| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, August 13, 2006,12:30 PM

RI, TNI, dan Hak Asasi Manusia

Hendardi
Ketua Dewan Pengurus Setara Institute for Democracy and Peace.

Menjelang usia Republik Indonesia (RI) ke-61, pemerintah mulai menata hubungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan kepentingan bisnisnya yang didasarkan pada ketentuan yang tercantum UU TNI (2004). Pejabat pemerintah menyatakan, rancangan pelaksanaan pengambilalihan bisnis TNI atau militer akan selesai pada Agustus ini.

Jika reformasi tentara benar-benar dilaksanakan dengan cita-cita menjadikannya profesional, berarti pemerintah harus mengeluarkan tentara dari kepentingan bisnis dan mengusut oknum-oknumnya yang melanggar hukum. Tapi persoalan ini juga yang selama ini bertalian dengan serangkaian pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM).

Bisnis militer
Klaim historis yang lebih bersifat heroisme bahwa militer paling berjasa dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan RI justru dipakai sebagai upaya untuk menyembunyikan penyelewengan kekuasaan yang telah berlangsung sepanjang sejarahnya. Sejak 'nasionalisasi' perusahaan asing pada 1957 yang kemudian kontrolnya justru jatuh ke tangan para perwira TNI-AD -- ecara institusional dan personal-- mulai menguasai 'ladang- bisnis yang basah' dan sangat sulit dikontrol. Mereka menjadi salah satu kekuatan bisnis 'negara dalam negara' di luar BUMN.

Para pejabat TNI memang telah membuat justifikasi bahwa kebutuhan dana di luar anggaran resmi adalah sesuatu yang tak terhindarkan, karena kecilnya anggaran negara. Tapi justifikasi ini tidaklah separah seperti yang selama ini dikemukakan, karena TNI juga mendapatkan dana tambahan dari APBN yang lain khususnya dana menangani daerah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, dan Papua.

Pada Maret lalu diungkapkan, pejabat dan institusi TNI memiliki lebih 1.500 unit bisnis yang beroperasi dan banyak dari unit ini justru mengalami kerugian setelah terjadi kesalahan manajemen dalam waktu yang lama. Kebanyakan dana yang diputar dalam berbagai unit bisnis ini tak dilaporkan secara transparan.

Selain banyak unit bisnis, berbagai pembiayaan TNI yang bersumber dari APBN dan anggaran tambahan lainnya dari pemerintah, mempunyai persoalan dalam akuntabilitas dan transparansi. Kelemahan pengawasan ini bukan saja terjadi atas pembelian peralatan militer, tapi juga atas dana tambahan yang dialokasi untuk menangani konflik di beberapa daerah.

Para pejabat dan institusi TNI memang banyak mendapatkan uang di luar anggaran resmi melalui jaringan bisnisnya baik legal maupun ilegal. Begitu juga melalui penyediaan bertarif dan mark-up pembelanjaan kebutuhan militer. Pada beberapa daerah konflik, TNI juga melakukan tindakan ekonomi yang membahayakan, seperti pemerasan dan penyitaan hak milik penduduk.

Sebagai contoh, operasi bisnis TNI di Kalimantan Timur yang bertalian pada akses konsesi hutan, terdapat sejumlah perusahaan yang melakukan over-logging dan ekspor kayu ilegal ke Malaysia. Sementara di Kalimantan Selatan, dimobilisasi penambang batubara secara ilegal dan berperan sebagai penyalur. Kasus yang paling mendapat perhatian adalah perannya di tambang emas dan tembaga raksasa yang konsesinya berada di tangan perusahaan AS, Freeport McMoran.

Membiarkan TNI bekerja di luar profesinya jelaslah mengingkari harapan yang didengungkan mengenai menjadikan TNI yang profesional. Pemerintah perlu menunjukkan tanggung jawabnya untuk menyediakan anggaran yang proporsional bagi TNI untuk mengeluarkan mereka dari kepentingan bisnis. Anggaran ini tak boleh tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat dan akurat.

Persoalan HAM

Selama ini operasi bisnis militer telah mengakibatkan berbagai benturan kepentingan, tanpa kecuali adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia (human rights violation). Seperti yang telah dikemukakan, dengan meluasnya kepentingan bisnis militer, maka aparat TNI berkembang menjadi 'negara dalam negara'.

Perkembangan itu, mempunyai efek yang sangat serius dalam bentuk penyelewengan kekuasaan dan efek yang ditimbulkannya. Aparat TNI yang seharusnya melindungi rakyat, termasuk penduduk asli yang menggantungkan hidupnya pada hutan, justru menjadi korban intimidasi dan kekerasan demi melanggengkan kepentingan bisnisnya.

Apalagi jika disimak secara kritis bahwa pemerintah cenderung gagal mengontrol anggaran atau dana yang dioperasikan, sehingga kepentingan bisnis TNI menjadi sungguh-sungguh tak terkontrol. Dengan begitu, reputasi militer yang dikenal sewenang-wenang dan korup justru tak terjangkau oleh aparat penegak hukum.

Lebih jauh lagi, kepentingan bisnis militer yang semakin meluas karena keterlibatan mereka dalam bisnis ilegal. Kepentingan ini jelas mempergawat terjadi pelanggaran hukum dan konflik dengan kekerasan. Bahkan mereka pun dapat menggunakan kekerasan bersenjata dengan menyerbu markas kepolisian.

Dalam kasus Aceh, meredanya konflik bersenjata pasca-kesepakatan Helsinki, kini telah berubah menjadi 'lahan basah' bisnis rekonstruksi pasca-tsunami. Membengkaknya biaya rekonstruksi justru ikut mengacaukan anggaran keseluruhan. Akibat yang ditimbulkan oleh korupsi ini adalah bertambahnya penderitaan para korban bencana tsunami.

Kegagalan penegakan hukum atas berbagai bentuk penyelewengan dan kriminalitas yang bertalian dengan beroperasinya bisnis militer, telah menyebabkan langgengnya impunitas (impunity). Kegiatan bisnis seperti inilah yang terpaksa harus ditanggung rakyat seperti hak atas pekerjaan, perumahan, dan hak milik maupun hak untuk tidak disiksa dan dihilangkan secara paksa atau dibunuh.

Jika pemerintah gagal mengeluarkan TNI dari kepentingan bisnis, menyediakan anggaran yang proporsional dan mengawasi dengan ketat, serta mengusut mereka yang melanggar hukum, maka akibatnya akan semakin membuat rakyat menderita. Hal ini sangat penting dikemukakan untuk memperbaiki kondisi republik ini.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home