| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, August 10, 2006,10:14 AM

Agresi Israel dan Ancaman Global

Lutfi Kamil
Pemerhati masalah internasional, pernah kuliah politik di Uni Hagen Jerman

Semua orang tahu bahwa alasan Israel melakukan aksi agresi di Lebanon saat ini tidak berdasar! Namun inilah fakta telanjang, bagaimana realisme politik hegemonial yang disponsori AS dan Israel menginjak-injak perdamaian global. Modus selalu sama, dengan logika militeris mereka melakukan propaganda. Jika AS mencari alasan senjata pemusnah massal di Irak (dan tak terbukti!) untuk melegitimasi invasinya, kini Israel beralasan pada kasus penculikan tentaranya oleh pejuang Hizbullah. Logiskah?

Ini bukan pertama yang menjadi alasan merealisasikan ambisi politik realisme AS dan Israel. Invasi Ariel Sharon 1982 ke Lebanon juga menggunakan legitimasi propaganda yang serupa. Dalam pertemuan Sharon dengan Menteri Luar Negeri SS, Alexander Haig, sebelum terjadinya invasi, disinyalir menyepakati skenario propaganda (Uvi Avnery, 15/7/06). Dan invasi Ariel Sharon ke Lebanon waktu itu didasarkan atas justifikasi rencana percobaan bom syahid Abu Nidals di kedutaan Israel di Inggris.

Kini, kasus Hizbullah dijadikan dalih yang sama. Dua pekan sebelumnya, terjadi pula kasus penculikan tentara Israel di Jalur Gaza oleh Hamas sejak Israel membombardir pemerintahan Palestina. Kasus tukar tawanan perang sangat wajar terjadi mengingat agresi militer Israel membabi buta dalam menyerang Palestina selama ini. Adakah skenario ini terkait dengan agenda pertemuan Ehud Olmert akhir Mei di Washington?

Skenario geopolitik
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dukungan AS kepada Israel bukan isapan jempol belaka. Fakta keberpihakan AS terhadap agresi Israel, juga dukungannya di Dewan Keamanan PBB, lebih-lebih terbongkarnya kasus pengiriman senjata modern AS ke Israel, secara diam-diam menjadi bukti kuat keberpihakan itu. Tentu tidak sulit jika kita sampai pada kesimpulan bahwa pertemuan akhir Mei di Washington tidak mungkin tanpa agenda terselubung dari kedua belah pihak. Jika ini benar, maka tampaknya skenario ini sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.

Anatol Liefen penulis buku America Right or Wrong: An Anatomy of Amercian Nationalism London (Harper Collins) 2006 dalam tulisannya di Le Monde Diplomatique (9/6/06) menyinggung hal itu. Dia mengindikasikan bahwa pertemuan Bush-Olmert di Washington memungkinkan adanya agenda kebijakan unilateral dalam menyikapi kasus penyelesaian Palestina.

Beberapa alasan logis mengapa kebijakan ini perlu direalisasikan antara lain, pertama, kondisi politik internal AS yang menguntungkan Bush. Kelompok Demokrat tidak memiliki kekuatan oposisional dalam menyikapi agenda luar negeri AS. Kekalahan Kerry merupakan indikasi kuat akan lemahnya paket kebijakan alternatif kubu Demokrat dalam menyikapi politik Luar Negeri AS, bahkan sampai kini dibawah figur Hillary Clinton maupun Nancy Pelosi.

Kedua, keberhasilan strategi Bush dalam merealisasikan doktrin barunya transformational diplomacy sejak Condolezza Rice menjadi menteri luar negeri. Strategi ini setidaknya telah berhasil mengembalikan kredibilitas AS dari isolasi dunia pasca invasi di Irak dengan merangkul kembali negara-negara sekutu khususnya Prancis dan Jerman.

Ketiga, kondisi Palestina pasca kemenangan Hamas Januari lalu. Bagaimanapun ini menjadi pukulan telak bagi politik Israel sekaligus menjadi alasan kuat untuk membuat agenda bersama AS. Lebih-lebih, dukungan Eropa untuk membekukan bantuan finansial bagi Palestina akibat kemenangan Hamas telah terealisasi. Alasan-alasan tersebut mendorong realisasi Israel menyerang Lebanon untuk memberikan keuntungan geopolitis ganda bagi AS.

