| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, August 14, 2006,12:04 PM

Etos Kemerdekaan

Andreas Yumarma

Semangat dasar kemerdekaan Indonesia saat ini sebenarnya tidak pernah pudar. Hanya saja, di tengah tantangan dan tatanan dunia baru yang mengglobal, etos kemerdekaan sedang mencari bentuk yang sesuai tuntutan zaman dan ada di persimpangan jalan.

Ruang publik yang diciptakan berkat gerakan reformasi cenderung salah arah saat visi keindonesiaan tidak lagi kokoh dan penentu kebijakan (yudikatif, eksekutif, legislatif) tidak memiliki komitmen terhadap kesejahteraan generasi masa depan. Kedewasaan rasionalitas warga merupakan tuntutan utama sebagai prasyarat demokratisasi hidup bermasyarakat.

Politik bebas aktif

Etos kemerdekaan, sebagaimana terungkap dalam naskah proklamasi, memosisikan bangsa dan negara pada politik bebas aktif dalam arena percaturan internasional. Pernyataan bahwa segala bentuk penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai perikemanusiaan dan keadilan merupakan etos dasar untuk menjadi terhormat dan mandiri dalam pergaulan internasional.

Karena itu, bangsa yang merdeka harus berani menentang aneka penjajahan baik di dalam maupun luar negeri. Sebagai bangsa merdeka, Indonesia perlu tegas menyerukan penghentian dan kecaman terhadap serangan Israel atas Lebanon.

Bangsa mana pun dan kelompok warga mana pun di dunia sebenarnya tidak menginginkan perang. Karena itu ketika terjadi peperangan dan konflik, selalu timbul reaksi dan dorongan kuat untuk mengecam perang dan mengejar kembali perdamaian yang memungkinkan kemerdekaan. Perang terjadi ketika ada konflik kepentingan, dominasi, sempitnya realisasi diri kelompok warga, dan manusia tidak mampu mengendalikan keinginan serta tekanan psikis maupun sosial yang merasuk di bawah sadarnya.

Peristiwa konflik dan perang telah menjadi catatan zaman. Tradisi, ideologi, dan kebiasaan masyarakat kadang masih mengabadikan kebencian serta kekerasan terhadap aneka kelompok lain sehingga benih konflik dan perang terinternalisasi dalam pikiran bawah sadar.

Parahnya proses internalisasi konflik, persaingan tak sehat itu tertanam dalam pikiran dan batin anak-anak sejak dini. Televisi, media, dan kemajuan alat komunikasi selain sumbangan positifnya, ia andil menstimulasi realitas konflik yang disajikan menarik dengan selingan variasi olahraga, iklan, hiburan secara bergantian. Baudrillard menyebutkan sebagai simulacra, yaitu simulasi realitas sehingga yang ditampilkan menjadi umum dan dianggap wajar bagi sebagian besar masyarakat.

Individu-individu atau subyek dilibatkan dalam obyek kenyataan. Akibatnya, emosi dan psikomotorik individu disti- mulasi sehingga dapat terjadi, subyek melibatkan diri dalam obyek. Meminjam istilah Freud, deviasi perilaku manusia, seperti mentalitas kekanakan, terjadi saat perilaku subyek merupakan proyeksi dari pengalaman dan hasrat yang selama masa kanak-kanak ditekan dan diinternalisasi.

Pada tingkat manusia dewasa kenyataan konflik, perang, dan kompetisi tidak sehat dianggap benar oleh mereka yang terlibat aneka rasionalisasi dan argumentasi. Meski demikian, kondisi perang dan efek psikologisnya sering mengabaikan akal sehat, rasionalitas, dan kemampuan kontrol diri.

Strategi kebudayaan dan kebijakan

Agresi Israel dan isu perang menjadi permasalahan regional dan nasional. Untuk itu, strategi kebudayaan dan kebijakan komprehensif perlu diterapkan.

Pertama, positioning Indonesia amat jelas dengan proklamasi yang mengecam segala bentuk penindasan, apalagi agresi atau penyerangan suatu bangsa. Peristiwa Timor Timur memberi pelajaran karena Indonesia dianggap agresor sehingga mempersulit bangsa dan negara untuk menangani persoalan. Kecaman dan seruan penghentian perang merupakan keharusan sikap yang diperlihatkan.

Kedua, pengelolaan energi psikologis massa dengan background kebudayaan, kepercayaan, dan keagamaan perlu disinergikan menjadi kebijakan dan tindakan yang elegan melalui seruan-seruan serta pendekatan diplomatis berbasis kemanusiaan dan keadilan. Dengan demikian, kita menjadi bangsa terhormat, disegani di tengah bangsa-bangsa di dunia dengan tindakan bijak dan inner power-nya.

Ketiga, kemerdekaan bangsa dan warga perlu dijaga serta dikembangkan agar tidak terjebak keterkungkungan baru baik oleh pengaruh luar maupun aneka potensi konflik daerah yang dapat melemahkan makna dan kekuatan seruan kemanusiaan dan keadilan di tengah percaturan nasional. Cendekiawan, penguasa, dan masyarakat perlu selalu memadukan visi keindonesiaan sehingga baik bencana alam, kemiskinan, maupun masalah sosial dijadikan kesempatan untuk membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi lahirnya generasi bangsa ke depan yang betul-betul merdeka, memiliki kemandirian. Dengan demikian, kenyataan seperti gempa, tsunami, kemiskinan, penggundulan hutan, dan perdagangan anak diharapkan melahirkan tokoh-tokoh sosial yang mendapat pengakuan internasional.

Keempat, modal kultural yang beragam dan modal spiritual bangsa yang termaktub dalam UUD 1945, naskah Proklamasi, Pancasila, positioning politik bebas aktif perlu direvitalisasi dan dikembangkan menjadi bangsa untuk senantiasa menegakkan perikemanusiaan dan keadilan baik di kancah internasional maupun di dalam negeri. Pijakan yang jelas dalam hidup bersama sebagai bangsa akan amat berguna bagi penentu kebijakan dan seluruh warga masyarakat agar tidak diombang-ambingkan dinamika perpolitikan internasional.

Di tengah dinamika dunia yang terus berkembang, etos kemerdekaan yang menjadi pijakan bersama diharapkan menghasilkan tindakan dan karya nyata yang spektakuler positif sebagai monumen-monumen cerdas generasi bangsa yang mendapatkan respect dan pengakuan internasional di setiap zamannya.

Andreas Yumarma Pendidik; Pengembang Filsafat Timur; Anggota International Society for Philosophers, Inggris

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home