| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 15, 2006,12:52 PM

Jangan Hanya Setor Nyawa

M. A. Hakim Bin Sanuri

Pepatah mengatakan, gajah sama gajah beradu, pelanduk mati di tengah-tengah. Tampaknya, bunyi pepatah ini sangat tepat untuk menggambarkan dampak perang antara Israel dan pejuang Hizbullah. Perang yang telah berlangsung selama 32 hari itu menyebabkan sedikitnya 1.100 orang meninggal. Yang lebih menyedihkan, sebagian besar korban meninggal tersebut adalah warga sipil Lebanon yang tidak terlibat secara langsung dengan konflik (Jawa Pos, 13/08/06).

Perang adalah bencana kemanusiaan. Apa pun alasan yang melatarbelakanginya, perang selalu meninggalkan luka kemanusiaan yang tidak terkalkulasi nilainya. Akibat perang, banyak istri yang kehilangan suami, banyak anak-anak yang terpaksa yatim piatu, banyak orang tua yang kehilangan anak-anaknya. Belum lagi, harta benda lenyap dalam sekejap. Penderitaan seperti itulah yang sedang dirasakan warga sipil di wilayah konflik Israel-Hizbullah.

Sebagai sesama muslim dan sesama umat manusia, kita tentu sangat prihatin atas musibah yang dialami saudara-saudara kita di Lebanon. Keprihatinan seperti itu pula yang melatarbelakangi maraknya berbagai aksi protes dan kecaman terhadap serangan Israel akhir-akhir ini. Bahkan, sebagian saudara-saudara kita merasa tidak cukup dengan hanya memprotes, tetapi juga menyiapkan diri berangkat ke Lebanon untuk membantu pejuang-pejuang Hizbullah melawan tentara Israel.

Seperti diserukan Ustad Abu Bakar Ba’asyir kepada seluruh umat Islam, sikap Israel tidak boleh hanya dilawan dengan semangat suara. Menurut Ba’asyir, satu-satunya cara untuk melawan Israel adalah jihad (Radar Solo, 12/08/06).

Bahkan, hingga saat ini, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) terus membuka pendaftaran bagi sukarelawan yang bersedia diberangkatkan ke Lebanon. Tercatat, relawan yang sudah berangkat mencapai ratusan.

Di satu sisi, saya sepakat bahwa penyerangan yang dilakukan Israel harus ditentang. Namun, di sisi lain, pengiriman pasukan jihad ke Lebanon, menurut saya, adalah tindakan yang tergesa-gesa. Apakah jihad yang mereka lakukan sudah tepat? Apakah penderitaan rakyat Lebanon dapat diperingan dengan pengiriman pasukan jihad?

Semangat jihad yang meluap-luap sering membuat seseorang terlalu tergesa-gesa ketika menyimpulkan sebuah persoalan (heuristic thinking). Konflik yang melibatkan umat beragama satu dengan umat beragama lain dengan cepat ditafsirkan sebagai konflik antaragama. Banyak konflik nonagama yang ditarik ke wilayah persoalan antaragama akibat kesalahan dalam mengambil kesimpulan.

Ketika Poso dan Ambon bergolak, sebagian umat Islam dari wilayah lain berbondong-bondong ke area konflik dengan alasan berjihad. Persoalan yang berakar dari sentimen antarkelompok masyarakat dipersepsikan sebagai konflik antara umat Islam dan Kristen.

Buntutnya, persoalan menjadi semakin rumit dan meluas sehingga konflik berlarut-larut. Akibatnya, jumlah korban semakin banyak dan penderitaan penduduk asli pun semakin berat.

Demikian juga ketika perang meletus di Iraq. Persoalan politis antara Amerika Serikat dan Iraq (baca: Rezim Saddam Hussein) dipersepsikan sebagai konflik antaragama. Sebagian umat Islam di tanah air berangkat ke Iraq untuk melawan tentara Amerika dengan alasan berjihad membela agama Islam.

Namun, apakah benar yang diserang Amerika Serikat adalah Islam? Andai Saddam Hussein dan pengikut-pengikutnya bukanlah orang Islam, apakah Amerika akan menggagalkan serangannya?

Apa yang dilakukan Israel terhadap warga Lebanon memang biadab. Keserakahan telah membuat mereka tega membantai ribuan jiwa manusia. Ironisnya, Amerika Serikat yang menganggap diri mereka sebagai penegak HAM justru mengirimkan pasokan persenjataan ke Israel. Hanya karena kepentingan bisnis, Amerika telah menutup mata terhadap pemerkosaan harkat kemanusiaan yang tengah dilakukan Israel di Lebanon.

Namun, apakah kebiadaban Israel dan arogansi Amerika itu dapat dijadikan sebagai justifikasi terhadap tindakan yang ceroboh?

Kesalahan yang sama tidak boleh terulang. Umat Islam harus lebih jeli dalam memahami akar konflik antara Israel dan Hizbullah. Menurut saya, motif dasar penyerangan Israel terhadap pejuang Hizbullah bersifat politis, bukan pertentangan antarumat beragama.

Selain itu, umat Islam harus tetap tenang dan menggunakan rasio dalam menentukan langkah yang tepat. Kita semua tidak ingin saudara-saudara kita yang ke Lebanon hanya mengantar nyawa atau menambah beban persoalan baru bagi rakyat Lebanon.

Dalam konteks ini, pengiriman pasukan jihad ke Lebanon bukanlah langkah yang tepat. Pengiriman pasukan jihad hanya akan memperuncing persoalan dan menyebabkan konflik semakin sulit untuk diatasi. Pasukan jihad itu juga akan menghambat usaha perundingan damai yang tengah direntas pemerintah Lebanon, pejuang Hizbullah, dan dunia internasional.

Hal itu, tampaknya, telah disadari pemerintah Lebanon. Melalui duta besarnya di Indonesia, pemerintah Lebanon dengan tegas menolak pengiriman pasukan jihad ke negaranya (Jawa Pos, 13/08/06). Pemerintah Lebanon juga menyatakan, rakyat Lebanon mampu mengatasi persoalan mereka secara mandiri.

M. A. Hakim Bin Sanuri, mahasiswa Fakultas Psikologi, UGM Jogjakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home