| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, August 07, 2006,11:43 AM

Ketika Dunia Menatap Hizbullah

Irman Abdurrahman
Staf Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta

Sejak agresi Israel ke Lebanon pada 12 Juli, halaman utama media-media dunia terus memberitakan sepak terjang Hizbullah, gerakan resistensi Syiah yang lahir pada 1982, dalam menghadang laju pasukan Zionis. Di Lebanon sendiri, Hizbullah semakin populer sejak berhasil mengakhiri pendudukan Israel di selatan Libanon yang telah berlangsung selama 18 tahun, pada 2000. Popularitas inilah yang mengantarkan 23 wakil Hizbullah duduk di parlemen. Kini, dunia menatap Hizbullah dalam pro-kontra terkait dengan serangan militer membabi buta Israel terhadap Lebanon dan Palestina. Penangkapan dua serdadu Israel oleh pejuang Hizbullah di Ayta Ssh Shaab tiga pekan lalu dijadikan Israel sebagai alasan untuk meresponnya melalui pengerahan kekuatan militer yang jauh dari proporsional. Ratusan nyawa melayang dan ratusan ribu orang terusir dari tanah-tanah mereka, dan Hizbullah pun menuai dua ragam reaksi berbeda: pro dan kontra.

Pro dan kontra
Terdapat beragam kecaman dan tudingan terhadap Hizbullah tetapi utamanya berkisar pada dua hal. Pertama, bahwa Hizbullah adalah pemicu konflik ini, dan dengan aksinya telah membahayakan keamanan regional dan menggagalkan proses perdamaian di Timur Tengah. Bahkan seorang oknum ulama Arab Saudi lebih jauh lagi mengeluarkan seruan yang melarang penggalangan bantuan bagi Hizbullah, baik secara material maupun spiritual. Dalam konteks Indonesia, uniknya seruan tersebut, sejauh ini, hanya diamini aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Mohamad Guntur Romli, dalam artikelnya 'Perang tanpa Pemenang'.

Kedua, bahwa Hizbullah tengah menjalankan agenda dua 'orang tua asuhnya', Suriah dan Iran. Keduanya sama-sama berupaya untuk mengalihkan perhatian dunia internasional dari problem masing-masing. Suriah punya masalah dalam kasus pembunuhan mantan perdana menteri Lebanon, Rafik Hariri, sementara Iran dalam persoalan program pengembangan nuklirnya. Dua pendapat tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa hanya koneksi Iran dan Suriah lah yang mempunyai kepentingan terhadap konflik ini. Sekaligus ini juga mengabaikan kemungkinan adanya kepentingan AS dan Israel yang justru seringkali memiliki agenda-agenda terselubung. Dua pendapat tersebut juga tampak ingin menyimpulkan bahwa: Iran, Suriah, Hizbullah, dan Hamas-lah yang bertanggung jawab atas krisis ini sedangkan Israel hanya membela diri. Kini bagaimana suara-suara yang mendukung, atau setidaknya berempati kepada Hizbullah menjawab kedua opini tersebut. Dalam menghadirkan opini pembanding ini, akan menarik jika penulis mengutipnya dari sumber-sumber yang notabene independen.

Anders Strindberg, penasihat politik Timur Tengah untuk Uni-Eropa, memandang pendapat yang pertama sama sekali tidak berdasar. Bagi Strindberg, aksi Hizbullah menangkap dua tentara Israel tidak bisa begitu saja dilepaskan dari kenyataan agresi berkesinambungan Israel terhadap Libanon yang tidak diekspos media.

Menurut laporan-laporan PBB yang dikutip Strindberg dalam artikelnya Hizbullah's Attacks Stem from Israeli Incursions into Lebanon pada Christian Science Monitor, sejak penarikan mundur pasukannya dari selatan Libanon pada 2000, Israel nyaris setiap hari melanggar blue line. Yang dimaksud blue line adalah batas demarkasi yang ditetapkan dan diawasi PBB antara Israel dan Lebanon. Sementara Hizbullah, berdasarkan doktrin militer yang digariskan pada 1990-an, justru hanya akan menembakkan Katyusha ke Israel dalam konteks merespon serangan-serangan Israel terhadap penduduk sipil Lebanon.

