| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, August 14, 2006,12:00 PM

Lingkaran Setan Terorisme

Oleh Pradana Boy Z.T.F. *

SEORANG teman, kandidat doktor di Charles Darwin University, Darwin, Australia, pernah menyatakan kepada saya bahwa mereka yang disebut sebagai ahli terorisme, pada dasarnya, adalah ahli bayang-bayang. Menurut dia, meneliti terorisme sebenarnya sama dengan meneliti bayang-bayang. Mengingat, terorisme itu tidak pernah didefinisikan secara tegas, baik dalam konteks akademis maupun politis.

Dalam dunia akademis, definisi terorisme begitu luas dan bergantung pada siapa yang menciptakan definisi itu serta perspektif apa yang digunakan. Terlebih, secara politis, definisi terorisme menjadi sangat subjektif dan tendensius.

Saya merasa tertarik untuk menurunkan pernyataan tersebut dalam tulisan ini. Mengingat, saat ini sedang berlangsung dua peristiwa pada saat yang hampir bersamaan dan keduanya berkaitan erat dengan persoalan terorisme atau setidaknya radikalisme Islam. Persis sebulan setelah serangan Israel terhadap kelompok Hizbullah di Lebanon, polisi Inggris diberitakan berhasil menggagalkan rencana peledakan 10 pesawat yang hendak bertolak dari Inggris ke Amerika.

Pihak keamanan Inggris mengklaim peristiwa itu sebagai skenario global yang berpola sama dengan peledakan 9/11 (Jawa Pos, 11 Agustus 2006). Menganggap dua peristiwa tersebut saling berhubungan adalah satu analisis yang terlalu dipaksakan. Tetapi, di sisi lain, menganggap peristiwa itu sama sekali tidak memiliki hubungan, setidaknya hubungan cause and effect, adalah juga terlalu gegabah.


War Terrorism

Seluruh adegan yang sedang berlangsung di pentas politik global yang dimainkan AS saat ini sebenarnya hanya dipicu oleh satu doktrin: the war on terrorism. Doktrin tersebut telah menjadikan AS merasa berhak melakukan agresi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang dianggap sebagai teroris.

Padahal, yang sebenarnya berlangsung bukanlah konfrontasi antara pihak teroris dan antiteroris, tetapi lebih pada kepentingan politik dan ekonomi sesaat. Sehingga, terorisme sebagaimana yang didefinisikan AS tak ubahnya hitting in the darkness (memukul dalam gelap). Akibatnya, kelompok yang akan dijadikan sasaran oleh AS bisa saja berganti dengan sangat cair dan cepat tanpa harus dipertanyakan lebih jauh apa yang menjadi penyebabnya.

Bush dengan segala sikap bodohnya memaksakan idealisme bahwa AS seharusnya menjadi kiblat bagi seluruh dunia ini. Sayangnya, idealisme tersebut kemudian diterjemahkan dengan cara yang salah, yaitu dalam bentuk penghancuran kelompok-kelompok Islam yang oleh Bush diistilahkan sebagai Facist Islam. Bush beranggapan bahwa kelompok fasis Islam itulah yang sebenarnya menjadi hambatan terbesar bagi kepentingan politik dan ekonomi AS.

Sangat menarik, sebuah artikel yang ditulis Dider Chaudet, Hizb ut-Tahrir: An Islamist Threat to Central Asia? (Journal of Muslim Minority Affairs, Vol 26: 1, 2006) menengarai adanya kemungkinan AS untuk mengarahkan sasaran tembaknya ke kelompok Islam yang bernama Hizbut Tahrir. Menurut Didier, bukan tidak mungkin pasca Al-Qaidah, AS akan menjadikan Hizbut Tahrir sebagai targeted group selanjutnya.

Ariel Cohen, analis utama tentang persoalan Asia Tengah di Washington DC, secara meyakinkan melabeli Hizbut Tahrir sebagai "emerging threat to American interests". Tidak hanya di Asia Tengah, tetapi juga di Timur Tengah dan Asia Selatan (Cohen, 2003). Akibatnya, dalam konstalasi hubungan internasional saat ini, terutama yang menyangkut terorisme dan keamanan, muncul pertanyaan: "Akankah Hizbut Tahrir menggantikan Al-Qaidah?"

Bagi Stephen R. Bowers, Valeria Ciobanu, dan Anara Tabyshalieva yang mempelajari Hizbut Tahrir di Tajik, jawaban pertanyaan itu terlampau gamblang: organisasi tersebut adalah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Tetapi, yang saat ini disaksikan dunia, belum lagi sasaran AS terhadap Hizbut Tahrir tersebut direalisasikan, AS melalui sekutu setianya, Israel, mengarahkan aksinya kepada kelompok Hizbullah. Meskipun dengan dalih mempertahankan diri, mustahil agresi militer Israel ke Lebanon tersebut steril dari kepentingan politik dan ekonomi AS.


Tak Mudah Diuraikan

Karena itu, yang disebut sebagai terorisme tidak ubahnya adalah lingkaran setan yang tidak mudah diuraikan. Artinya, jika AS menganggap bahwa terorisme itu menjadi hal yang harus diperangi, tindakan AS dalam membrantas terorisme tersebut, alih-alih berdampak pada menipis atau melemahnya gerakan terorisme, justru semakin memperkuat sikap anti-Amerika dan Barat.

Penggagalan peledakan di Inggris beberapa hari lalu tidak hanya menyatakan bahwa gerakan radikalisme Islam masih ada. Tetapi, yang lebih penting, tindakan semena-mena AS dalam memerangi terorisme itu telah membuat kebencian dunia Islam kepada AS semakin menggelora. Dalam kebuntuan dialog antar peradaban seperti sekarang ini, sikap anti-Amerika itu kemudian terwujud dalam bentuk kekerasan.

Dengan demikian, menguraikan lingkaran setan terorisme tersebut sebenarnya bisa dilakukan jika pemerintahan AS di bawah Bush bisa memandang persoalan secara jernih dan mengakhiri tindakan-tindakan teror militer kepada dunia Islam. Jika tidak, berharap radikalisme Islam dan atau terorisme terhadap AS akan berakhir, baik dari dunia Islam maupun kelompok-kelompok anti-Amerika lainnya, seperti halnya menggantang asap.
* Pradana Boy Z.T.F., aktivis JIMM dan dosen FAI-UMM; sedang menyelesaikan tesis di The Australian National University, Canberra

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home