Pertama, AS akan mengamankan kepentingannya di Timur Tengah dengan tidak secara langsung menggunakan kekuatan militernya, melainkan melalui tangan Israel. Kedua, tujuan untuk menyudutkan Suriah dan Iran yang selama ini menjadi targetnya akan dapat lebih mudah tercapai, karena itu Hizbullah dijadikan alasan. Bagaimanapun agresi Israel ini tidak dapat dipisahkan dari propaganda AS atas isu nuklir Iran juga ancaman terhadap Suriah.

Skenario menaklukan Lebanon dengan mengganti rezim pro-mereka akan banyak menguntungkan kepentingannya. Agenda ini tentunya telah diskenario dan didukung kuat semangat kelompok neo-konservatif seperti halnya pernyataan Richard Perle awal 2004. Dia menyebutkan, rancangan musuh di Perang Dunia Keempat adalah kelompok militansi Islam. Kelompok inilah yang akan menghancurkan peradaban Barat dan mencoba mengubahnya menjadi masyarakat Muslim (Junge Welt, 8/2/06). Selain itu, sinyal skenario dukungan politik dari negara sekutu semisal Prancis juga terekam dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Dalam pertemuan dengan Bashar Al-Assad --sepeninggal mendiang ayahnya--, Chirac sempat menyampaikan pesan bahwa satu-satunya solusi konflik Timur Tengah adalah ditariknya tentara Suriah dari Lebanon. Pada awal 2004 semakin kuat dukungan Prancis dan AS dalam menuntut terwujudnya 'demokratisasi' di Lebanon.

Tak lama berselang, September 2004 muncul resolusi Dewan Keamanan PBB No 1559 yang menuntut dilucutinya persenjataan Hizbullah dan desakan mundur tentara Suriah dari Lebanon. Kemudian terjadilah peristiwa tewasnya Rafiq Hariri --salah satu penggagas resolusi PBB 1559-- dalam ledakan bom bunuh diri pada 14 Februari 2005. Tak lama kemudian, 27 April tentara Suriah berhasil dipaksa menarik diri dari Lebanon.

Skenario ini tampaknya belum berhenti. Sampai 17 Mei 2006 Prancis masih mengusulkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut Damaskus untuk meninjau kembali garis perbatasannya dengan Lebanon dan melakukan pertukaran duta besarnya. Perubahan sikap politik Prancis ini, menurut banyak pengamat disinyalir tidak lepas dari kompensasi AS atas dukungannya terhadap kasus sengketa Prancis dengan tetangganya di pesisir pantai.

Ancaman global
Dengan kondisi tersebut, peta kekuatan yang memungkinkan terjadinya proses resolusi perdamaian di PBB akan sulit terwujud. Sikap negara-negara Muslim tidak akan sampai pada solusi konkret mengingat banyaknya kepentingan egoisme yang mereka sandang. Dalam kondisi sekarang, hanya Iran dan Suriah yang memungkinkan memiliki komitmen total. Sedangkan Malaysia, Qatar maupun Indonesia kemungkinan masih berusaha berdiri di tengah. Selain itu, negara OKI lainnya akan tetap sulit jika harus sampai mengeluarkan kebijakan pragmatis untuk mengancam Israel mengingat kepentingan mereka terhadap AS masih kuat.

Namun, agresi Israel ini sendiri pada saat yang sama menciptakan ancaman serius bagi perdamaian global. Semangat permusuhan yang menyeret isu agama dan rasial akan muncul di mana-mana. Sehingga akan menciptakan ancaman internal di negara-negara yang terkait isu agama dan rasial sekaligus menciptakan ketegangan di tatanan global. Kita tidak dapat membiarkan AS dan Israel melakukan tindak terorisme yang akan memunculkan teroris baru.

Ikhtisar
- Agresi Israel ke Lebanon telah dirancang lama.
- Secara terbuka, Amerika Serikat mendukung agresi tersebut.
- Selain mencaplok wilayah, agresi ini juga bertujuan mengganti rezim di Lebanon agar sesuai dengan kepentingan AS dan Israel.
- Agresi yang dilakukan dengan aksi brutal ini akan mengancam perdamaian global.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home