| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 11, 2006,12:25 PM

Krisis Nuklir Semenanjung Korea

Faustinus Andrea

Saat ini masyarakat dunia dikejutkan dengan aksi peluncuran peluru kendali Korea Utara, 5 Juli 2006.

Peluncuran beberapa rudal di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara, bahkan Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia mengecam tindakan itu. Dewan Keamanan PBB pada 5 Juli 2006 telah membicarakan hal ini atas permintaan perwakilan Jepang di PBB.

Peluncuran rudal itu dapat diartikan Korut ingin mendapat posisi lebih kuat dalam perundingan damai soal nuklir Korut bersama enam negara (Six Party Talks), yang kini buntu.

Korut juga kian frustrasi dengan jalan damai itu, setelah mengikuti Six Party Talks bersama AS, Korea Selatan, Jepang, China, dan Rusia, dan hingga kini belum mendapat hasil. Jenis peluru kendali itu, mulai dari Scud jarak pendek, Rodongs jarak menengah, hingga Taepodong-2 jarak jauh (rudal balistik antarbenua), menambah ketegangan.

Ada tiga hal penting yang melatarbelakangi krisis AS-Korut.

Pertama, sengketa AS-Korut tentang pembekuan program nuklir sejak 1994. Kedua, insiden pencegatan kapal Sosan (Korut) oleh Angkatan Laut Spanyol yang mengangkut paket rudal Scud ke Yaman, Desember 2002. Ketiga, keluarnya Korut dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT), Januari 2003. Keempat, pengiriman pesawat pengintai militer AS ke atas wilayah Korut.

Krisis ini berimplikasi pada kebijakan politik luar negeri AS dan Korut. AS akhirnya menghentikan pengapalan bahan bakar minyak ke Korut, November 2002. Korut menanggapi dengan memindahkan semua peralatan pemantauan fasilitas nuklir PBB di Yongbyon, dan semua personel inspeksi nuklir PBB meninggalkan Korut, Desember 2002.

Keadaan ini memperkeruh krisis di Semenanjung Korea, setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menuntut tim inspeksi PBB menarik pengakuan dan menghentikan semua program inspeksi senjata rahasia di Korut. Klimaks ini dimanfaatkan Korut untuk keluar dari perjanjian NPT, 10 Januari 2003. Korut pun kembali mengaktifkan program nuklirnya.

Krisis AS-Korut

Krisis bermula dari kecurigaan AS saat Korut kembali mengembangkan program nuklirnya pada Oktober 2002. Padahal, berdasar perjanjian 1994 Korut seharusnya membekukan program itu. Kompensasinya, AS mengirim 500.000 ton BBM pengganti energi nuklir ke Korut.

Perjanjian mengalami pasang surut. Perseteruan pun tak terhindarkan setelah Korut mengaktifkan kembali program senjata nuklir rahasia yang kaya uranium, AS membalas dengan menghentikan pengiriman BBM ke Korut dan berlaku sejak 15 Desember 2002.

Oleh Korut, reaktor nuklir di Yongbyon hanya untuk tenaga listrik. Namun beberapa ahli menilai reaktor itu bisa untuk memproduksi senjata plutonium. Uji coba rudal antikapal oleh Korut yang jatuh di Laut Jepang dan Pantai Timur pada Februari dan Maret 2003 menjadi contoh.

Keputusan Konsorsium Organisasi Pembangunan Energi Semenanjung Korea (KEDO) yang beranggotakan AS, Korsel, Jepang, dan Uni Eropa, yang menyatakan penghentian pengiriman BBM ke Korut semata-mata keputusan politik dan dibuat tanpa melihat dampak kemanusiaan perlu dikaji ulang agar kebijakannya tidak semakin memicu krisis di Korut.

Langkah KEDO itu oleh banyak kalangan dianggap tidak bijaksana sebab dengan penghentian pemasokan BBM semakin menambah krisis bagi operasional pembangkit termal dan pembangkit hidroelektrik di Korut pada masa mendatang.

Rekonsiliasi kawasan

Dalam keadaan seperti itu, dunia internasional (PBB) seharusnya mengusahakan sebuah solusi diplomatik dan penyelesaian secara damai lewat perundingan. Meski negara-negara tetangga, seperti Korsel, Jepang, China, dan Rusia resah dengan program nuklir Korut, jalan perundingan merupakan hal utama. Sebab, jika yang terjadi sebaliknya, yaitu dengan mengisolasi Korut secara ekonomi maupun diplomatik seperti usul AS, krisis Semenanjung Korea akan kian tajam.

Mengusahakan pembicaraan isu nuklir Korut ke Dewan Keamanan PBB juga dapat memicu Korut melakukan penyerangan militer atas semua kepentingan AS di mana pun. Sebaliknya, ancaman AS untuk melancarkan serangan nuklir ke Korut niscaya akan mengobarkan krisis secara global. Sebab, Korut tidak hanya mempunyai senjata pemusnah massal, seperti bom kimia dan biologi, tapi juga rudal berdaya jangkau antarbenua.

Karena itu, upaya Korsel melakukan "kebijakan sinar matahari"-nya tanpa harus mengisolasi tetapi dengan rencana mengirimkan bantuan ekonomi ke Korut, merupakan langkah tepat bagi upaya damai.

Juga China, sebagai negara mitra dagang Korut terbesar akan memasok 70 persen kebutuhan minyak mentah dan ekspor utama makanan dan barang lainnya. Rusia perlu terus melakukan perundingan dengan Korut menyangkut penambahan kesepakatan dagang kedua pihak.

Peningkatan secara damai melalui dialog yang jujur bagi semua pihak lebih bermanfaat ketimbang harus dengan mengisolasi Korut. Mekanisme penyelenggaraan dialog AS, Korut, Korsel, Jepang, China, dan Rusia lewat Six Party Talks perlu dilanjutkan guna mencegah kebuntuan.

Kebijakan pelibatan (policy engagement) negara-negara Semenanjung Korea secara multilateral dapat mengintegrasikan banyak negara dalam proses dialog regional. Kebijakan ini dapat menjadi landasan bagi hubungan lebih stabil dalam menyelesaikan masalah kawasan secara damai jika negara-negara yang terlibat dialog secara jujur bersedia menerima kebutuhan keamanan dan kepentingan negara lainnya, termasuk nuklir Korut.

Faustinus Andrea Peneliti Hubungan Internasional CSIS, Jakarta

1 Comments:

Blogger Arjunane Denature said...

Loved your site http://iddenature.com
www.seputarpenyakitkelamin.com

1:57 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home