| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, August 16, 2006,12:05 PM

Menuju Bangsa yang Mandiri

Refleksi Hari Kemerdekaan

Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebuah hasil penelitian menunjukkan adanya kemerosotan nilai-nilai kebangsaan dari tahun ke tahun di negeri ini. Dari 93,5 persen masyarakat yang menyatakan bangga sebagai bangsa Indonesia tahun 2002 menjadi 88,6 persen di tahun 2003. Sedangkan tahun 2004 mengalami lonjakan hingga posisi 94,1 persen tetapi pada tahun 2005 kembali merolot ke posisi 76,5 persen dan 67,0 persen pada tahun 2006 ini.

Pertanyaannya, mengapa kebanggaan sebagai bangsa ini mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun secara amat drastis? Banyak sekali kemungkinan yang menjadi sebab atas persoalan ini. Di antaranya adalah tidak seriusnya pemerintah dalam mengupayakan bangsa ini keluar dari berbagai kemelut krisis ekonomi, lingkungan hidup, dan berbagai persoalan kebangsaan lain seperti pemberantasan korupsi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, banyak kalangan berpandangan bahwa sejatinya bangsa ini belum mencapai kemerdekaanya yang sejati. Memang, etos kemerdekaan tidak pernah pudar. Terbukti dengan antusiasnya masyarakat kita dalam menyambut dan memperingati Hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus. Bendera merah putih sebagai salah satu lambang kebangsaan bertebaran di mana-mana.

Kemerdekaan sejati
Namun demikian, perlu kita sadari bahwa kemerdekaan itu bukan sekadar lambang-lambang dan simbol kenegaraan seperti upacara bendera dan aneka perlombaan lainnya yang selalu marak setiap Agustus. Akan tetapi, kemerdekaan itu adalah satu momentum yang mengandung pesan moral agar bangsa bangkit menjadi bangsa yang bermartabat menuju bangsa yang mandiri dalam berbagai aspek dan dimensinya.

Sesuai dengan pembukaan Undang-undang Dasar Negara, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Tetapi perlu kita sadari bahwa kemerdekaan Indonesia diperjuangkan agar bangsa ini bersatu, adil, dan makmur. Jadi, substansi kemerdekaan itu adalah mengisinya dengan pembangunan menuju kehidupan masyarakat yang sejahtera.

Pertanyaanya, apakah bangsa ini sudah makmur dan sejahtera? Dan, apakah negara ini sudah mandiri seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa? Data di lapangan menunjukkan kemiskinan sebagai tolak ukur kesejahteraan ternyata dari tahun ke tahun terus melambung tinggi. Pengangguran yang mendorong lahirnya kemiskinan itu pun mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Fenomena kelaparan di Yahukimo, di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya di negeri ini adalah bukti otentik bahwa cita-cita untuk membangun negara kesejahteraan itu masih jauh dari sempurna.

Perlu kita sadari, memang secara fisik, dalam arti perang, kita telah bebas dari kolonialisme asing tetapi bukan inilah makna substantif kemerdekaan yang sesungguhnya. Peristiwa yang terjadi pada 17 Agustus 1945 bukanlah terminal akhir kemerdekaan. Kemerdekaan adalah momentum untuk membangun bangsa secara bebas tanpa intervensi pihak manapun, terutama negara kolonialis asing yang pernah mendominasi selama tiga setengah abad negeri ini.

Namun begitu, terlihat banyak fakta yang menunjukkan betapa masih sangat kentalnya pengaruh asing dalam proses pembangunan bangsa ini. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika berbagai kalangan mengatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya belum mencapai kemerdekaannya yang sejati. Proses pembangunan perekonomian bangsa kita ini terlihat sangat didominasi oleh kebijakan-kebijakan/kepentingan perekonomian negara kolonialis asing. Seolah bangsa ini tidak memiliki kemampuan untuk mencipta.

Saya kira bangsa kita ini memiliki potensi untuk berkarya luar biasa tetapi kemerdekaan (baca:kebebasan berpikir) bagi setiap warga negara masih sangat dibatasi. Hal ini, terlihat sangat kentara dalam era pemerintahan otoriter orde baru.

Akan tetapi jangan salah, perlu kita bertanya mengapa kita tidak memiliki kebijakan politik yang memberi kebebasan bagi seluruh anak bangsa untuk menciptakan alat-alat transportasi seperti kendaraan. Padahal, telah menjadi rahasia umum spare parts berbagai jenis kendaraan kini telah diproduksi di daerah Jawa Timur. Aneka pakaian dengan merek bangsa asing juga diproduksi di Tangerang, dan lain sebagainya. Barangkali atas dasar inilah, kemudian masyarakat kita menegaskan dirinya tidak bangga sebagai anak bangsa Indonesia oleh karena pemerintah kurang memerhatikan taraf kesejahteraan hidupnya.

Seperti telah menjadi maklum, kekayaan negara hanya mengalir pada sejumlah elite penguasa di teras-teras kekuasaan sehingga kesenjangan ekonomi antara mereka yang kaya raya dan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi tidak terelakkan. Aspek inilah yang menjadi argumentasi pembenar bahwa sejatinya bangsa ini belum mencapai kemerdekaannya yang sejati.

Bangsa Indonesia masih terus dijajah/terjajah dengan fitur yang berbeda. Kalau dahulu kaum penjajah itu adalah bangsa asing dengan merampas kekayaan negara dan membawa ke negaranya, saat ini kita dijajah oleh bangsa kita sendiri dengan perampasan kekayaan negara melalui cara korupsi. Perbedaannya sangat tipis, bahkan cenderung lebih parah dilihat dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat perilaku korupsi para pejabat negara di ruas-ruas kekuasaan.

Revitalisasi
Melihat realitas kehidupan sosial seperti ini, maka sudah saatnya kita melakukan upaya revitalisasi makna kemerdekaan. Kemerdekaan mesti kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan sosio-kultural kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Substansinya adalah pembangunan bangsa yang mandiri dalam berbagai aspek menuju terciptanya kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Kita harus menolak segala upaya campur tangan asing yang tidak memberi keuntungan bagi upaya untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera itu. Aneka tambang dan segala sumber kekayaan negara lainnya mesti bisa dikelola oleh bangsa kita sendiri tanpa melibatkan pihak asing yang selama ini terbukti hanya merugikan perekonomian bangsa ini. Saya kira, aspek-aspek inilah mesti menjadi renungan kita bersama, di Hari Kemerdekaan yang bersejarah ini menuju bangsa yang mandiri di masa depan.

Ikhtisar
- Persentase warga yang bangga menjadi bangsa Indonesia terus merosot.
- Indonesia belum mencapai kemerdekaan sejati.
- Banyak fakta yang menunjukkan betapa masih sangat kental pengaruh asing dalam proses pembangunan bangsa ini.
- Kemerdekaan bukan sekadar lambang-lambang dan simbol kenegaraan seperti upacara bendera.
- Sudah saatnya kita melakukan upaya revitalisasi makna kemerdekaan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home