| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 14, 2006,9:14 AM

Wacana Politik "Agama Publik"

Benyamin F Intan

Dalam tren politik Indonesia, kiprah agama dalam politik kekuasaan bukan hanya tidak efektif tetapi malah bisa merusak citra agama sendiri. Di sisi lain, berkancahnya agama dalam politik praktis telah mengglobal.

Bagi penulis, tren gobal ini adalah kenyataan yang harus diterima (what is), tetapi bukan sesuatu yang harus ada (what ought). Artinya, masuknya agama dalam politik kekuasaan seharusnya tidak boleh terjadi.

Agama yang mengglobal dalam ajang politik praktis harus dilihat sebagai "serangan balik" (backlash) penolakan agama terhadap upaya pengerdilan agama yang menggeser agama ke wilayah privat.

Penolakan ini adalah sesuatu yang baik. Sayang, menurut Gilles Kepel, dilandasi semangat "balas dendam" (The Revenge of God: The Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in the Modern World). Akibatnya, revitalisasi agama menjadi bias dan kebablasan. Pertarungan agama dalam politik kekuasaan malah menjadikannya kontraproduktif.

"Agama publik"

Bagi sosiolog seperti Robert Bellah dan Peter Berger, wacana penggeseran agama ke wilayah pribadi kian tidak relevan dan tidak pada tempatnya. "Agama publik" yang menekankan peran sosial-politik agama di publik pada tingkat nasional maupun global tidaklah terelakkan.

"Agama publik" dijamin konstitusi kita. Telos sila Ketuhanan Yang Maha Esa lebih kepada mendorong agama-agama menjalankan peran publik dalam kehidupan bangsa.

Kehadiran "agama publik" bukan tanpa risiko. Penelitian yang penulis lakukan dalam kurun waktu prakemerdekaan hingga Orde Baru menunjukkan sikap ambivalensi "agama publik" Indonesia: di satu sisi mendorong terciptanya rekonsiliasi, di sisi lain sumber kekerasan ("Public Religion" and the Pancasila-Based State of Indonesia).

Optimisme terhadap "agama publik" beralasan. Hasil studi menunjukkan, revitalisasi "agama publik" cenderung berdampak positif daripada efek negatif yang ditimbulkan. Dari studinya, José Casanova menyimpulkan, "agama publik" bukan hanya sejalan tetapi malah menjadi pendorong demokratisasi (Public Religions in the Modern World).

"Civil society"

Masalahnya, bagaimana menjadikan "agama publik" sebagai kekuatan transformatif guna merajut kehidupan politik yang demokratis. Bisa ditengarai tiga level wacana "agama publik".

Pertama, "agama publik" memperlakukan warga negara berdasar agama. Dalam wacana ini, agama menjadi tolok ukur kebijakan negara. Bertarung pada state level, wacana ini mengambil bentuk negara agama. Wacana ini tidak demokratis sebab eksklusif dan diskriminatif. Eksklusif, karena bertumpu pada asas superioritas, prioritas, dan mayoritas dalam memperlakukan warga. Diskriminatif, karena membedakan warga negara.

Kedua, "agama publik" mempertaruhkan wacana agama tanpa kompromi. Berjuang pada political society level wacana ini membentuk partai politik agama. Wadah ini berkonotasi eksklusivisme karena simbol-simbol agama diusung untuk mengakomodasi aneka kepentingan sosial-politik agama.

Kedua wacana ini tidak akan memunculkan kekuatan demokratis agama. Lengketnya agama dengan politik membuat agama kehilangan daya transendental, tidak lagi kritis dan profetis.

Civil society level harus menjadi wacana pilihan. "Agama publik" dalam wacana ini bertolak dari realitas kemajemukan bangsa. Misinya memberdayakan kekuatan potensial agama-agama dalam menjawab tantangan nyata kemanusiaan di masyarakat.

Goal yang ingin dicapai, bagaimana menjadikan kehidupan politik bangsa lebih bermoral dan beretika. Moral agama-agama seharusnya mampu menerangi kehidupan politik bangsa agar keputusan-keputusan politik yang diambil dapat tertanggung jawab secara moral.

Transformasi religius harus terjadi pada agama-agama yang bercirikan state-oriented institution. Tanpa pernah menjadi society-oriented institution, agama tidak akan mampu menjadi pendamping korektif masyarakat. Hanya agama yang berjalan di atas rel politik moral pada dataran civil society yang memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan politik yang demokratis.

Benyamin F Intan Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home