| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, July 12, 2006,10:37 AM

Cak Nur dan Indonesia Modern

Budhy Munawar-Rachman

Untuk mengenang setahun meninggalnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), Universitas Paramadina dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) menggelar "Nurcholish Madjid Memorial Lecture", 19-20 Juli 2006 di Universitas Paramadina. Acara semacam juga digelar di tujuh kota, yaitu Banjarmasin, Surabaya, Manado, Yogyakarta, Medan, Makassar, dan Mataram, bekerja sama dengan universitas besar yang ada di kota itu.

Melalui acara-acara itu, ingin dikenang pemikiran yang dikembangkan Cak Nur tentang keindonesiaan, selama 35 tahun bergelut dengan paham kebangsaan.

Paham kebangsaan

Sejak awal 1970-an, pemikiran politik Cak Nur tentang kebangsaan memberi kita renungan amat penting tentang hubungan agama dan negara, yang muncul kembali di era otonomi daerah melalui banyak peraturan daerah yang bersifat keagamaan.

Campur aduk kepentingan agama dan negara menjadikan agama ikut campur dalam urusan negara. Negara juga ikut campur dalam urusan agama. "Perselingkuhan" ini—begitu istilah yang kini sering dipakai—mengakibatkan dampak pada ruang kebebasan beragama kian sempit, dan terasa sesak di Indonesia, seperti terlihat dalam banyak kasus pelanggaran kebebasan beragama belakangan ini.

Tahun 2005-2006 adalah tahun paling mundur dalam perlindungan kebebasan beragama di Indonesia. Keadaan ini menyuburkan kekhawatiran Cak Nur sejak lama, yaitu menguatnya fenomena radikalisme Islam di Indonesia, yang dikhawatirkan akan merusak wajah Islam moderat dalam kehidupan masyarakat.

Cak Nur dengan pikiran jernih menjelaskan hubungan tak langsung antara agama dan negara, yaitu pada level etika politik. Agama memberi dukungan keabsahan nilai-nilai politik yang membawa kepada kemasalahatan bersama. Tiga nilai etika politik yang amat kompatibel dengan agama yang selalu Cak Nur elaborasi adalah: keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Karena sifat negara seharusnya netral-agama, maka bahasa-bahasa etika politik itu pun harus bersifat umum.

Persis di sinilah Cak Nur menegaskan arti Pancasila sebagai common platform atau titik temu nilai-nilai dari semua suku, ras, golongan, dan khususnya agama-agama yang ada di Indonesia. Mengelaborasi filosofi tentang Pancasila termasuk hal yang menjadi concern Cak Nur bertahun-tahun.

Meski dalam mengelaborasi Pancasila, Cak Nur sering mengaitkan dengan al-Qur’an, misalnya, tetapi pikiran-pikirannya bisa diamini siapa pun, tidak tergantung agamanya apa. Inilah sisi universal pemikiran Cak Nur. Ia seorang ahli Islam, tetapi begitu universal dan kosmopolit keislamannya, pikiran-pikirannya mempunyai pengaruh pada semua kalangan. Jenis pemikiran Islam yang dalam istilah Cak Nur haniffîyat al-samhah—kecenderungan beragama yang terbuka dan penuh kelapangan—inilah yang terus ditegaskan, dan kini kita warisi.

Pancasila dan demokrasi Indonesia

Dalam buku Indonesia Kita terelaborasi secara padat pikiran-pikiran politik Cak Nur selama 30 tahun. Terutama sepuluh agenda demokrasi yang menurut Cak Nur amat mendesak. Cak Nur menegaskan demokrasi sebagai cara, bukan tujuan. Dalam pikiran Cak Nur, suatu tujuan yang dicapai secara demokratis akan memiliki kualitas keabsahan lebih tinggi daripada yang dicapai secara tidak demokratis. Apalagi, seperti istilah filsuf eksistensialis yang sering dikutip Cak Nur, Albert Camus, menegaskan tidak boleh ada pertentangan antara cara dan tujuan.

Jika tujuan membenarkan cara yang digunakan, maka cara yang digunakan itu sendiri ikut membenarkan tujuan yang dicapai. Inilah menurut Cak Nur salah satu sendi pandangan hidup demokratis. "Pandangan hidup demokratis bertumpu dengan teguh di atas asumsi bahwa cara harus bersesuaian dengan tujuan". Ketentuan inilah, menurut Cak Nur, jika dipraktikkan akan memancarkan tingkah laku demokratis dan membentuk moralitas demokratis.

Dalam mengelaborasi Pancasila, menurut Cak Nur, prinsip demokrasi sebagai cara itu terungkap dalam sila keempat. Pancasila, dalam pikiran Cak Nur, dapat dilihat terdiri dari sila pertama sebagai sila dasar, sila kedua sebagai pancaran sila pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara, dan sila kelima sebagai tujuan. Kita telah diberi inspirasi oleh para pendiri bangsa untuk memandang seluruh sila itu sebagai kesatuan yang utuh, yang tidak bisa dipisahkan.

Maka, pikiran kebangsaan Cak Nur yang pernah menjadi kontroversi besar di kalangan umat Islam sejak 1970-an sebenarnya merupakan filosofi membangun fondasi keindonesiaan, seperti Pancasila, termasuk di dalamnya menempatkan peranan agama dalam politik.

Cak Nur selalu menegaskan, peran agama dalam politik ada pada level moralitas, bukan politik! Khusus soal moralitas inilah Cak Nur amat prihatin pada keadaan masyarakat Indonesia. Ada hukum yang Cak Nur kemukakan—dalam bahasa Latin—coruptio optimi pessima ("kejahatan oleh orang terbaik adalah kejahatan yang terburuk", "corruption by the best is the worst"), maka pelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan—yang merupakan salah satu pikiran etika politik yang selalu ditekankan Cak Nur—oleh kaum Muslim akan mendatangkan malapetaka berlipat.

Hukum yang sama sebenarnya berlaku atas para penganut setiap agama, sebab setiap agama juga mengajarkan prinsip keadilan dan keseimbangan.

Guru bangsa

Hal lain mengenai kebangsaan yang memprihatinkan Cak Nur adalah keadaan negara Indonesia sebagai soft state. Menurut Cak Nur, Indonesia adalah "negara lunak", negara yang pemerintahan dan warganya tidak memiliki ketegaran moral, khususnya moral sosial-politik.

Cak Nur sering menegaskan mengenai penyakit sosial-politik bangsa Indonesia yang disebutnya penyakit "kelembekan" (leniency), "sikap serba memudahkan" (easy going), sehingga tidak memiliki kepekaan terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan seperti korupsi. Dan jenis korupsi yang paling Cak Nur prihatinkan telah berjalin-kelindan dalam budaya orang Indonesia adalah korupsi dalam bentuk conflict of interest.

>newarea 1Sumber malapetaka ini terjadi karena pengelolaan yang lemah (weak governance) dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan.

Budhy Munawar-Rachman Program Officer Islam and Civil Society The Asia Foundation

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home