| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, July 13, 2006,11:26 AM

Pembelajaran Pembangunan Dunia

Esai budayawan Putu Wijaya kemarin ternyata belum usai. Inilah lanjutan esai sepak bola tersebut.

Oleh Putu Wijaya

Terus terang, Piala Dunia 2006 memang tidak mengubah dunia, tidak memperbaiki dunia secara langsung. Sepak bola bahkan masih tetap setia kepada posisinya yang lama, sebagai olahraga paling murah dan paling populer di seluruh lapisan rakyat jelata.

Bahwa sepak bola kemudian melaju seperti sekarang, menjadi bagian dari kegiatan selebriti, itu adalah berkat upaya, jasa, dan ulah para pengusaha yang berhasil membelokkan olahraga sepak bola menjadi barang komoditas.

Meski demikian, di balik kesederhanaan sepak bola, tidak ada yang bisa membantah begitu banyak aspek lain sudah ikut terseret. Bila dicermati satu per satu, luar biasa mencengangkan.

Piala Dunia adalah adonan strategi, taktik, trik, intrik-intrik, dan bisnis raksasa. Karena luas wilayah jelajahnya, Piala Dunia 2006 telah mengolah dan mengubah perasaan manusia tanpa pandang usia, gender, strata sosial, pendidikan, kebangsaan, agama, dan ideologi. Sepak bola telah berubah menjadi medan perang yang tanpa darah. Itu sebuah fenomena yang spektakuler.

Perdamaian adalah "nyanyian" klasik yang dirindukan siapa saja di seluruh dunia. Untuk mendapatkannya, orang pun mengutuk perang. Tetapi, cara pengejaran damai yang satu sama lain saling berbeda, bahkan sering bertolak-belakang, kemudian menimbulkan berbagai konflik yang menyulut peperangan. Pada akhirnya, atas nama mengejar perdamaian, persaudaraan, serta menjunjung tinggi kemanusiaan, dunia terus-menerus berperang.

Olahraga juga sebuah medan perang. Hanya, kekalahan dan kemenangan terjadi tanpa melahirkan korban. Walhasil, olahraga adalah sebuah upaya pencarian damai yang lebih ramah. Sepak bola khususnya telah menjadi olahraga dunia yang kemajuannya begitu pesat dalam dua dekade terakhir ini.

Jepang dan Amerika Serikat yang semula tak acuh kepada sepak bola, dalam dua kali Piala Dunia terakhir sudah menjadi sebuah nama yang diperhitungkan. Bukan saja karena kedua negara itu sama-sama kaya, memacu dan membiayai sepak bolanya, tetapi karena sepak bola adalah lahan untuk membudidayakan rasa.

Bila seluruh pertandingan Piala Dunia 2006 cermat diikuti, bukan hanya teknik bermain individu, kemampuan membina tim yang solid, serta taktik dan strategi yang jitu terbeber, kita juga melihat pameran rasa. Bagaimana Jerman, Prancis, dan Italia yang semula tumpul pukulannya, perlahan-lahan menemukan kembali kejantanannya berkat kesabaran dan ketekunan. Bagaimana Inggris, Argentina, dan Brazil yang di atas kertas adalah calon kuat juara, harus bisa menerima kegagalannya.

Lebih jauh lagi, bagaimana warga Jerman masih tetap dapat terkendali, ramah kepada para penonton pendatang, dan hadir bersemangat mendukung anak asuh Klinsmann walau hanya kebagian tempat ketiga. Tak heran kalau penyelenggara Piala Dunia kali ini dipuji sukses besar.

Dalam Piala Dunia, kita tak hanya melihat adu berebut bola, tetapi juga perang merebut bintang pahlawan. Begitulah kita saksikan persaingan dua bintang muda seperti Wayne Rooney dan Christiano Ronaldo -padahal keduanya satu kandang di Manchester United- yang diikuti kartu merah buat Rooney. Tetapi kemudian, betapa kecewanya Ronaldo ketika bukan dia yang terpilih sebagai pemain muda terbaik.

Konon, walau prestasi jago goreng itu gemilang, para penentu melihat kepribadian Ronaldo sebagai idola muda agak cacat.

Piala Dunia bukan hanya arena pertandingan, tetapi pembelajaran lebih jauh tentang sifat-sifat manusia. Warna kulit dan kebangsaan ternyata tak membuat watak manusia berbeda. Apa yang disebut ambisi, kecemburuan, pengabdian, kekesatriaan, bahkan kejantanan tampak jelas dalam pertandingan.

Semua itu sama saja di mana-mana. Negara maju dan negara berkembang, negara dengan latar belakang kebudayaan tinggi dan negara muda, dalam soal watak manusia setali tiga uang.

Kita terkejut kenapa Zidane yang tampak begitu dewasa tiba-tiba jadi brutal, menanduk lawan dengan kepala plontosnya. Belakangan ketahuan bahwa Marco Materazzi memang sudah mengucapkan hinaan kepadanya. Dan, itu tak akan kita ketahui bila yang bersangkutan tidak mengakuinya secara jantan.

Demikianlah, lewat perannya dalam membeberkan dan mengolah rasa, bukan hanya Piala Dunia 2006, World Cup sendiri sudah menjadi upacara bersama dunia untuk menerobos dan melakukan transformasi budaya.

Kemenangan Italia sebagai juara dunia, misalnya, bukan hanya sebuah kebetulan yang didorong satu tendangan penalti Prancis yang gagal. Kemenangan itu dapat dibaca sebagai sebuah penanda "bahwa perhitungan bukanlah segala-galanya."

Ini bukan sebuah provokasi untuk menolak betapa penting arti perhitungan, perencanaan, dan persiapan yang seksama. Ini hanya untuk melengkapkan pemikiran yang justru mendukung mutlaknya arti persiapan yang matang.

Kemenangan Italia dalam World Cup 2006 yang sempat digempur dengan begitu banyak serangan berbahaya Prancis, tak kurang dari sebuah bukti bahwa "sesudah dilaksanakan perhitungan yang cermat, ternyata masih diperlukan satu hal yang amat penting, yakni keselarasan rasa."

Dengan hasilnya yang tak terduga, plus berbagai kejutan di dalam seluruh puncak-puncak prosesnya, World Cup 2006 memang betul tidak mengubah dunia, tetapi sudah sekali lagi mengingatkan kita: "betapa pentingnya keselarasan rasa". Kalau rasa sudah berubah, segalanya menjadi baru, walaupun dunia masih yang lama dan seluruh keadaan masih yang itu-itu juga.

World Cup 2006 adalah sebuah pembelajaran pada usaha membangun dunia yang lebih baik yang memperingatkan manusia "bahwa kekuatan bukan jaminan kalau tidak diselaraskan dengan rasa." (*)


Putu Wijaya, budayawan, tinggal di Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home