| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, July 13, 2006,11:18 AM

Fajar Baru Otonomi Khusus

Saldi Isra

Dalam sidang paripurna, Selasa (11/7), secara bulat seluruh fraksi DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh (RUU PA) menjadi undang-undang. Dengan persetujuan itu, "berakhir" sudah tarik-menarik perumusan substansi UU Pemerintahan Aceh.

Banyak kalangan berpendapat, persetujuan RUU PA menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia. Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sendiri, penyelesaian RUU PA memberi tantangan dalam membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Meski memberi harapan untuk membangun kehidupan lebih baik, ada kalangan tidak puas dengan substansi RUU PA. Sebagian ketidakpuasan itu dipicu kekhawatiran, RUU PA akan meluruhkan bangunan Negara Kesatuan RI (NKRI). Bahkan, di Aceh sendiri muncul penolakan berbagai kelompok karena RUU PA dinilai masih mengebiri Aceh sebagai daerah dengan status otonomi khusus.

Negara kesatuan

Jika dirunut, salah satu isu sentral yang mencuat, terkait negara kesatuan. Saat itu ada pendapat, hasil perundingan Helsinki akan menjadi jalan kemerdekaan bagi Aceh. Contoh yang sering dikemukakan, hasil perundingan Helsinki tidak eksplisit menyebut UUD 1945 dan NKRI (Kompas, 23/8/05).

Kecemasan itu menjadi catatan khusus penyusun RUU PA sehingga perlu tepat dirumuskan posisi Aceh dalam NKRI. Hasil rumusan RUU PA terbaca dalam Pasal 1 angka 1: "Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasar UUD 1945". Pasal 1 angka 4 RUU PA menguatkan rumusan itu, "Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasar UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing".

Jika dibaca cermat, rumusan Pasal 1 angka 1 dan angka 4 RUU PA merupakan titik temu antara prinsip negara kesatuan dan hasil perundingan Helsinki. Frasa terbuka "bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat" dikunci dengan frasa "sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945".

Tidak hanya terbatas pada meletakkan otonomi khusus Aceh dalam NKRI, Pasal 7 Ayat (1) RUU PA menggariskan, Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini, kewenangan pusat meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan bidang agama.

Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran otonomi khusus akan meruntuhkan NKRI. Apalagi, UUD 1945 melandasi pelaksanaan prinsip desentralisasi yang tidak simetris (asymetrical decentralization) antara satu daerah dan daerah lain. Prinsip itu ditemukan dalam Pasal 18 UUD 1945.

Saling menerima

Berdasarkan penjelasan itu, isu luruhnya bangunan NKRI dalam RUU PA tidak relevan. Yang jauh lebih rumit, keberatan dan penolakan terhadap RUU PA dari sejumlah kalangan Tanah Rencong. Misalnya, aktivis Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) menilai RUU PA memangkas kewenangan Aceh terutama terkait pembagian sumber daya alam dan migas (Kompas, 12/7). Bahkan, karena Jakarta dianggap belum ikhlas memberi kewenangan kepada daerah, Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) menolak pengesahan RUU PA dan akan mempersoalkan hal itu melalui mekanisme hak uji materiil.

Masalah itu bisa menjadi kian rumit karena beberapa substansi RUU PA dipersoalkan sejumlah petinggi GAM. Misalnya, penggantian istilah "persetujuan" menjadi "pertimbangan" dalam rencana persetujuan internasional dan pembentukan UU oleh DPR, terkait pemerintahan Aceh. Tidak hanya itu, peluang pemerintah pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan Pemerintah Aceh bisa mereduksi kekhususan Aceh (Koran Tempo, 12/07).

Dari beberapa keberatan itu, catatan GAM perlu disikapi serius. Penyikapan itu tidak terlepas dari posisi RUU PA saat ini yang tidak mungkin diubah. Yang paling masuk akal dilakukan, meski tidak disebut dengan istilah "persetujuan", DPR harus memerhatikan sungguh-sungguh tiap "pertimbangan" Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Jika itu bisa dilakukan, penggantian istilah "persetujuan" menjadi "pertimbangan" tentu tidak akan menjadi penghambat dalam meneruskan proses rekonsiliasi di Aceh.

Yang perlu disadari, saat perundingan Helsinki, perumusan naskah MOU hanya berlangsung antara GAM-Pemerintah RI. Namun, ketika hasil perundingan harus dituangkan dalam bentuk UU, kepentingan politik DPR menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan GAM. Artinya, jika ada sebagian kecil hasil perundingan Helsinki tidak terakomodasi dalam RUU PA, jangan dijadikan alasan untuk merusak suasana damai yang telah terbangun.

Dalam situasi seperti sekarang, semua pihak harus saling mengerti dan menerima. Misalnya, bagi semua elemen di Aceh, penyelesaian RUU PA harus dijadikan kesempatan untuk menggenjot segala aspek pembangunan guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Apalagi, sebagian materi RUU PA akan dielaborasi lebih jauh dalam qanun. Kegagalan dalam merumuskan qanun amat potensial menghancurkan sejumlah lompatan besar yang ada dalam RUU PA.

Sementara itu, pemerintah pusat tidak boleh lagi menggunakan kekuasaan (seperti di daerah lain) untuk mereduksi sifat kekhususan yang diberikan kepada Aceh. Tindakan represif terhadap qanun mesti dihindari. Jika pusat keberatan dengan substansi qanun, sebaiknya dilakukan upaya nonrepresif. Bagaimanapun, dengan tetap mengedepankan tindakan represif, penilaian bahwa pemerintah pusat tidak ikhlas dan berupaya mereduksi kekhususan Aceh sulit untuk dihindari.

Jika semua pihak bisa saling memahami, RUU PA benar-benar akan menjadi fajar baru bagi otonomi khusus di Aceh.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand, Padang

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

silahkan lihat juwonosudarsono.com untuk komentar seputar aceh

6:56 PM  
Anonymous Anonymous said...

terimakasih pak, saya telah membacam situs yang bapak sarankan, dan saya telah banyak menemukan informasi seputar aceh, sekaligus tahu blog bapak Juwono Sudarsono, menteri pertahanan RI, sekali terimakasih -hadi

4:53 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home