| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, August 07, 2006,11:39 AM

Proyek Global Perdamaian

Yonky Karman

Memasuki minggu ke-4, Israel leluasa memorakporandakan Lebanon selatan, sementara PBB dan komunitas internasional tak berdaya mencegah kejahatan perang yang sedang berlangsung.

Lebanon pernah dijuluki sebagai Swiss di Timur Tengah, dengan perbukitan yang indah, kaya, dan penduduk multikulturalnya hidup harmonis. Namun, keindahan negeri itu rusak oleh perang sipil yang berlangsung 14 tahun dengan korban lebih dari seratus ribu jiwa tewas dan luka. Ketika negeri itu membangun diri dari puing-puing kehancuran, bangunan itu kini dihancurkan mesin perang zionis dalam pertempuran yang amat timpang.

Tragedi kejahatan kemanusiaan yang sedang terjadi merupakan bagian pasang surut konflik di Timur Tengah yang sudah berlangsung lebih setengah abad. Konflik itu duri dalam daging perdamaian dunia. Yang paling diuntungkan dari konflik berkepanjangan itu adalah preman-preman perang dan bisnis industri senjata.

Meski jabat tangan Arafat dan Rabin pada September 1993 menandai era baru perdamaian di Timur Tengah, Israel dan Palestina tetap tak bisa memutus belenggu rantai masa lalunya. Dalam perang, masing-masing pihak berjuang menguras tenaga lawan. Namun, mempertahankan perdamaian juga menguras tenaga. Eskalasi kekerasan terjadi karena Israel membalas aksi kekerasan dengan prinsip mata ganti gigi atau kepala ganti mata.

Gramatika kehidupan bersama Israel dan Palestina adalah kecurigaan, kebencian, dan dendam. Semula penduduk Palestina berusaha menjadi warga yang baik. Namun, kesewenang-wenangan polisi dan tentara Israel di daerah pendudukan di luar batas. Lalu, lahir gerakan intifadah sebagai protes warga Muslim maupun Kristen di Palestina (Naim S Ateek, Marc H Ellis, dan Rosemary R Ruether, ed, Faith and the Intifada: Palestinian Christian Voices, 1992).

Atas upaya komunitas internasional, beberapa kali tercapai kesepakatan damai. Namun, upaya membuahkan perdamaian selalu kandas karena kekuatan damai selalu disaingi ekstremisme. Mayoritas diam yang menginginkan damai menjadi korban sia-sia tiap kali pecah aksi kekerasan. Dalam konflik di Timur Tengah, agama dipolitisasi. Tak ada perang suci. Yang ada adalah perang melawan agresor.

Akar masalah

Hidup bersama tanpa saling mengganggu (ko-eksistensi) tidaklah cukup. Apalagi, tingkat kehidupan di antara Israel dan Palestina amat timpang, seperti Lexus dan pohon zaitun (Thomas Friedman, From Beirut to Jerusalem, 1998). Yang dipromosikan seharusnya politik saling menghidupi (pro-eksistensi).

Israel dan Palestina tak harus sepakat tentang masa lalu. Tetapi, keduanya harus sepakat tentang sebuah masa depan bersama yang adil dan damai. Keduanya harus mengakui eksistensi masing-masing sebagai negara berdaulat. Keduanya harus menjalin hubungan bertetangga dengan asas pro-eksistensi. Selama masa lalu mengubur masa depan, perdamaian di Timur Tengah hanya menunggu mukjizat.

Israel terutama harus mengangkat tingkat kesejahteraan rakyat Palestina, seperti dilakukan Jerman Barat saat menyatu dengan Jerman Timur. Atau, seperti Marshall Plan AS untuk membantu pemulihan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa pasca-Perang Dunia II.

Peran kunci

Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi di Palestina pasti membutuhkan ongkos sosial dan material yang besar. Namun, apalah artinya itu bagi Israel untuk tetangga yang notabene saudara sendiri dalam komunitas Ibrahim. Mayoritas diam di Israel amat berkepentingan dengan Palestina yang sejahtera dan bersahabat. Juga, mayoritas diam di Palestina mendambakan masa depan yang bermartabat.

Di tengah pesimisme tentang masa depan perdamaian di Timur Tengah, suka atau tidak, realitas politik menunjukkan peran kunci perdamaian ada di tangan AS. Mengharap kedua pihak bertikai untuk berdamai, hampir mustahil. Memanfaatkan political advantage, Indonesia bisa berperan untuk memainkan politik luar negeri yang aktif demi perdamaian dunia.

Kekuatan-kekuatan dunia lain, seperti Uni Eropa dan dunia Arab, perlu dilobi agar mereka satu suara untuk menekan AS agar menjadi polisi dunia yang adil bagi kedua pihak. Pada saat bersamaan, Inggris dan Australia yang belum mengambil sikap tegas juga perlu dilobi. Tujuan lobi politik adalah satu, mengubah Timur Tengah dari titik api panas perdamaian dunia menjadi sebuah kawasan damai.

Tujuan jangka pendek adalah gencatan senjata. Sesudah itu, suatu kesepakatan damai dengan asas pro-eksistensi. Proyek global membangun Palestina yang berdaulat dan sejahtera. Pembangunan kembali negara Palestina menjadi prioritas politik luar negeri Israel, atas dukungan dan pengawasan komunitas internasional (PBB). Bukan mustahil proyek global itu beranggotakan negara-negara Arab, Uni Eropa, dan tentunya Israel.

Bantuan internasional yang diberikan tidak hanya finansial, tetapi juga tata kelola pemerintahan (good and clean government). Tanpa peningkatan taraf kesejahteraan rakyat Palestina yang sudah lama tertindas, menguburkan masa lampau atau menggagas perdamaian adalah proyek utopia. Jika proyek global perdamaian berhasil, bisnis senjata dan ideologi perang tak akan laku.

Yonky Karman
Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home