Selama 6 tahun sejak terusir dari wilayah yang didudukinya di selatan Lebanon, Israel secara konsisten melakukan teror terhadap penduduk sipil Lebanon secara keseluruhan, menghancurkan rumah-rumah, bahkan membunuh beberapa di antaranya. Yang paling anyar adalah penembakan atas Yusuf Rahil (15 tahun) oleh penjaga perbatasan Israel pada Februari 2006. Gembala ternak yang malang ini meninggal ketika hendak mengandangkan ternak-ternaknya di selatan Lebanon. Selain itu, adanya fakta bahwa Israel tidak mematuhi kesepakatan untuk melepaskan tanah pertanian Sheeba yang dikuasainya, kepada Lebanon. "What peace did Hizbullah shatter? (kesepakatan damai mana yang Hizbullah langgar?)" tulis Strindberg.

Suriah dan Iran
Mengenai tudingan keterlibatan Iran dan Suriah yang mendorong Hizbullah untuk memicu krisis ini, Uri Avnery, seorang penulis-aktivis Not In My Name --organisasi Israel pro-perdamaian-- memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Avnery, Hasan Nasrullah, Sekjen Hizbullah, adalah jauh dari kemungkinan menjadi boneka Iran atau Suriah sebab memimpin sebuah gerakan orang Lebanon yang otentik: lahir dari perlawanan orang Lebanon terhadap Israel. Andai pun diminta Iran atau Suriah untuk melakukan hal itu --yang dalam hal ini tidak ada bukti-- dan melihat bahwa permintaan tersebut berada di luar tujuan-tujuan gerakannya, maka Nasrullah tidak akan melaksanakannya. Lalu, apa yang meyakinkan Nasrullah untuk memasuki petualangan yang penuh risiko ini? Jawabannya, menurut Avnery, adalah Palestina.

Dua pekan sebelum 12 Juli, serdadu Israel telah lebih dulu memulai perang atas penduduk sipil di Jalur Gaza. Memang ini diawali oleh aksi pejuang Palestina yang menangkap Ghilad Shalid, seorang kopral Israel. Namun bagaimanapun, pemerintah Israel memanfaatkan momen ini untuk melaksanakan sebuah agenda yang telah ditetapkan jauh sebelumnya: menghancurkan pemerintahan Hamas yang baru terpilih. Dan, inilah salah satu operasi Israel yang paling brutal di Gaza.

Maka, satu hal yang paling jelas --baik bagi Strindberg maupun Avnery-- adalah bahwa karena situasi dan kondisi di Palestina-lah, Nasrullah bangkit melawan Israel ketika pemimpin-pemimpin Arab lainnya diam seribu bahasa. Nasrullah sepenuhnya menyadari risiko digelarnya agresi militer besar-besaran oleh Israel sebagai balasan dan dengan kemungkinan Iran dan Suriah yang tidak ingin mengambil risiko membantunya secara nyata.

Manusia normal, siapa pun, tentunya tidak menginginkan peperangan dan kehancuran. Namun, jika kemuliaan dan kehormatan sebagai sesama manusia serta kebenaran ditindas dan dihinakan, maka perlawanan dalam bentuk perang meskipun niscaya menimbulkan kerusakan-kerusakan fisik-- terpaksa harus dijalani. Ini bukan demi menang atau kalah karena perang sejati bukanlah memenangkan wilayah tetapi memenangkan hati manusia.

Dan, inilah yang diyakini benar rakyat dan bangsa Libanon. Seperti tergambar dalam polling yang dilakukan kantor-kantor berita di AS seperti dikutip Aljazirah menunjukkan: 81 persen Kristen, 85 persen Muslim Sunni, dan 86 persen Muslim Syiah memandang Hizbullah sebagai pembela tanah air mereka.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home