| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, July 12, 2006,10:34 AM

Pendidikan Butuh Negarawan

Andi Irawan
Ekonom-Pendidik, Staf Khusus Menteri Pertanian

Melihat kuantitas dan kualitas SDM saat ini, tampaknya kita layak melakukan kontemplasi serius. Betapa tidak, sampai era reformasi ini data statistik menunjukkan 80 persen tenaga kerja kita hanya lulusan SD, tidak tamat SD, dan tidak pernah sekolah. Sisanya, 12 persen tamat atau pernah sekolah di SLTP, enam persen tamat atau pernah sekolah SLTA, dan hanya sekitar dua persen yang terkategorikan lulusan atau pernah duduk di bangku akademi, S1, S2 dan S3.

Betapa rendah dan miskin kualitas dan kuantitas SDM kita. Dengan kuantitas dan kualitas SDM demikian, rasanya terlalu jauh kalau kita bicara tentang rebut-kompetensi dengan negara jiran dan mancanegara di era globalisasi ini. Ada kelegaan yang muncul ketika kita melihat UUD 1945 berhasil diamandemen yang kemudian mengamanahkan kepada para penyelenggara negara untuk menyediakan anggaran setidaknya 20 persen untuk dialokasikan kepada dunia pendidikan. Walaupun harus kita garis bawahi benar bahwa majunya pendidikan nasional memang tidak bisa serta merta indentik dengan alokasi anggaran yang besar untuk sektor pendidikan. Kita harus bicara detail tentang ini, sebelum menyimpulkan bahwa anggaran pendidikan yang tinggi akan berdampak pada kualitas dan kuantitas SDM yang tinggi pula.

Akselerasi
Ada beberapa pokok pikiran yang harus terakomodasi sebelum kita mengatakan bahwa anggaran pendidikan yang tinggi tersebut identik dengan akselarasi investasi SDM kita melalui pendidikan. Pertama, bahwa peningkatan alokasi anggaran itu bukan ditujukan untuk pengeluaran rutin departemen yang mendapat tugas mengelola pendidikan, tetapi untuk kegiatan dan proses pendidikan, penyediaan sarana dan prasarananya.

Kedua, alokasi anggaran yang tinggi tersebut juga memang dialokasikan untuk mengakselerasi pendidikan rakyat yang menempatkan para pelaku lapang pendidikan sebagai subjek, bukan sebagai objek semata. Oleh karena itu, dalam konteks ini peningkatan anggaran pendidikan hendaknya pengalokasiannya memprioritaskan pada kegiatan pemberdayaan sekolah-sekolah rakyat yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat seperti apa yang telah dilakukan oleh sejumlah LSM-LSM pendidikan melalui aktivitas pendidikan rakyat.

Ketiga, tentu saja mental project oriented para birokrat di dunia pendidikan harus mengalami reorientasi. Bila tidak, maka anggaran pendidikan yang semakin besar dalam mata penyelenggara negara di bidang pendidikan, hanya identik dengan lahan dan sasaran perburuhan rente yang semakin besar dan semakin menggiurkan.

Di samping itu kita perlu menyadari pula bahwa majunya pendidikan nasional membutuhkan way of life kenegarawanan. Ada dua hal yang perlu eksis dalam kehidupan kita sebagai bangsa agar pendidikan SDM bangsa kita mengalami akselerasi untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara jiran di Asia tenggara. Pertama, visi kenegarawanan para pemimpin di pusat dan di daerah.

Pendidikan anak bangsa ini tidak akan pernah maju jika kenegarawanan ini tidak ada. Hanya pemimpin berkualitas negarawan lah yang bersedia secara serius menginvestasikan resources bangsa yang signifikan untuk membangun human capital ini. Bagaimana tidak, keputusan investasi yang diambilnya saat ini baru akan tampak hasilnya dan bisa dinikmati oleh negaranya setelah 15-20 tahun ke depan. Padahal investasi yang sedemikian ini butuh dana yang besar.

