerdekaan, desakan untuk memaknai kembali masa lampau begitu kuat. Teladan para pendiri republik begitu memukau, terutama saat kiprah pemimpin kini, demikian kata mereka, jauh untuk diperbandingkan.

Kerinduan ini bisa dipahami. Masa lalu sebagai pengalaman adalah guru, darinya kita menimba aneka kebijaksanaan. Bagaimana memaknainya? Haruskah kita kembali menjemputnya seperti keadaan waktu itu (in illo tempore), atau mengaktualisasikannya melalui proses hermeneutisasi sehingga lebih pas untuk zaman kita?

Pemahaman tak henti

Hermeneutika, sebagai metode interpretasi dan pemaknaan suatu teks, bukan hal baru. Para filsuf dan teolog abad-abad lalu menjadikannya sebagai metode dalam memaknai Kitab Suci agar lebih tepat sesuai konteks zamannya.

Dalam perjalanan, metode ini merambah ilmu-ilmu sosial. Nama-nama seperti FDE Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida telah menjadikan studi ini begitu aktual. Bagi mereka, teks bukan sebuah warisan yang hanya bermakna saat dijabarkan secara hurufiah, tetapi sebuah proses pemaknaan yang amat mengandaikan subyek sebagai perespons dan konteks sosial yang melingkupinya.

Pemahaman seperti ini dijelaskan amat menarik oleh T Eagleton. Dalam Literary Theory: An Introduction (1983), krisis ideologi Eropa, akibat pemikiran positivisme-ilmiah, dilihat sebagai latar belakang. Di sana kondisi subyek tidak terlalu diberi tempat. Padahal dalam banyak hal, tidak sedikit perubahan sosial yang selain sulit dijelaskan, juga sulit dipahami karena tidak mengikuti kaidah ilmiah.

GB Madison dalam The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes (1988) mengemukakan, karya-karya besar dalam sejarah tidak bisa dipagari dengan interpretasi definitif. Ia harus menjadi kajian terbuka yang memungkinkan interpretasi tanpa henti. Meminjam ungkapan Dithley, pemahaman (verstehen) yang kontekstual menjadikan teks atau ucapan lebih bermakna melibatkan subjek dalam menyelami pandangan-pandangan dunia (welstancauunganen). Dalam aspek ini, pelibatan unsur kognitif, emotif, dan visional dari subyek yang memberi respons amat berperan.

Anak zaman

Bagaimana kaitan studi hermeneutika sosial dengan pemaknaan kemerdekaan? Bagaimana memahami dan memaknai teks Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan? Ini pertanyaan penting, selain untuk menghindari pelarian nostalgis dan pengultusan pribadi founding fathers demi tujuan politis, terutama untuk memaknainya secara baru, sejalan perubahan zaman dan kondisi subyek-perespons dalam menanggapinya.

Pertama, teks proklamasi tulisan tangan Bung Karno, dengan aneka coretan perbaikan, menandakan bahwa tidaklah mudah seperti dibayangkan saat ini untuk mencapai kesepakatan. Mereka bergelut dalam konflik. Ada pertentangan, perbedaan pendapat, yang terlihat dalam peristiwa Rengasdengklok. Namun, ada kesadaran untuk membangun negeri ini sebagai tempat di mana pluralisme dilihat sebagai keterberian yang perlu dibanggakan.

Keberhasilan mengatasi konflik menjadi acuan. Aneka konflik antarbudaya, agama, etnis, hingga pemaksaan ideologi partikular menjadi ancaman amat serius saat ini. Di sini dinantikan komitmen kebangsaan untuk mencari titik temu sehingga menjadikan bangsa ini tumbuh dan berkembang ke arah civil society yang matang. Di sana disiplin diri dan sosial, toleransi, pemberian tempat kepada pluralitas, cinta kasih, sekadar menyebut beberapa nilai, dijadikan ciri khas.

Kedua, Proklamasi Kemerdekaan saat itu mendapat sambutan karena dibangun di atas kesadaran guna menjadikan negeri ini payung bagi aneka budaya, daerah, agama, suku, ras, dan golongan. Di atas komitmen ini, pelbagai tantangan dari luar dilerai. Bahkan, secara positif memanfaatkan peluang yang ditawarkan. Kekalahan Jepang dan belum berkuasanya Sekutu dijadikan momen yang pas untuk memproklamasikan bangsa ini.

Nilai seperti itu kini amat dinantikan. Di tengah arus globalisasi dan pasar bebas yang lebih berpihak kepada negara-negara kaya, belum terhitung aneka trik menciptakan ketidakamanan dunia melalui perang, terutama invasi sebagai ladang penjualan senjata, sebagaimana dilakoni AS, ternyata secara internal kita masih dibebankan aneka intrik egoistik dan pemahaman eksklusif yang amat mengancam persatuan dan kesatuan. Kenyataan seperti ini akan menjadikan bangsa bangga memasuki ketidakpastian orientasi, hingga bukan mustahil menjadi negara gagal.

Ketiga, pemaknaan tiada henti tentang kemerdekaan bakal kian berfaedah saat disertai relativisme internal. Itu berarti dibutuhkan kesediaan untuk bersifat adaptif dalam arti menempatkan refleksi dan keyakinan pribadi atau kelompok dalam bingkai rancangan pembangunan sebuah bangsa yang pluralis.

Dalam kenyataan, ketertutupan dan bahaya pemberlakuan "kebenaran tunggal" dari keyakinan kelompok masih menghantui kita. Di sana, konflik antarideologi berbeda bukan mustahil akan memecah belah bangsa besar ini. Sebaliknya, dibutuhkan kesediaan untuk semakin menjadikan bangsa ini tempat berseminya nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang akan membawa kegembiraan dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Merdeka!

Robert Bala Pemerhati Masalah Sosial

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home