Kedua, pembangunan human capital yang signifikan bangsa ini juga akan sangat ditentukan oleh visi ke depan para orang tua di masyarakat kita. Urgensi pentingnya pendidikan masih begitu lemah di kalangan masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. Kita menyadari ada jumlah yang cukup besar rumahtangga yang memiliki pendapatan yang rendah sehingga tidak mampu menyekolahkan anaknya pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tapi kita juga layak prihatin ketika kita melihat masih cukup banyak kesalahan dalam memilih skala prioritas alokasi anggaran yang terbatas pada rumah-rumahtangga di masyarakat kita.

Ambil contoh di kalangan masyarakat kita masih ada yang lebih memprioritaskan pembelian alat dan barang yang konsumtif dibanding membiayai sekolah anaknya. Di beberapa tempat kita masih bisa melihat untuk kepentingan selametan nikah atau khitanan, sebagian masyarakat kita rela berutang dalam jumlah signifikan. Bahkan saya pernah melihat ada yang bersedia menjual tanah atau rumah agar bisa melakukan pesta yang besar. Menurutnya, hal tersebut merupakan representasi kebanggaan dan harga diri. Tapi di sisi lain sangat miris ketika yang bersangkutan menolak membeli buku, peralatan sekolah, dan SPP anaknya dengan argumentasi tidak punya uang.

Care
Saya termasuk yang meyakini pemimpin yang negarawan dan rakyat yang bervisi ke depan adalah ibarat dua sisi sebuah koin. Sangat sulit kita mendapatkan pemimpin-pemimpin yang care dengan masalah pembangunan human capital, kalau rakyat kebanyakan cenderung bervisi short oriented. Karena yang mengakselerasi para pemimpin untuk peduli terhadap pembangunan human capital adalah sorotan atau public demand --yang disertai kontrol dan kontrak sosial yang jelas.

Kalaulah hanya mengandalkan kesadaran intrinsik dari dalam diri pemimpin, tampaknya akan sangat sulit. Kesulitan itu lahir karena kekuasaan dalam konteks kekinian kita cenderung membuat orang menjadi oportunistis dan korup. Karena proses menuju kekuasaan itu sendiri penuh dengan biaya-biaya sosial-politik yang besar, sehingga masuknya seseorang pada dunia kekuasaan pastilah mengeluarkan resources yang besar pula. Dan semua itu harus mendapat imbalan setara, bahkan harus ada value added bagi yang bersangkutan. Sehingga tak heran kalau kemudian konsekuensi tersebut berimbas pada lahirnya mazhab hidup yang pragmatis dan pemujaan vested interest pribadi dan kelompok yang melampaui kadar wajar.

Ketika fenomena ini lahir, mustahil kita berharap ada kesadaran pribadi dari para elite untuk berpikir secara holistik, jangka panjang, dan menimbang kepentingan kebangsaan, khususnya dalam konteks membangun human capital bangsa.

Untuk memaksa para elite kita agar menjadi lebih negarawan dalam memandang masalah human capital ini, dan untuk mengakselarasi lahirnya masyarakat visioner dalam diri anak bangsa ini, tampaknya kita hanya bisa berharap kepada kalangan masyarakat madani yang telah tercerahkan dari semua golongan anak bangsa ini untuk membantu mewujudkannya. Yaitu dalam bentuk sikap kritis-korektif dan oposan-konstruktif terhadap semua kebijakan elite yang lahir karena dilandasi pragmatisme dan vested interest sempit, mengakselerasi lahirnya proses kebijakan publik yang akuntabel dan transparan serta berpihak kepada publik khususnya dalam bidang human capital.

Di samping itu, melakukan proses akselerasi transformasi sosial dan budaya kepada kalangan masyarakat kecil umumnya melalui pendidikan-pendidikan informal dalam segala bidang sosial, politik dan budaya. Dan semua itu adalah tugas sejarah bagi setiap anak bangsa yang masih peduli dengan pembangunan human capital bangsa ini di tengah carut marut sosial-politik yang cenderung mendegradasi eksisnya human capital yang bermutu.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home